Thobib Al Asyhar (Dosen Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah)
Presiden Prabowo pernah menyinggung soal “Serakahnomic”—model bisnis yang dibangun di atas kerakusan. Pola usaha semacam ini menghalalkan segala cara demi keuntungan, tanpa peduli siapa yang dirugikan.
Namun, serakah bukan hanya soal bisnis. Ia hadir di setiap lini kehidupan. Dan tak ada makhluk di muka bumi ini yang lebih serakah dibanding manusia. Binatang sering dicap rakus, tapi kerakusan manusia jauh lebih dahsyat, sebab ia mampu menumpuk keinginan melampaui kebutuhan dasarnya.
Ada beberapa tanda keserakahan manusia yang nyata terlihat.
Pertama, mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Bukan sekadar makan berlebih, tapi menimbun harta, kuasa, dan sumber daya meski sudah jauh melampaui kebutuhan. Mirip monyet yang mulutnya sudah penuh, tapi kedua tangannya masih ingin merebut makanan milik yang lain.
Kedua, tidak pernah puas. Begitu satu target tercapai, muncul lagi target baru yang lebih besar. Saat miskin, ia terbiasa cukup. Tapi ketika kaya, ia justru makin tak pernah merasa selesai. Hasratnya terus berlari, melampaui kebutuhan nyata yang sesungguhnya.
Sejarah menghadirkan banyak contoh. Qarun, umat Nabi Musa, yang dulunya sederhana, berubah total saat harta menumpuk. Ia menjadi sombong, kikir, dan lupa bersyukur. Begitu pula Tsa’labah, sahabat Nabi Muhammad, yang ingkar setelah diberi kelapangan rezeki.
Ketiga, mengorbankan orang lain atau lingkungan. Keserakahan jadi berbahaya saat keuntungan pribadi diraih dengan merusak. Penebang liar yang menghancurkan hutan, perusahaan tambang yang meluluhlantakkan bumi, atau siapa pun yang tega merusak alam demi uang, semuanya adalah potret nyata kerakusan.
Keempat, mengabaikan keseimbangan. Serakah membuat orang tak peduli pada harmoni sosial dan ekologi. Ia melahirkan korupsi, ketidakadilan, dan kerusakan sistem. Kekuasaan yang disalahgunakan akhirnya hanya memupuk bencana moral.
Kelima, membalikkan moral untuk membenarkan diri. Serakah selalu pandai menyamarkan wajahnya. Dalih “demi pembangunan”, “demi kepentingan rakyat”, atau “demi kesejahteraan” sering dipakai untuk menutupi ambisi pribadi. Kata-kata manis menjadi tirai bagi nafsu yang merusak.
Kini, di usia kemerdekaan yang ke-80, kita perlu bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita merdeka dari cengkeraman ego? Ego yang tak terkendali dapat menyeret manusia ke jurang paling gelap. Al-Qur’an menyebut, manusia yang dikuasai nafsu bisa lebih sesat daripada binatang. Mengapa? Karena manusia dikaruniai akal, tapi kerap membiarkannya tunduk pada hawa nafsu.
Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan bangsa lain, tapi juga bebas dari penjajahan diri sendiri. Dan musuh terberat manusia, sering kali, adalah kerakusannya sendiri.
Thobib Al Asyhar (Dosen Psikologi Islam SKSG Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah)