Gedung Plaza Insan Berprestasi, Jakarta, Rabu (25/6/2025), menjadi saksi penghormatan tulus kepada sastrawan besar Indonesia, Taufiq Ismail. Di tengah acara bertajuk Peringatan Hari Sastra Indonesia & Peluncuran Buku 90 Tahun Taufiq Ismail, hadir Menteri Agama Nasaruddin Umar, bukan sekadar sebagai pejabat negara, melainkan sebagai penyair yang datang membawa persembahan kata-kata dari tanah suci.
Meski secara nasional Hari Sastra Indonesia diperingati setiap tanggal 3 Juli, gaung perayaan sudah terasa sejak akhir Juni. Peluncuran buku terbaru Taufiq Ismail yang sekaligus menandai usia ke-90 sang maestro, menjadi bagian penting dari peringatan ini. Dan di tengah momen istimewa itu, Menteri Agama tampil membacakan tiga puisi—dua di antaranya adalah karyanya sendiri yang ditulis di depan Kakbah, Makkah.
“Ini saya tulis di depan Kakbah, Pak Taufik. Saya baru pulang dari Tanah Suci,” kata Menag.
Berikut dua puisi persembahan Menteri Agama Nasaruddin Umar:
⸻
Guru Saya yang Bernama Taufiq
Pak Taufiq ini adalah guru kita semua.
Taufiq yang menulis dengan cahaya, pulang bagi bangsa yang nyasar dalam euphoria.
Namanya Taufiq Ismail, lahir dari penghormatan untuk Taufiq Ismail.
Ia tak menulis dengan tinta, tapi dengan darah sejarah dan air mata nurani.
Tulisannya bukan hanya kata, tapi jalan zaman yang keras, tapi suaranya lembut seperti ayat yang dibisikkan ke dalam dada.
Ia tak pernah berdiri dengan marah, tapi syairnya bisa mengguncang bangku kekuasaan yang pongah.
Ia menegur bukan dengan caci, tapi dengan hikmah.
Ia menundukkan pena dan akhlaknya berjalan seiring.
Ia bukan hanya penyair, tapi saksi zaman yang tak goyah meski zaman terus berganti warna.
Bersama Bimbo syairnya berbunyi,
Tuhan kami telah terlalu banyak dosa.
Dan berjuta hati menangis, karena suaranya yang jujur.
Tak butuh teriak untuk menggetarkan.
Taufiq bukan milik satu golongan, tetapi penyejuk untuk semua kalangan.
Ia bersahabat dengan ulama, dihormati para pemimpin, dicintai rakyat kecil.
Ia merasa syairnya menyuarakan jerit yang tak terdengar.
Ia religius, tapi tak riya.
Ia kritis, tapi tak kasar.
Ia istiqamah, tapi tak kaku.
Ia adalah jembatan antara ilmu dan adab, antara estetik dan etik, antara bahasa dan kejujuran.
Dan kini, ia di antara baris-baris puisinya yang tak lekang dibaca waktu.
Ada satu pelajaran abadi:
Bahwa menjadi penyair, bukan hanya soal menulis indah, tetapi soal bersikap lurus di tengah yang bengkok.
Taufiq Ismail, Sang Penjaga Nurani Bangsa
Di sebuah zaman ketika kata-kata mulai kehilangan makna,
lahirlah seorang anak bangsa yang telah akan menjahit kembali robekan-robekan nurani negeri ini,
dengan benang syair dan cahaya hati.
Namanya Taufiq Ismail.
Dari ranah Minang yang harum oleh adab dan ilmu.
Ia tumbuh bukan sekadar menjadi penyair, tetapi menjadi penjaga suara kebenaran, yang seringkali terlalu lemah untuk menembus ruang-ruang kekuasaan.
Ia bukan sastrawan menara gading, Ia turun ke tanah, menjejak realitas.
Di tengah tirani, ia tak bungkam.
Di hadapan kekuasaan, ia tak membungkuk.
Karena ia tahu, puisi bukan sekadar hiasan buku
tetapi tombak keadilan yang dibungkus keindahan.
Taufiq tidak berteriak, namun kata-katanya mengguncang.
Ia tidak mencaci, namun sindirannya membuat penguasa terbiak.
Ia tidak menghasut, tapi menyindir dengan akhlak
yang membuat musuhnya pun segan.
Sajadah Panjang bukan sekadar doa, Ia adalah tangis bangsa yang tak pandai lagi menangis.
Tuhan, kami terlalu banyak dosa, adalah jerit seisi negeri yang tak mampu lagi membedakan
antara kemajuan dan kesesatan yang berkilau.
Setelah membacakan kedua puisi yang ia tulis sendiri, Menteri Agama pun menutup persembahan dengan membacakan puisi legendaris karya Taufiq Ismail: Sajadah Panjang. Ia membacakannya pelan, penuh penghayatan, seolah ingin mengembalikan gema nurani yang telah lama teredam di telinga bangsa.
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi