Penyelenggaraan ibadah Haji tahun 2025 telah berlangsung dengan lancar dan tertib. Ratusan ribu jemaah Indonesia berhasil menunaikan rangkaian manasik haji di Tanah Suci dengan aman, nyaman, ramah, dan penuh khidmat. Keberhasilan ini tidak terlepas dari semangat gotong royong, kebersamaan, dan kolaborasi berbagai pihak yang bekerja bahu-membahu, mulai dari pemerintah, petugas, pembimbing, hingga jemaah itu sendiri.
Apresiasi tinggi layak kita berikan kepada para petugas haji yang telah berkhidmat tanpa lelah. Mereka melayani jemaah dengan penuh kesabaran, ketulusan, dan dedikasi di tengah tantangan yang tidak ringan. Spirit melayani yang mereka tunjukkan menjadi wajah keikhlasan ibadah itu sendiri.
Capaian ini bukan hanya soal administratif, tetapi cerminan dari kesiapan mental-spiritual bangsa dalam mengelola ibadah berskala global. Namun, ketika para jemaah kembali ke tanah air dengan gelar “haji” dan “hajjah”, satu pertanyaan utama tetap perlu digemakan: bagaimana ‘kemabruran’ itu dijaga?
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Artinya, “Haji yang mabrur, tiada balasan lain kecuali surga” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda ini bukan sekadar janji eskatologis, tapi penanda bahwa kualitas haji tidak hanya diukur dari keberangkatan dan kepulangan, melainkan pada transformasi hidup setelahnya. Maka, ‘kemabruran’ bukanlah titik akhir dari ibadah haji, melainkan titik balik menuju kehidupan yang lebih bermakna, sebagaimana ditekankan dalam kerangka maqashid al-syari‘ah.
Sayangnya, banyak orang masih memaknai kemabruran secara sempit: sebagai keberhasilan melaksanakan seluruh rukun dan wajib haji secara sah. Padahal, para ulama sejak lama menegaskan bahwa mabrur bukan sekadar status hukum fikih, melainkan cerminan perubahan akhlak dan orientasi hidup. Dalam kerangka ini, haji yang mabrur adalah haji yang berdampak, yakni bukan hanya pada diri, tetapi juga pada lingkungan sosial dan bahkan ekologis.
Kemabruran dan Transformasi Sosial-Ekologis
Secara sosiologis, ibadah haji mengandung kekuatan simbolik yang luar biasa. Di Tanah Suci, semua manusia disatukan dalam balutan ihram, menanggalkan atribut duniawi, status sosial, dan ego pribadi. Haji menjadi ajang latihan kerendahan hati, kesabaran, dan kesetaraan.
Nilai-nilai tersebut seharusnya terbawa pulang dan hidup dalam praktik sehari-hari. Seorang yang kembali dari haji semestinya lebih jujur dalam bekerja, lebih empatik terhadap sesama, dan lebih aktif dalam menyebarkan nilai kebaikan di tengah masyarakat.
Haji yang mabrur idealnya menghadirkan perubahan sosial. Ia tidak menjadikan seseorang eksklusif, tetapi justru lebih inklusif dalam pergaulan. Ia tidak membanggakan gelar, tetapi membumikan akhlak.
Ia juga tampil sebagai pribadi yang menyejukkan dan dapat diandalkan, menjadi contoh dalam menolak segala bentuk penyimpangan dan ketidakjujuran, berperilaku adil, serta mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan sehari-hari. Dengan kata lain, kemabruran adalah proses internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam struktur kehidupan sosial yang nyata.
Tak hanya itu, kemabruran juga harus menyentuh dimensi ekologis. Salah satu nilai utama dalam ihram adalah larangan menyakiti makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan hewan. Ini bukan hanya soal ketundukan pada tata cara ibadah, tetapi bentuk pengajaran ekologis yang sangat visioner.
Dalam dunia yang sedang menghadapi krisis iklim, ajaran ini menjadi sangat relevan. Maka menjaga kemabruran juga berarti menjaga alam: mengurangi sampah, menghindari gaya hidup konsumtif, serta memilih opsi yang lebih ramah lingkungan dalam keseharian.
Seorang haji yang mabrur tak seharusnya hanya menunjukkan perubahan spiritual, tapi juga tanggung jawab ekologis. Ia menjadi pribadi yang lebih sadar bahwa bumi adalah amanah, bukan objek eksploitasi. Ia bijak dalam konsumsi, tidak mudah tergoda dengan kemewahan, dan berupaya menjaga harmoni dengan alam.
