Dalam menghadapi era globalisasi dan kompleksitas tantangan masa depan, Indonesia dihadapkan pada dua persoalan mendesak: tantangan kemanusiaan global dan konteks lokal keberagaman Indonesia. Isu dehumanisasi—seperti konflik bersenjata, diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan—semakin mengemuka dan mengancam kohesi sosial. Di Indonesia, keberagaman yang seharusnya menjadi kekayaan justru berpotensi memicu konflik apabila tidak dikelola secara bijaksana.
Sosialisasi nilai-nilai humanisme yang berlandaskan cinta menjadi solusi untuk mengatasi fenomena dehumanisasi ini. Kementerian Agama hadir dengan sebuah terobosan untuk menanamkan nilai-nilai ini untuk anak bangsa melalui Kurikulum Berbasis Cinta. Di antara nilai-nilai yang hendak diinternalisasi dari kurikulum ini adalah Panca Cinta, yang terdiri dari lima pilar cinta yang holistik: mencakup cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, ilmu, lingkungan, diri dan sesama, serta tanah air.
Al-Qur’an, sebagai pedoman hidup umat Islam, telah mengajarkan kelima cinta ini. Mari kita telusuri tafsir ayat-ayatnya untuk menemukan kedalaman makna di balik Panca Cinta.
Pertama, Cinta Allah dan Rasul-Nya: Cinta yang Berbuah Ketaatan (QS. Ali ‘Imran/3:31)
Ayat ini adalah kunci memahami makna cinta yang sebenarnya dalam Islam. Cinta kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw., bukanlah perasaan abstrak yang hanya disimpan di dalam hati. Ia menuntut aksi nyata berupa ketaatan.
Mencintai Allah berarti bersedia menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sementara, bukti cinta kepada Rasulullah adalah dengan mengikuti Sunnah dan teladannya dalam kehidupan sehari-hari. Ayat ini juga menyertakan janji indah: jika kita konsisten mengikuti Nabi, maka kita akan meraih cinta Allah dan ampunan-Nya.
Dalam konteks Panca Cinta, nilai ini menjadi fondasi dan kompas bagi semua cinta lainnya. Setiap tindakan kita, apakah itu mencari ilmu atau menjaga lingkungan, harus dilandasi oleh niatan untuk taat kepada Allah dan meneladani Rasul-Nya.
Kedua, Cinta Ilmu: Jalan Pengangkatan Derajat (QS. Al-Mujadalah/58:11)
Ayat ini adalah motivasi terbesar bagi setiap pencari ilmu. Allah Swt. secara tegas menjanjikan pengangkatan derajat bagi orang-orang yang berilmu. Derajat di sini memiliki makna ganda: baik derajat secara duniawi, maupun derajat spiritual di sisi Allah.
Cinta ilmu dalam Islam bukan hanya sekedar aktivitas akademik. Ia adalah kewajiban yang bernilai ibadah sekaligus meningkatkan spritualitas, sebagaimana sabda Nabi, “Orang yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim). Cinta ini memotivasi kita untuk tidak hanya menjadikan ilmu sebagai palum dari dahaga pengetahuan saja, melainkan juga untuk memperkuat sisi spiritual kita.
Dalam kerangka kurikulum, menanamkan cinta ilmu berarti mempersiapkan generasi yang tidak hanya pintar secara akademis dan kognitif, tetapi juga dari sisi afeksi, yaitu berakhlak mulia sekaligus berbudi pekerti luhur.
Ketiga, Cinta Lingkungan: Tanggung Jawab sebagai Khalifah (QS. Al-A’raf/7:85)
Ayat ini adalah seruan profetik untuk menjaga kelestarian bumi. Larangan berbuat kerusakan (ifsād) di muka bumi sangat jelas dan tegas. Allah telah menciptakan alam dengan keseimbangan dan keindahan yang sempurna, dan manusia ditugaskan sebagai khalifah untuk mengelolanya, bukan merusaknya.
Cinta lingkungan adalah wujud nyata dari keimanan. Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika hari kiamat tiba, dan di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum hari kiamat, hendaklah ia menanamnya.” (HR. al-Bukhari dan Ahmad). Ini menunjukkan betapa Islam menekankan tindakan produktif dan ramah lingkungan hingga detik terakhir.
Mulai dari hal sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan, menghemat air dan listrik, hingga gerakan menanam pohon—semuanya adalah bentuk praktis dari cinta lingkungan yang diajarkan Al-Qur’an.
Keempat, Cinta Diri dan Sesama: Merayakan Kemajemukan dalam Takwa (QS. Al-Isra’/17:70 & QS. Al-Hujurat/49:13)
Dua ayat ini saling melengkapi dalam membangun konsep cinta diri dan sesama. Ayat pertama menegaskan bahwa setiap manusia pada dasarnya dimuliakan oleh Allah. Mencintai diri sendiri berarti menjaga martabat itu dengan menghindari segala yang merendahkan dan merusak diri. Ia juga berarti mengembangkan potensi diri untuk menjadi yang terbaik.
Ayat kedua mengajarkan kita untuk mencintai sesama. Dalam perbedaan suku, bangsa, dan latar belakang yang begitu beragam, Allah menetapkan bahwa tolok ukur kemuliaan adalah ketakwaan, bukan hal-hal duniawi. Prinsip ini melahirkan rasa hormat, toleransi, dan kesetaraan. Rasulullah mengajarkan prinsip emas dalam sebuah hadis, “Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Kelima, Cinta Tanah Air: Refleksi Ketaatan dan Ikatan Hati (QS. An-Nisa’/4:66)
Ayat ini mengisyaratkan sebuah ikatan emosional yang sangat kuat antara manusia dengan tanah airnya (ḥubbul-waṭan). Perintah untuk meninggalkan kampung halaman digambarkan sebagai sesuatu yang sangat berat, seberat perintah untuk mengorbankan nyawa.
Ini membuktikan bahwa kecintaan pada tanah air adalah fitrah setiap manusia. Rasulullah saw. sendiri memberikan teladan. Saat harus hijrah meninggalkan Makkah, beliau bersabda, “Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri dan engkau adalah negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku darimu, niscaya aku tidak akan tinggal di negeri selainmu.” (HR. Ibnu Hibban). Selepas Nabi hijrah ke Madinah, Allah berjanji akan membebaskan Makkah; agar Nabi dapat berpulang kampung ke tanah kelahirannya (QS. Al-Qaṣaṣ/28:85).
Cinta tanah air diwujudkan dengan berkontribusi positif bagi negeri, membelanya dari ancaman, menjaga keutuhannya, dan bekerja keras untuk memajukannya. Ini adalah bagian dari iman dan wujud syukur kepada Allah.
Panca Cinta dalam Kurikulum Berbasis Cinta adalah bangunan nilai yang integratif dan memiliki akar yang sangat kuat dalam Al-Qur’an. Kelima cinta ini saling berkaitan: berhulu dari sumber cinta, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya; lalu memancar menjadi tanda cinta, yaitu cinta ilmu dan lingkungan; hingga pada akhirnya bermuara pada tali cinta, yaitu cinta diri dan sesama, serta tanah air.
Mari kita internalisasi dan praktikkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kita tidak hanya mencetak generasi yang cerdas, tetapi juga generasi yang berakhlak Qur’ani, mencintai Tuhannya, sesama, dan alam semesta, siap menjadi rahmat bagi seluruh alam (raḥmatan lil ‘ālamīn).
Abdul Aziz Sidqi (Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an)