Konsep open co-working space telah menjadi fenomena global, merambah tidak hanya di sektor swasta tetapi juga di instansi pemerintah, termasuk Kementerian Agama. Gagasan ini muncul sebagai respons terhadap tuntutan manajemen abad ke-21 yang menekankan fleksibilitas, kolaborasi, dan penghapusan sekat birokrasi (breaking silos). Dalam lingkungan kerja konvensional, struktur fisik kantor—dengan dinding dan ruang terpisah—sering kali mencerminkan hierarki kaku yang menghambat komunikasi lintas departemen.
Open co-working space menawarkan solusi dengan mendesain ruang kerja yang lebih terbuka, di mana pegawai dari berbagai divisi dapat berinteraksi secara spontan. Konsep ini tidak hanya mengubah tata ruang, tetapi juga filosofi kerja: dari individualistik ke kolektif, dari terisolasi ke terhubung. Di Kementerian Agama, seperti Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) dan beberapa unit Eselon I lainnya, pendekatan ini dapat mempercepat koordinasi antar-divisi, mempermudah pertukaran ide, dan mendorong inovasi dalam pelayanan publik.
Namun, seperti semua perubahan, penerapan open co-working space tidak lepas dari tantangan—khususnya dalam hal etika, budaya kerja, dan kenyamanan individu. Tanpa pendekatan yang bijak, ruang kolaborasi ini justru berisiko menciptakan friksi yang kontraproduktif.
Manfaat Open Co-Working Space: Memacu Kolaborasi dan Inovasi
Sebagai sebuah terobosan dalam manajemen modern, Open co-working space dinilai berdampak pada percepatan koordinasi lintas divisi. Dalam struktur birokrasi yang kompleks, proses koordinasi sering terhambat oleh batasan fisik dan prosedural. Dengan open co-working space, pegawai dapat langsung berdiskusi tanpa perlu melalui jenjang panjang atau rapat formal. Misalnya, tim perencanaan dapat dengan mudah berkonsultasi dengan tim keuangan tanpa harus menunggu jadwal rapat.
Pola ini juga akan mendorong inovasi melalui interaksi spontan. Banyak ide brilian muncul dari percakapan informal. Lingkungan kerja terbuka memungkinkan brainstorming alami, dimana seseorang dari bidang berbeda bisa memberikan perspektif segar terhadap suatu masalah. Google dan startup teknologi lain telah lama memanfaatkan konsep ini untuk memacu kreativitas.
Secara anggaran, akan mengurangi biaya operasional dan meningkatkan fleksibilitas. Desain ruang terbuka lebih efisien dalam penggunaan space dan fasilitas, mengurangi kebutuhan akan ruang rapat terpisah atau meja kerja eksklusif. Hal ini sejalan dengan prinsip lean management yang sedang digalakkan di banyak instansi pemerintah.
Implementasi open co-working space akan mendorong tumbuhnya budaya transparansi dan kesetaraan. Tanpa sekat kabin atau ruang direktur yang eksklusif, struktur kerja terasa lebih demokratis. Hal ini dapat meningkatkan moral pegawai dan mengurangi kesenjangan psikologis antara atasan dan bawahan.
Tantangan Etika dan Budaya dalam Open Co-Working Space
Meski menjanjikan banyak manfaat, open co-working space juga menghadirkan sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi. Pertama, potensi gangguan konsentrasi dan privasi. Beberapa orang bekerja lebih baik dalam keheningan, sementara lingkungan terbuka cenderung ramai. Bahkan, sekadar percakapan telepon atau diskusi rekan kerja bisa mengganggu konsentrasi mereka yang membutuhkan fokus tinggi. Kurangnya privasi ini dapat membuat pegawai tidak nyaman, terutama saat membahas hal sensitif.
Kedua, konflik gaya kerja dan kebiasaan pribadi. Perbedaan kepribadian (introvert vs. ekstrovert) memengaruhi preferensi lingkungan kerja. Kebiasaan seperti mendengarkan musik dengan volume keras, menggunakan parfum berlebihan, atau meninggalkan meja berantakan dapat memicu ketegangan. Penggunaan gadget dengan volume tinggi atau scroll media sosial saat jam kerja bisa dianggap tidak profesional.
Ketiga, rentan dengan masalah kebersihan dan kesehatan. Ruang bersama rentan menjadi tidak terawat jika tidak ada kesadaran kolektif untuk menjaga kebersihan. Sirkulasi udara yang buruk (misalnya karena parfum atau makanan beraroma kuat) dapat mengganggu kenyamanan. Dan, keempat, perlu adanya batasan/aturan yang jelas.
Tanpa aturan main yang disepakati, open co-working space bisa berubah menjadi free-for-all zone yang justru mengurangi produktivitas.
Agar konsep ini berhasil, diperlukan lebih dari sekadar perubahan fisik—perlu pergeseran pola pikir (mindset) dan komitmen bersama. Hal ini dimulai dengan membangun kesepakatan bersama tentang etika kerja. Antara lain perlu adanya guideline sederhana tentang volume suara, kebersihan, dan penggunaan fasilitas bersama. Tidak cukup dengan pedoman, perlu juga sosialisasi pentingnya menghormati privasi dan kebutuhan rekan kerja.
Sebagai ruang bersama, penting juga adanya batasan pada aspek waktu dan zonasi. Misalnya dengan menerapkan zonasi cerdas. Zona ini meliputi area untuk diskusi aktif dan kerja tim (collaboration zone). Kemudian ruang tenang bagi yang membutuhkan konsentrasi penuh (Quite Zone), dan tempat untuk istirahat atau telepon pribadi tanpa mengganggu lainnya (Relax Zone).
Peran pimpinan juga penting. Pimpinan mempraktikkan etika kerja yang baik, seperti tidak meneriakkan perintah atau mengadakan rapat dadakan di meja kerja umum. Lain dari itu juga dengan memberikan apresiasi kepada pegawai yang berkontribusi menjaga keharmonisan ruang bersama. Sebagai pendukung, maka para pegawai juga perlu dikuatkan dalam komunikasi efektif, emotional intelligence, dan manajemen konflik. Sementara itu pegawai yang cenderung introvert dapat berikan tips untuk tetap produktif di lingkungan terbuka.
Terakhir, sebagai sebuah perubahan, perlu adanya evaluasi berkala dan fleksibilitas kerja. Manajemen dapat membuka masukan dari pegawai secara rutin untuk menilai efektivitas open co-working space. Tentu saja hal itu ditindaklanjuti dengan kesediaan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan.
Kolaborasi Tanpa Sekat, Tapi dengan Empati
Open co-working space bukan sekadar soal menghilangkan dinding, melainkan tentang membangun budaya kerja yang lebih inklusif dan adaptif. Keberhasilannya bergantung pada keseimbangan antara kebebasan kolaborasi dan penghargaan atas perbedaan individu.
Di Kementerian Agama—sebagai institusi yang mengemban nilai-nilai akhlak dan kerukunan—konsep ini bisa menjadi contoh bagaimana transformasi fisik kantor dapat sejalan dengan penguatan nilai etika dan teamwork. Dengan pendekatan open-minded, ruang kerja bersama tidak hanya mempermudah koordinasi, tetapi juga memperkaya hubungan antar sesama pegawai.
Sri Hendriani (Pranata Humas BMBPSDM)