Arafah, Dulu dan Sekarang
Gelombang pertama jemaah haji Indonesia mulai dipulangkan ke tanah air setelah menyelesaikan seluruh prosesi ibadah di Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Makkah. Namun, di tengah suasana sakral itu, hati saya terasa bingung dan gundah membaca beragam berita yang berseliweran, baik di media mainstream maupun di grup-grup WhatsApp. Isinya beragam, ada yang mengeluh, banyak juga yang mengapresiasi. Mereka yang mengeluh umumnya terkait dengan fasilitas. Padahal, esensi ibadah haji seharusnya jauh lebih agung daripada sekadar soal fasilitas.
Saya jadi teringat pengalaman pribadi saat bertugas sebagai petugas haji Indonesia pada tahun 2000. Di bawah tenda-tenda Arafah yang seadanya, beralaskan kambal tipis yang mulai lusuh tanpa bantal dan tanpa kipas, ribuan jemaah Indonesia berbaring berdempetan. Udara begitu panas dan pengap, sementara angin gurun yang sesekali berhembus kencang membawa butiran pasir yang beterbangan masuk ke dalam tenda. Makanan pun harus antri panjang, dan menu sederhana itu dinikmati tanpa keluhan. Namun, justru dalam suasana serba terbatas itulah, terpancar wajah-wajah teduh yang dipenuhi ketulusan. Para jemaah larut dalam bacaan Al-Qur’an, jemari mereka sibuk menghitung biji-biji tasbih, lisan terus melantunkan tahlil dan istighfar, seolah ingin menangguhkan waktu agar lebih lama berada di padang Arafah. Tak ada yang sibuk menghitung kekurangan, sebab hati mereka telah dipenuhi oleh panggilan suci: Labbaykallahumma labbayk, sebuah seruan mulia yang akhirnya mampu mereka jawab dengan hadir, meski bukan dalam kemewahan, tetapi dalam kesederhanaan yang justru mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan hakiki.
Selang dua dekade, suasana Arafah telah berubah drastis. Temen saya yang sekarang sedang bertugas haji bercerita, bahwa di Arafah kini berdiri tenda-tenda besar secara permanen, kokoh, dan dilengkapi AC berkapasitas besar. Di dalamnya, kasur busa empuk berjejer di atas lantai yang dilapisi kambal tebal, lengkap dengan bantal dan seprei kecil. Makan box bercita rasa Nusantara disajikan tiga kali sehari, dengan air mineral, minuman dingin, air panas, buah segar, roti, dan aneka camilan yang tersedia kapan saja. Fasilitas kesehatan dan toilet bersih pun terus ditingkatkan. Namun ironisnya, di tengah segala peningkatan itu, masih ada jemaah yang mengeluh di media sosial. Tentang nasi yang kurang hangat, AC yang tak merata, antrean makan yang dianggap terlalu lama, dan ragam komentar lain yang tak pernah habis. Di titik inilah hati saya tergerak untuk merenung: apakah bertambahnya fasilitas perlahan memudarkan ruh ibadah itu sendiri? Apakah kenyamanan yang terus dimodernisasi, tanpa diimbangi pendidikan hati dan penguatan karakter, justru berpotensi menggerus keikhlasan para tamu Allah? Jangan-jangan, kita terlalu sibuk membenahi tenda fisik, sementara tenda hati yang seharusnya paling lapang saat memenuhi panggilan suci Labbaykallahumma labbayk, justru dibiarkan sempit oleh ego, keluhan, dan tuntutan duniawi.
Haji Itu Menjadi Tamu Allah, Bukan Tamu Penginapan Bintang Lima
Berhaji bukanlah perjalanan biasa. Ini adalah undangan suci dari Allah, dan siapa pun yang memenuhinya berstatus sebagai tamu-Nya. Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang yang berhaji dan berumrah adalah tamu-tamu Allah. Jika mereka berdoa kepada-Nya, Dia memperkenankan. Jika mereka memohon ampun, Dia mengampuni.” (HR. Ibnu Majah). Karena itu, setiap jemaah seyogianya mempersiapkan diri dengan adab terbaik, menjaga lisan, perasaan, dan sikap, baik di depan sesama jemaah, petugas, maupun saat di hadapan Allah.
Sebagai tamu Allah, sejatinya sudah ada kriteria utama yang harus disiapkan sejak awal keberangkatan. Pertama dan yang paling utama adalah menata niat berhaji semata-mata karena Allah SWT, bukan sekadar demi status sosial, gelar, atau cerita di media sosial. Allah SWT berfirman: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah: 196). Ayat ini menjadi pengingat bahwa orientasi berhaji bukan untuk dipuji manusia, melainkan untuk memenuhi panggilan suci-Nya dengan hati yang bersih dan lurus. Kedua, membawa bekal terbaik, bukan sekadar logistik dan kesehatan fisik, tetapi bekal taqwa, sebab Allah telah berfirman: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (QS. Al-Baqarah: 197). Bekal taqwa inilah yang akan membimbing hati tetap tenang, sabar, dan bersyukur di setiap situasi, baik saat fasilitas memadai maupun di tengah keterbatasan.
Arab Saudi, dengan gelar Khâdim al-Haramain asy-Syarîfain, telah berupaya maksimal menghadirkan layanan terbaik bagi jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia. Pemerintah Indonesia pun terus meningkatkan mutu pelayanan akomodasi, kesehatan, konsumsi, hingga bimbingan ibadah. Tentu saja, kekurangan pasti ada, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Kritik konstruktif dan kontrol atas pelayanan tetap perlu dilakukan dengan santun dan bijak.
