Pekan ini diawali dengan perayaan Pentakosta umat Kristiani yang jatuh pada hari Minggu (8/6). Pentakosta memiliki makna mendalam bagi umat Kristiani, karena menandai turunnya Roh Kudus kepada para rasul dan kelahiran gereja.
Pentakosta memberi kekuatan kepada para rasul untuk melakukan transformasi iman, kemudian lahir sebagai pribadi yang meninggalkan kepentingan diri, menjumpai yang lain sebagai yang lain dalam semangat kesatuan yang dilandasi kasih persaudaraan.
Dalam perspektif kehidupan bersama, sebagaimana direnungkan Paus Leo XIV, Pentakosta membuka batas-batas dalam diri, berdialog dan menerima satu sama lain, mendamaikan keberagaman dan menjadikan Gereja tempat yang ramah dan bersahabat bagi semua.
Pekan sebelumnya ditutup dengan perayaan Idul Adha yang jatuh pada 10 Dzulhijjah 1446 H bertepatan dengan Jumat (6/6/2025).
Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menulis Idul Adha sering disebut Idul Kurban. Melalui Idul Adha kita diajarkan untuk berkorban secara otentik. Berkorban untuk menyembeli segala kepentingan yang dipengaruhi hawa nafsu dan pengaruh setan kemudian lahir sebagai manusia-manusia pengabdi kepentingan banyak orang. (Kompas, 4/6)
Khatib shalat Id, di Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Wan Jamaluddin, menyentuhkan spirit Idul Adha pada ego kekuasaan. Dalam konteks membangun bangsa, semangat kurban adalah semangat kolektif. Para pemimpin dituntut rela berkorban demi kepentigan rakyat, berkorban waktu, tenaga bahkan kenyamanan pribadi demi membangun negeri ini menjadi negeri yang adil dan Makmur.
”Kepemimpinan bukan soal kekuasaan, melainkan tentang keberanian menanggung beban demi orang lain. Inilah pemimpin sejati yang mampu meneladan keikhlasan Nabi Ibrahim. Rakyat pun tidak boleh hanya menjadi penonton. Setiap dari kita memiliki peran.” (Kompas, 7/6).
***
Kepemimpinan bukan soal kekuasaan, tapi kekuasaan itu mengasyikkan dan menggoda. Seperti dongeng, kekuasaan menghinggapi seorang pemimpin dengan motivasi luhur: ingin melayani orang lain, melakukan apa pun yang diperlukan untuk membawa sesuatu yang baik bagi orang-orang yang dipimpin.
Yang berkuasa memahami bahwa pengorbanan dan penderitaan adalah hal yang tak terhindarkan dan bahwa melayani orang lain adalah satu-satunya motivasi yang sah untuk kepemimpinan.
Tapi kekuasaan juga menggoda dengan atributnya: perhatian, status, kuasa, uang. Ia membuat yang berkuasa tergiur untuk mendapatkan imbalan dan hak dari kekuasaan. Ketika godaan itu menyatu (cross-cutting of interest), terjadilah akumulasi keserakahan dan melahirkan prahara bagi kehidupan umat manusia.
Sebagian besar orang memahami secara intuitif bahwa menuruti nafsu kekuasaan yang membuncah inilah biang kerok prahara kehidupan karena pada akhirnya berujung pada hegemoni kepentingan di segala aspek kehidupan. Tetapi sayangnya sedikit sekali pemimpin yang melihat ini sebagai masalah dalam dirinya. Kita sering tak tahu ada virus keji di tubuh kita.
Bagi kehidupan politik, ini mungkin dianggap wajar. Karena meski bertujuan untuk membangun tertib sosial yang layak bagi semua orang, politik tidak bisa berjalan tanpa orang berebut kekuasaan. Sayangnya kekuasaan itu selalu menggoda dan meninabobokan para pemiliknya untuk berleha-leha. ”Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely,” tulis Lord Acton, seorang sejarawan dan politikus Inggris pada abad ke-19.
Laksana anggur yang memabukkan, hukum politik Lord Acton ini dengan cepat merasuki semua sendi kehidupan. Tidak terkecuali dunia pendidikan sebagai sarana utama dalam membeningkan mata batin, pembentukan karakter individu yang bermoral, amanah, dan bertanggung jawab.
Kita saksikan dengan kesedihan yang mendalam melihat akademisi, guru besar, rektor dan segala atribut sejenis lainnya menjadi hamba hawa nafsu kekuasaan dan kepentingan subyektif, ataupun kolektif. Fenomena gerakan akademisi yang mendadak layu untuk mengamankan posisi dan kepentingan pribadi daripada bersikap kritis, kebijakan yang lebih banyak berisi dukungan terhadap agenda politik tertentu daripada mendorong inovasi dan kebebasan akademik, mencerminkan apa yang disebut Julian Benda sebagai “La Trahison des Clercs”. Pengkhianatan kaum intelektual.
Dari sejarah kita tahu pemimpin besar dari tokoh nasional hinggga pemimpin akademik selalu mengorbankan sesuatu demi masa depan yang lebih baik. Sayangnya ketika ditimpa kekuasaan, gelar akademik yang dibanggakan tak lagi mencerahkan jiwa, pikiran, dan tindakannya.
Opini dan pemikirannya inginnya didengar dan diikuti, tetapi ia sendiri tidak mau mendengar dan mengikuti pandangan orang lain. Gemar mengkritik dalam pidato-pidatonya tetapi tidak suka dikritik. “The king can do no wrong.” Daya toleransi terhadap pikiran berbeda menjadi rendah, jauh dari moderat.
