Astacita Presiden Prabowo – Gibran yang ditekankan pertama adalah: memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Bagaimana kita menggali Nilai-nilai Spiritualitas Pancasila dalam pembangunan bangsa dan negara khususnya dalam pembangunan bidang agama?
Merefleksikan 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila, khususnya dalam menyambut 80 tahun Indonesia Merdeka (2025), pertama-tama kesadaran kita kembali diingatkan bahwa Republik Indonesia Merdeka berlandaskan atas pendasaran moral dan etika, yang tertuang dalam mukadimah UUD 1945. Dan Ketuhanan Yang Maha Esa diletakkan sebagai sila pertama dalam Pancasila. Rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan rumusan yang sangat cerdas untuk menggantikan rumusan “Piagam Jakarta” dalam Pancasila yang merupakan tanda bahwa para pendiri bangsa ini, terutama para Founding Father yang beragama Islam sebelum mendeklarasikan kemerdekaan dengan arif bijaksana mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.
Para pemimpin bangs akita, sebelum kemerdekaan sadar bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki religiositas yang kaya dan mendalam, yang tidak bisa didasarkan pada agama tertentu saja. Perumusan itu dilakukan untuk merangkul semua agama yang ada di Indonesia. Perumusan itu merupakan pengakuan akan realitas bangsa Indonesia yang sangat plural, tetapi juka merupakan sumbangan besar umat Islam untuk Indonesia. Dan hal ini juga hendak menegaskan, bahwa kita adalah bangsa yang religious, kaya akan nilai-nilai Spiritualitas dalam Pancasila. Pancasila diyakini bukan saja sebagai ideology membangkitkan keyakinan ideologis; sebagai dasar Negara mengembangkan keyakinan konstitusi; tetapi juga sebagai spiritualitas meneguhkan keyakinan sipiritual bangsa.
Dalam cita kebangsaan yang berideologikan Pancasila, keberadaan Kementerian Agama merupakan jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara, dan teori persatuan agama dengan negara. Indonesia bukanlah negara agama, dan bukan pula negara sekular ataupun negara yang membolehkan propaganda anti agama. Meski demikian, Negara memberikan tempat terhormat bagi agama, dan masyarakat Indonesia selama berabad-abad juga dikenal sebagai bangsa yang religious. Peran negara dalam menjaga religiusitas masyarakat, kebebasan beribadah, meningkatkan kualitas kehidupan intern dan antar umat beragama adalah tugas penting yang dijalankan Kementerian Agama (Nasaruddin Umar, 2025).
Dalam rangka memperkuat ideologi Pancasila, menggali dan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, perlu sebuah perspektif baru terhadap Pancasila. Teori problem solving (Karl Popper 1972) menuntut kita mengarahkan perhatian pada problem riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia; seperti pemerataan pendapatan, timpangnya pembangunan demokrasi, lemahnya penerapan rule of low dan bertumbuhnya sikap intoleransi. Pancasila harus dapat menjadi spirit yang memerdekakan dalam mengatasi problem kebangsaan; kemiskinan ekstrim, korupsi, dan ketidakadilan social. Metode heuristik dapat bermakna sebagai suatu pendekatan dan perspektif yang lebih segar untuk membangun pemahaman baru atas Pancasila, misalnya, perspektif atau pengertian yang bermakna spiritual agar menuntun kita pada visi tertentu tentang Pancasila sebagai spiritualitas kehidupan bangsa Indonesia.
Filsuf dan pemikir Pancasila, Prof. N. Driyarkara menemukan mengenai kebudayaan dan kerohanian khas Indonesia, yang sesungguhnya dimiliki bersama, tetapi sering terpendam dan kurang disadari dan dihayati bersama ada dalam nilai-nilai Pancasila. Ini amat penting demi penghayatan dan pelaksanaan Pancasila sejati, demi pengembangan manusia dan masyarakat Indonesia. Dan Driyarkara mampu mempersatukan dalam Pancasila, orang-orang dari pelbagai agama dan kepercayaan yang berbeda tampaknya sulit bersatu. Driyarkara melihat potensi besar Pancasila untuk seluruh bangsa Indonesia, bukan sebagai ideology sempit yang bermaksud mengarahkan dan membawa orang kepada tujuan politik belaka, tetapi sebagai filsafat dan dasar religiositas milik bersama bangsa Indonesia yang senantiasa dapat dikembangkan bersama apapun agama dan kepercayaannya (Driyarkara, 2006).