Di samping itu, penting dipahami bersama bahwa ada tiga kriteria utama yang menjadi ukuran sukses penyelenggaraan ibadah haji. Pertama, semua calon jemaah haji dapat diberangkatkan ke tanah suci, menerima layanan akomodasi, kesehatan, dan konsumsi yang layak selama di tanah suci. Kedua, semua jemaah haji dapat mengikuti wuquf di Arafah — sebab inilah puncak sekaligus rukun utama dalam ibadah haji yang menentukan sah-tidaknya haji seseorang. Ketiga, seluruh jemaah dapat dipulangkan kembali ke tanah air dalam keadaan selamat. Tiga hal inilah yang menjadi indikator baku dalam evaluasi setiap musim haji, baik oleh pemerintah Arab Saudi, pemerintah Indonesia, maupun organisasi internasional.
Karena itu, di tengah segala fasilitas modern yang tersedia — dari tenda ber-AC, makan box bercita rasa Nusantara, hingga layanan kesehatan prima — para jemaah tetap perlu menjaga adab dan keluhuran hati. Jangan sampai fasilitas melimpah justru memudarkan ruh ibadah itu sendiri. Jangan pula semangat kontrol pelayanan berubah menjadi lisan yang ringan mengeluh tanpa adab. Haji adalah perjalanan hati, bukan sekadar perjalanan tubuh. Ia menuntut kesabaran, keikhlasan, dan rasa syukur yang tulus di setiap detiknya. Sebab hakikatnya, kita sedang dipanggil Allah, bukan menginap di penginapan bintang lima.
Tiga Usulan Strategis demi Haji yang Lebih Bermartabat
Karena itu, saya ingin mengusulkan beberapa langkah strategis yang kiranya dapat menjadi bahan perbaikan dalam penyelenggaraan ibadah haji ke depan. Pertama, Manasik Haji Tematik Berbasis Nilai. Selama ini, manasik haji di Indonesia cenderung lebih fokus pada aspek teknis: bagaimana cara niat thawaf, tahapan lempar jumrah, atau prosedur sa’i. Padahal, lebih penting dari itu adalah penanaman nilai dan keteladanan spiritual. Narasi-narasi tentang kesabaran jemaah terdahulu yang rela menahan haus tanpa mengeluh, tidur di tenda panas tanpa berpikir viral, atau berbagi makanan seadanya di tengah keterbatasan perlu dihidupkan kembali. Sebab hakikatnya, jemaah hari ini sedang memenuhi undangan Allah, bukan sedang berwisata ke hotel berbintang lima.
Kedua, Edukasi Literasi Digital Jemaah. Di era media sosial, setiap individu dapat menjadi pewarta bagi dirinya sendiri. Tanpa kontrol literasi yang baik, berbagai unggahan dari tanah suci bisa menimbulkan kegaduhan atau bahkan mereduksi kekhusyukan ibadah. Di sinilah peran Kementerian Agama perlu diperluas dengan menggandeng para dai, akademisi, dan influencer muslim untuk memberikan edukasi literasi digital kepada jemaah tentang adab bermedia di tanah suci. Bahwa tidak semua hal pantas dibagikan ke publik, apalagi yang berpotensi menodai nilai ibadah atau memicu perdebatan tak perlu. Rasulullah SAW telah mengingatkan: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari Muslim).
Ketiga, Perlindungan Jemaah dari Isu Hoaks. Langkah cepat Kementerian Agama dalam merespons isu pemangkasan kuota haji tahun ini patut diapresiasi. Pada 13 Juni 2025 (Republika) Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA., telah memastikan bahwa pelaksanaan haji 2025 berjalan normal dan membantah kabar tak berdasar tersebut. Ke depan, perlu dibangun kanal informasi resmi yang responsif dan mudah diakses oleh jemaah, disertai unit fact-checking yang sigap memverifikasi isu-isu liar yang kerap beredar di grup WhatsApp jemaah. Literasi informasi menjadi ikhtiar penting demi menjaga suasana ibadah tetap tenang, khusyuk, dan bermartabat.
Akhirnya, kita semua perlu kembali menyadari bahwa haji adalah panggilan mulia, bukan sekadar perjalanan ibadah yang dibalut kemewahan fasilitas. Jemaah haji adalah tamu Allah, dan sebagai tamu, sudah sewajarnya mengedepankan adab, kesabaran, rasa syukur, serta menjaga hati dan lisan. Betapapun layanan terus ditingkatkan, ruh ibadah tak boleh ditukar dengan kenyamanan semata. Jangan sampai kita sibuk membenahi tenda fisik, tapi abai merawat tenda hati yang seharusnya lapang saat mengucap: Labbaykallahumma labbayk.
Semoga pelaksanaan haji di masa depan tak hanya diwarnai dengan perbaikan fasilitas, tetapi juga dengan peningkatan kualitas spiritual, literasi, dan adab jemaah. Sebab di situlah letak kemuliaan ibadah ini: saat tubuh lelah menempuh ritual, tapi hati tetap tenang, bersyukur, dan merasa dekat dengan-Nya. Akhir kata, saya mengucapkan “Selamat tiba di tanah air, haji dan hajjah yang dirahmati Allah”. Semoga perjalanan suci ini menginspirasi kesabaran dan kepedulian kita semua. Amin. Wallāhu a’lam bish-shawāb
Dr. A. Umar, MA (Dosen UIN Walisongo Semarang, Mantan Petugas Haji Indonesia Tahun 2000)