***
Keangkuhan kekuasaan tentu tidak sama dengan ketidak-benaran, namun semua itu mengganggu. Wajar kalau terjadi fragmentasi hampir pada semua level. Kita seperti berada dalam riam yang bergejolak dengan harap-harap cemas berdoa agar tak ada badai dan tsunami yang menyertai.
Salah satu ciri utama dari fragmented society adalah absennya kepecayaan. Ia seperti memiliki pornografi tersendiri. Laiknya pornografi ia memerlukan kebisuan, ada kehati-hatin untuk berbicara tapi bisik-bisik menjalar dan intrik merebak melebihi kecepatan bunyi. Diam-diam orang-orang mengisolasi diri, karena enggan memberikan yang terbaik untuk pemimpin yang tidak mereka sukai.
Tapi terasa juga ada kerinduan untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan penghubung, jembatan atau pemersatu. Di medsos doa berantai memenuhi semesta, “che questo disastro finisca presto, dio ci protegga.” Semoga Tuhan menyelematkan. So how to discern in the arrogance of power?
Dalam situasi ini, nilai-nilai agama diharapkan bisa berfungsi sebagai pemberi filsafat dasar, pandangan umum, pedoman yang mendasari semuanya yang lain. Karena agama, seperti ditulis Peter L. Berger adalah “the sacred canopy” bagi kehidupan manusia yang mengalami chaos. Ketika manusia mengalami “lost of soul” agama menjadi sebuah jalan pencerahan.
Dengan demikian, hari raya Idul Adha dan Pentakosta terjadi berdampingan, kiranya bukan soal kebetulan alamiah belaka, tetapi menjadi penyelenggaraan Ilahi, untuk menumbuhkan pencerahan bagi kita semua. Lantas apa yang selayaknya dipetik dari kedua perayaan itu, bagi fragmentasi kekuasaan yang sedang menimpa kita saat ini?
***
Dalam retrospeksi ini, saya mengutip renungan yang amat indah dari Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di harian Kompas. Idul Adha adalah panggilan untuk melakukan dekonstruksi rohaniah, “menyembelih egoisme” agar mampu keluar dari belenggu-belenggu hasrat primitif menuju martabat insan mulia membangun bangsa.
Berkorban bagi mereka pemimpin yang memiliki kekuasaan politik ialah bersedia menjadikan jabatannya untuk kebaikan orang banyak. Berkorban untuk menyejahterakan, menyelamatkan, memakmurkan, mencerdaskan, menyatukan, membuat rasa aman, menyelamatkan, melindungi, dan memajukan kehidupan rakyat dan kemanusiaan.
Untuk konteks dunia pendidikan, kita mengorbankan ego dan kepentingan pribadi demi keharmonisan akademik agar tercipta lingkungan belajar yang lebih produktif dan inovatif. Sama seperti dalam pemerintahan, kepemimpinan akademik juga membutuhkan pengorbanan demi ilmu, kemajuan, dan kesejahteraan bersama.
Dalam spirit Pentakosta kita tambahkan membangun kesatuan dengan semangat kasih dan persaudaraan. Deru badai Pentakosta tidak menghancurkan tetapi menghidupkan makhluk ciptaan, menghembuskan musim baru ke tengah semesta, menyatukan semua kaum dari berbagai kalangan.
Warta para rasul didengar dalam aneka ragam bahasa namun tidak mengacau-balaukan, seperti dalam kisah candi Babel. Karena mereka memahami apa yang disampaikan para rasul dalam bahasa sendiri.
Kesatuan yang dilandasi kasih persaudaraan tidak menghapus perbedaan, tapi saling menghargai. Yang dulu saling asing, kini saling mengerti. Yang dulu terpecahkan, kini menjadi satu. Inilah karya Roh Kudus, menyatukan yang berbeda dalam kasih. Bahasa satu-satunya yang dimengerti umat manusia dari segala bangsa ialah bahasa cintakasih.
***
Kesatuan bangsa dalam wujud NKRI adalah buah pengorbanan – bukan hasil keseragaman. Dalam mewujudkan kehidupan bersama yang harmonis kita tidak panggil untuk menjadi seragam, tetapi menjadi sehati. Kita pasti berbeda, tetapi ketika pengorbanan dilakukan dengan tulus, ketika ego disembelih, perbedaan tidak menjadi pemisah tetapi kekayaan.
Tidak mudah melepas ego-kekuasaan jika tanpa jiwa berkorban. Tanpa kerendahan hati untuk menjumpai yang lain dan berbicara dalam bahasa mereka. Tapi harus. Masa depan bangsa dan negara, masa depan pendidikan kita, tercermin dari mata sekian juta anak yang memandang potret pemimpinnya hari ini.
Maka pertanyaan penting diakhir pekan ini, dalam semangat Idul Adha dan Petakosta, adalah: Apakah kita punya cukup keberanian, dayacipta dan dedikasi untuk menyembelih ego kekuasaan demi membangun harmoni?
Pemimpin yang enggan, mungkin ia sedang bermain dengan mimpi kanak-kanak dan mimpi menjadi Tuhan.
Seperti bocah balita ia ingin menjadi pusat perhatian. Ia juga boleh merengek dan marah sekeras-kerasnya bila perlu menyepak semua orang, seakan-akan semua orang hanya otomaton yang rela. Mungkin juga ia sedang berilusi menyamakan diri dengan Yahwe, Yang Mahakuasa, dalam kitab Perjanjian Lama. Jika Yahwe bisa murka, kenapa aku tak boleh?
Pada titik ini, tidak ada lagi yang layak untuk direnungkan selain kepongahan. Maka orang pun cuma hanya diam. Tapi tidak membisu. Di latar belakang menggerundel. Karena mereka bukan makhluk tanpa pamrih. Selamat berakhir pekan. (*)
JB Kleden (Dosen Prodi Kepemimpinan IAKN Kupang)