Pada sebuah siang yang hangat di kediaman resmi Menteri Agama RI, Jl. Denpasar Jakarta, saya menerima sebuah buku berjudul Manajemen Cinta sebagai Hidden Curriculum di Madrasah (Rajawali Pers, 2025). Bukan hanya hadiah cantik, tetapi juga pesan kasih mendalam dari penulisnya, Ibu Helmi Halimatul Udhmah—Penasehat Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kemenag RI. “Selamat membaca dengan tebaran cinta,” begitu pesan yang ditorehkan Ibu Helmi Nasar, lalu tanda tangan tertanggal 18 Juli 2025, saat pengajian DWP Kemenag RI. Sebuah penanda bahwa buku ini lahir lebih dari proses nalar akademik, tapi dari denyut nurani, spiritualitas dan visi kebangsaan penulisnya.
Buku ini ditulis bersama Akhmad Shunhaji dan diterbitkan oleh Rajagrafindo Persada, Depok. Tampil elegan dengan sampul putih bersih, namun di dalamnya penuh dengan perenungan atas pendidikan Islam. Hanya dengan x dan 141 halaman pembaca seperti diajak berenang di kolam kebijaksanaan yang dalam. Empat bab penting tersaji dalam buku ini, yaitu (1) Nabi Muhammad Mendidik dengan Cinta, (2) Konsep Manajemen Cinta dalam Kurikulum Tersembunyi, (3) Penerapan Manajemen Cinta dalam Pendidikan, dan (4) Manifestasi Manajemen Cinta dalam Interaksi di Madrasah. Dilengkapi Kata Pengantar Menteri Agama RI dan Daftar Pustaka.
Kurikulum Tersembunyi
Penulis membangun tesis bahwa pendidikan tidak boleh semata berorientasi pada penguasaan materi (pembelajaran ekspositori), tetapi harus menjangkau ranah afektif dan spiritual. Di sinilah gagasan tentang manajemen cinta sebagai hidden curriculum menjadi sangat relevan. Kurikulum tersembunyi dimaknai sebagai nilai, norma, dan praktik yang tidak tertulis secara formal namun hadir dalam praktik keseharian lembaga/proses pendidikan.
Konsep ini sesungguhnya memiliki akar dalam pemikiran filsuf pendidikan John Dewey (1859), yang menyatakan bahwa pendidikan bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter melalui pengalaman. Dewey menegaskan bahwa interaksi antara guru, murid, dan lingkungan pendidikan membentuk sebuah atmosfer belajar yang tidak netral. Dengan demikian, ketika cinta menjadi dasar dalam manajemen pendidikan, maka akan terbentuk budaya madrasah yang humanis, empatik, dan inklusif.
Lebih jauh lagi, Nel Noddings (1929)–seorang filsuf pendidikan kontemporer dari New Jersy–menawarkan teori ethics of care yang sangat senafas dengan semangat buku ini. Bagi Noddings, relasi yang dibangun atas dasar kepedulian dan perhatian adalah inti dari proses mendidik. Guru yang mengajar dengan cinta akan lebih mampu membentuk peserta didik yang berintegritas dan peduli sosial. Pendekatan ini, yang disebut relational pedagogy, sangat kontekstual dengan sistem pendidikan Islam yang menjunjung tinggi akhlak mulia.
Tradisi Islam
Memang cinta dalam pendidikan bukanlah wacana baru dalam Islam. Jauh sebelum Noddings atau Dewey, para pendiri gerakan pendidikan Islam di Indonesia telah meletakkan nilai cinta sebagai fondasi utama. Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari (1871), pendiri Nahdlatul Ulama, dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim, menyatakan bahwa proses belajar harus dilandasi dengan rasa hormat, kasih sayang, dan niat yang ikhlas. Guru bukan sekadar pengajar, tapi murabbi–pembimbing ruhani yang menyirami jiwa murid dengan teladan.
Sementara itu, KH. Ahmad Dahlan (1868), pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, menekankan pentingnya pendidikan yang mengasah hati dan pikiran secara seimbang. Beliau mengembangkan sistem pendidikan yang adaptif dan progresif, namun tidak pernah meninggalkan sentuhan kasih. Ia mengajarkan bahwa guru sejati adalah mereka yang mendidik dengan cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama. Dalam pidatonya kepada murid-muridnya, beliau berulang kali menegaskan bahwa “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disertai cinta kepada amal dan akhlak.”
Melihat perspektif dua ulama besar ini, buku Manajemen Cinta menemukan relevansi sejarah dan teologisnya. Manajemen cinta bukan sekadar pendekatan pedagogik modern, tetapi juga bagian integral dari tradisi pendidikan Islam yang memuliakan kasih sayang sebagai jalan transformasi.
Arah Pembaruan
Dalam konteks madrasah Indonesia yang kini menghadapi tantangan globalisasi, industrialisasi pendidikan, dan tekanan kurikulum berbasis capaian (outcome based education), gagasan ini terasa segar sekaligus menjadi koreksi paradigmatik yang indah. Buku ini tidak menawarkan teori yang rumit, tetapi justru menekankan pentingnya kembali ke nilai dasar pendidikan yakni membentuk manusia seutuhnya (insan al-kamil).
Ketika peserta didik dilatih hanya untuk mengejar nilai, ranking, atau sertifikasi, maka pendidikan kehilangan jiwanya. Sebaliknya, ketika cinta dikelola secara sadar sebagai bagian dari interaksi–baik dalam relasi guru-murid, antar siswa, hingga tata kelola madrasah–maka ruang pendidikan menjadi tempat pertumbuhan manusia yang merdeka dan berbelas kasih.
Manajemen cinta dalam buku ini tidak direduksi pada kelembutan belaka. Ia bersifat sistemik. Ia menyentuh dimensi manajerial, kepemimpinan pendidikan, serta kultur kelembagaan. Cinta diposisikan sebagai strategi pengelolaan, bukan sekadar ekspresi emosional. Ini sejalan dengan teori servant leadership dari Robert K. Greenleaf (1904), yang memandang bahwa pemimpin sejati adalah pelayan yang mengedepankan empati, pendampingan, dan pertumbuhan orang lain.
Cinta yang Menyembuhkan
Buku ini adalah sumbangan penting dalam literatur pendidikan Islam di Indonesia. Ia tidak hanya menyentuh kalbu, tetapi juga menggugah pikiran. Dalam era pendidikan yang kadang terlalu teknokratis dan mengabaikan nilai, gagasan tentang manajemen cinta sebagai hidden curriculum adalah oase penyembuh. Ia mengajak kita untuk menanamkan cinta sebagai strategi, nilai, dan semangat dalam setiap sudut madrasah.
Sebagaimana harapan Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA., semoga buku ini menjadi pemantik perubahan positif–yakni pendidikan Islam yang bukan hanya mencetak generasi pintar, tetapi juga penuh kasih dan berkarakter. Sebab seperti kata Jalaluddin Rumi (1207), “Didiklah anakmu dengan cinta, sebab hanya dengan cinta jiwa mereka akan tumbuh dan mekar.” Maka tibalah momentum itu sekarang untuk menyemai cinta di madrasah.***
Khodijah Hulliyah (Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja sama FST UIN Jakarta dan Direktur Artificial Intelligence Literacy and Innovation Institute (ALII), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)