Jemaah haji Kloter JKS 11 bernama Dimas Aditya Nugraha yang sehari-harinya bekerja di Kementerian Komdigi memberikan testimoni tentang pengalaman psikologis dan spiritual pasca ibadah di Arafah, Muzdalifah dan Mina. Menurutnya, setelah menyelesaikan rangkaian ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, hatinya terasa seperti baru saja dilapangkan. Ada semacam kelegaan yang sulit dijelaskan.
“Semua rasa bercampur jadi satu, letih, syukur, haru, juga ketundukan. Tapi yang paling membekas adalah pengalaman spiritual yang tak mungkin saya lupakan seumur hidup”, katanya.
Di Arafah, dia betul-betul memanfaatkan waktu mustajab itu dengan penuh kesungguhan. Tempatnya pun istimewa, langitnya terbuka, dan doa-doa terasa begitu dekat dengan langit. Di sana jemaah berdoa nafsi-nafsi, masing-masing membawa beban pribadi, membawa harapan, membawa penyesalan. Dia menggambarkan bagaimana setiap jemaah “curhat” dan minta apapun yang mereka mau kepada Allah.
Baginya, di Arafah membuat dirinya hanyut dalam kerinduan dengan Sang Ilahi. “Makanan di Arafah memang tersedia melimpah, tapi entah mengapa, kami tidak tergoda untuk sibuk dengan itu. Kami memilih diam, berdoa, memohon, dan merintih dalam hati”, tuturnya menceritakan suasana batin saat itu. Jelas bahwa Arafah membentuk suasana batin yang mendalam, dan sulit digambarkan dengan kata-kata.
Malamnya jemaah menuju Muzdalifah. Tidak semua jemaah mabit sepenuhnya, tapi jemaah mencoba sebisa mungkin mengikuti tuntunan. Ada yang harus menunggu bis lama, ada makanan yang datang terlambat, bahkan ada yang tidak kebagian. Menurutnya, sebagian besar tidak mengeluh. Semua tampak santai, seolah sudah siap menghadapi apa pun. Barangkali karena jemaah sadar, ini bukan soal kenyamanan, tapi soal kesabaran.
Di tengah keterbatasan itulah justru muncul kehangatan antarsesama jemaah. Muncul sikap saling menolong. “Saya sendiri berjalan lambat, tapi badan saya cukup kuat. Maka ketika ada ibu-ibu sepuh yang kelelahan, saya dampingi mereka. Kami jalan bareng, tidak terburu-buru, tidak meninggalkan yang lain. Bagi saya, ini bukan hanya soal ibadah individual, ini juga soal “hablun minannas” atau cinta kepada sesama. Menjaga agar rombongan tetap utuh, saling menenangkan, saling melindungi”, tuturnya dengan semangat.
Saat tiba di Mina dan harus melontar jumrah, digambarkan jemaah tetap menjaga prinsip itu. Mereka mencari waktu-waktu yang tidak terlalu ramai, agar bisa melempar dengan tenang dan tertib. Hari pertama setelah Ashar, kosong. Hari kedua pun demikian. Hari ketiga, saat Zuhur, juga masih lapang. Di sinilah pentingnya menghindari kerumunan.
“Saya terus mengingatkan kepada para ibu yang saya bawa, jangan masuk tengah kerumunan, jangan panik, cari tempat longgar, lempar dengan tenang. Kalau ada orang lewat, beri jalan. Kalau batu jatuh, jangan dipungut lagi. Jangan nengok ke belakang. Kita ini ibadah, bukan bertarung. Semua harus tenang, semua harus selamat”, pesannya tegas.
Ada satu hal yang terus dia ingat, bahwa saat menolong para ibu-ibu itu, dirinya merasa seperti sedang membalas budi. Tahun lalu, banyak orang yang menolong ibunya saat berhaji. Maka tahun ini, ia seperti diberi kesempatan oleh Allah untuk membalasnya. “Ini bukan kebetulan. Ini pelajaran. Bahwa kebaikan akan kembali dalam bentuk yang berbeda. Bahwa haji bukan hanya tentang kita dan Allah, tapi juga tentang kita dan sesama”, tegasnya seperti berpuisi.
Setelah semua itu selesai, dia mengaku merenung. Apa yang sebenarnya yang ingin ia bawa pulang dari Tanah Suci? Bukan oleh-oleh, bukan foto-foto, tapi taubat. Tempat-tempat ini, Arafah terutama, adalah tempat Allah membuka pintu ampunan. Tempat jemaah haji bersujud dengan sungguh-sungguh. Ia tahu, meminta ampun itu tidak mudah. Tidak semua orang punya kesempatan. Maka ketika kesempatan itu datang, mereka ingin sungguh-sungguh memanfaatkannya sebaik-baiknya.
Mereka berdoa agar dosa-dosanya diampuni, agar hidup setelah ini lebih baik. Karena sesungguhnya, haji mabrur itu tidak diukur saat di sana, tapi dilihat dari apa yang terjadi setelahnya. Bagaimana seseorang menjalani hidup sepulang dari Tanah Suci. Apakah berubah? Apakah jadi lebih jujur? Lebih sabar? Lebih bersih hatinya?
Namun tentu saja, tak semua pengalaman mulus. Ada beberapa hal teknis yang dirinya rasa perlu diperbaiki. Misalnya, tidak ada peta situasi yang memadai yang disiapkan PPIH. Buku panduan dari pemerintah hanya menjelaskan tata cara ibadah. Tapi peta lokasi, rute bis, nomor kontak penting, atau wilayah hotel, semua itu tidak tersedia secara sistematis.
Padahal, banyak jemaah yang kebingungan. Bahkan ada kasus seorang ibu dalam rombongannya yang akhirnya meninggal karena tidak cocok dengan makanan, kurang serat, dan tidak ada informasi awal tentang hal ini. Jika saja jemaah diberi tahu lebih dulu, tentu bisa mengantisipasi. Informasi seperti ini sangat penting. Dan distribusinya pun harus aktif, bukan hanya disimpan di grup WhatsApp atau dikirim menjelang akhir.
Ia menyampaikan ini bukan untuk mengkritik, tapi sebagai harapan sebagai jemaah haji yang merindukan ketenangan. Dirinya bersedia jika diajak ikut membantu pelaksanaan haji tahun depan. Mungkin ia bisa ikut berkontribusi sebagai bagian dari petugas haji. Dirinya ingin pengalaman ini tidak berhenti pada dirinya sendiri. Ia ingin membantu agar jemaah haji lainnya bisa beribadah dengan lebih tenang, lebih terarah, dan lebih manusiawi.
Pada akhirnya, ia hanya bisa berdoa dan memohon. Semoga Allah menerima ibadah kita, jemaah haji Indonesia. Semoga semua dosa terampuni. Dan semoga, pulang dari sini, hidup jemaah haji benar-benar berubah menjadi lebih baik. Amin ya Rabb. []