Spirit ihram, sebagai bagian dari tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), seharusnya tidak berakhir di Tanah Suci, tapi dibawa pulang ke Tanah Air sebagai panduan etika lingkungan yang berkelanjutan. Inilah wujud tazkiyah yang hidup—ketika spiritualitas tak hanya berhenti dalam hati, tetapi juga membentuk cara kita memperlakukan bumi.
Dalam kajian etika Islam, kesalehan yang utuh mencakup tiga dimensi: hablum minallah (relasi dengan Tuhan), hablum minannas (relasi dengan manusia), dan hablum minal ‘alam (relasi dengan alam). Ibadah haji melatih ketiganya secara intensif, dan kemabruran menjadi indikator keberhasilan latihan itu. Maka, tak berlebihan jika kita mengatakan bahwa seorang haji mabrur adalah figur teladan dalam spiritualitas, sosialitas, dan ekologi sekaligus.
Merawat Spirit Haji Sepanjang Hayat
Namun, menjaga kemabruran tentu bukan perkara mudah. Di tengah dunia yang penuh distraksi, godaan untuk kembali pada kebiasaan lama begitu besar. Gaya hidup konsumtif, egoisme sosial, bahkan sikap eksklusif berbasis status keagamaan bisa merusak makna haji itu sendiri. Karena itu diperlukan kesadaran yang konsisten dan ketekunan untuk merawat nilai-nilai haji dalam setiap keputusan dan perilaku sehari-hari.
Salah satu pendekatan yang bisa membantu adalah dengan memperkuat muhasabah; refleksi diri yang berkesinambungan dalam tradisi spiritual Islam. Jemaah haji perlu diajak untuk memaknai ulang pengalamannya: bukan sebagai pencapaian administratif, tetapi sebagai proses spiritual yang menuntut keberlanjutan.
Refleksi ini bisa dilakukan melalui forum pengajian, komunitas pasca-haji, atau bahkan catatan pribadi yang merekam perkembangan spiritual. Yang utama adalah menjaga agar nilai-nilai haji tetap hidup dan relevan dalam dinamika hidup sehari-hari.
Di saat yang sama, lingkungan sosial juga harus mendukung. Alih-alih hanya memuji gelar, masyarakat perlu mendorong para haji untuk menjadi inspirasi perubahan. Nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, dan kepedulian yang ditunjukkan para haji akan menjadi role model atau uswah hasanah yang lebih kuat daripada sekadar atribut simbolik. Haji tidak seharusnya menjadi sekat baru antarwarga, tapi jembatan yang merekatkan nilai-nilai kebaikan.
Dalam konteks ini, penting kiranya untuk menegaskan kembali bahwa kemabruran bukan hanya soal akhirat, tetapi juga urusan dunia. Haji yang mabrur berdampak pada perbaikan tata kelola hidup, termasuk dalam ranah sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Ia sejalan dengan prinsip Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), bukan hanya untuk sesama muslim. Maka, kita memerlukan narasi besar yang mengangkat haji sebagai instrumen peradaban, bukan sekadar ritual personal.
Menjaga kemabruran haji adalah tanggung jawab kolektif. Ia dimulai dari individu, tetapi memerlukan ekosistem yang mendukung, mulai dari keluarga, komunitas, hingga kebijakan negara. Pendidikan, keteladanan, dan penguatan nilai juga harus terus dilakukan agar energi spiritual dari Tanah Suci tidak padam saat kaki menginjak tanah air.
Haji bukan cuma soal perjalanan fisik ke Tanah Suci, tapi juga perjalanan batin yang tak boleh berhenti ketika pulang. Karena kemabruran itu hidup terus, bukan selesai saat ritual selesai.
Akhirnya, mari kita tanamkan kembali makna mendalam dari ibadah haji: bahwa ia bukan sekadar perjalanan ke Makkah, tetapi juga perjalanan pulang kepada jati diri sebagai manusia yang berserah, peduli, dan bertanggung jawab. Sehingga, setiap haji yang pulang bukan hanya membawa kenangan, tetapi juga semangat untuk menjadi insan yang lebih baik bagi diri, sesama, dan semesta.
Ahmad Zayadi, Direktur Penerangan Agama Islam