Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa ancaman terhadap kedaulatan bangsa tidak lagi terbatas pada bidang darat, laut, dan udara, melainkan telah merambah ke ruang siber yang kini menjadi medan tempur baru. Ia menyerukan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat ketahanan nasional di tengah pesatnya transformasi digital.
“Ruang siber adalah jantung pertahanan baru bangsa. Menjaganya berarti menjaga masa depan Indonesia,” ujar Meutya.
Meutya menambahkan, dunia digital harus dilindungi seolah-olah kita mempertahankan batas-batas wilayah fisik, karena setiap celah keamanan di dunia maya dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu tantangan utama di ranah digital, seperti yang diungkapkan Meutya, adalah maraknya penyebaran hoaks. Ancaman hoaks tersebut tidak hanya berasal dari informasi salah tanpa niat jahat (misinformasi), melainkan juga dari penyebaran informasi palsu yang disengaja (disinformasi) serta penggunaan informasi benar dengan tujuan menyesatkan atau mencelakai pihak lain (malinformasi).
“Hoaks bukan sekadar gangguan informasi, tapi bisa merusak ideologi, memperkeruh politik, dan menghancurkan kohesi sosial,” kata Meutya.
Selain tantangan hoaks, Meutya Hafid juga menyoroti ancaman serius dari serangan siber seperti ransomware dan kebocoran data. Sebagai contoh nyata, peretasan terhadap Bank Syariah Indonesia (BSI) yang dilakukan oleh kelompok peretas LockBit 3.0 telah mengakibatkan gangguan layanan bagi 15 juta nasabah, sekaligus menuntut tebusan sebesar USD 20 juta.
Kasus semacam ini menunjukkan betapa rentannya infrastruktur digital kita dan menegaskan kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem keamanan siber agar tidak mengancam stabilitas nasional.
Lebih jauh, Menkomdigi menekankan bahwa infrastruktur strategis negara, termasuk sistem militer dan lembaga pemerintahan, merupakan sasaran empuk serangan siber. Kondisi ini membuat penguatan keamanan digital menjadi keharusan, bukan pilihan.
Upaya ini harus didukung oleh penyusunan regulasi yang matang dan implementasi teknologi keamanan terbaru, agar setiap celah di ruang siber dapat tertutup dengan baik dan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak dengan niat jahat.
Untuk menghadapi tantangan di dunia maya, Kementerian Komunikasi dan Digital telah mengeluarkan berbagai regulasi strategis. Di antaranya, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Sistem Elektronik untuk Perlindungan Anak (PP TUNAS), revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, serta Perpres Nomor 47 Tahun 2023 tentang Strategi Keamanan Siber Nasional.
Regulasi-regulasi tersebut dirancang untuk memberikan payung hukum yang kuat dalam melindungi ruang siber Indonesia dan menindak tegas setiap tindakan yang mengancam kedaulatan digital.
Namun, Meutya Hafid menegaskan bahwa penerapan regulasi saja tidak cukup. Ia mengajak seluruh peserta P3N dan P4N, bersama dengan elemen pemerintahan lainnya, untuk menjadi pelopor dalam literasi digital.
Masyarakat perlu dijelaskan bahwa internet merupakan pedang bermata dua, yang bisa memberikan manfaat besar jika digunakan dengan bijak namun juga berpotensi menimbulkan kerugian serius.
Melalui penyuluhan dan edukasi yang konsisten, masyarakat diharapkan semakin cerdas dalam menyaring informasi dan mengetahui cara melindungi diri dari hoaks dan serangan siber.
Dukungan juga datang dari berbagai pihak, termasuk Gubernur Lemhannas RI, Ace Hasan Syadzily, yang menyatakan bahwa penguatan ruang siber adalah elemen vital dalam menjaga ketahanan nasional secara menyeluruh.
Menurutnya, tanpa sistem yang kuat di ruang siber, ketahanan nasional tidak akan mencapai potensi maksimalnya. Kolaborasi strategis antara sektor swasta, lembaga pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci dalam membangun pertahanan digital yang tangguh.