*Menggali Nilai-nilai Spiritual*
Agama melahirkan spiritualitas yang religius, dan Pancasila melahirkan spiritualitas ideologis, kebudayaan melahirkan spiritualitas sosial. Semua itu harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan warga dan elit bangsa. Dan andai itu yang dijadikan pondasi, Indonesia akan jadi bangsa yang memiliki bingkai spiritualitas yang kaya. Perbedaan dan perselisihan wajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Manakala hal itu terjadi, nilai-nilai spiritualitas itulah yang akan menjadi rem, sehingga tidak merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara (Haedar Nasir, Ketua Umum PP. Muhammadyah).
Sesuai dengan tuntutan problem masyarakat dimana semakin tergerusnya nilai-nilai kebangsaan (adanya infiltrasi terhadap ideology Pancasila), masyarakat/bangsa Indonesia harus berani masuk dalam relung yang dalam untuk menggali nilai-nilai spiritual dalam Pancasila sehingga relevant (berdampak) terhadap proses perkembangan dan pembangunan masyarakat. Menggali dan mengamalkan Pancasila ternyata bukan hanya sekedar ideology bangsa, sebagai kohesi sosial bagi masyarakat / bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, tetapi nilai-nilai Pancasila merupakan roh yang sangat aktual, relevan dihayati dalam perjumpaan roh kebangsaan dan keagamaan, menghayati keberagamaan dalam konteks keindonesian.
Kearifan sosial agama-agama yang berusaha menghayati nilai-nilai spiritualnya dalam bingkai roh Pancasila: “Amalkan Pancasila”, layak menjadi pijakan bangsa dalam memupuk persatuan dan kesatuan antar etnis, kepercayaan maupun agama. Dan meningkatnya kecenderungan eksklusi social yang menampakkan diri dalam aneka bentuk kekerasan sosial berbasis fundamentalisme agama, tribalisme, dalam perspektif Pancasila mencerminkan lemahnya proses instusionalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila dan pengamalan keagamaan yang tidak lagi mencerminkan semangat “ketuhanan yang berkebudayaan” sebagaimana ditandaskan Bung Karno.
Bangsa Inonesia adalah bangsa Pancasila yang dalam karakter religiusnya yang modern sebagaimana formulasi Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama) sebagai dasar metafisis untuk keempat sila lainnya (Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, 109). Semua komunitas agama, budaya dan kepercayaan diundang agar berpartisipasi aktif dan kreatif dalam menggali, merevitalisasi dan mengamalkan nilai-nilai spiritual Pancasila.
Dan dalam konteks beragama di Indonesia, sebagai bangsa yang religius tentu sangat diharapkan dalam hidup berbangsa dan bernegara dapat menjadikan agama sebagai inspirasi yang mengilhami pergulatan kebangsaan kita. Begitu juga sebaliknya nilai-nilai Pancasila dapat menjadi roh ‘penanda’ apakah keberagamaan kita sudah benar-benar berdampak; memperjuangkan keadilan, semakin beradab dalam kebersamaan sebagai anak bangsa. Sebab tujuan hidup beragama (menciptakan kemaslahatan manusia di muka bumi) justru dihayati oleh setiap umat beragama dalam kehidupan berbangsa yang bhineka.
Pancasila telah teruji dan berhasil mengintegrasikan keanekaragaman (kebhinekaan) yang menjadi penciri-kenalan bangsa Indonesia di dunia internasional dan berhasil menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Setiap komponen bangsa apa pun agamanya, berkepentingan bukan terutama bagi dirinya dan kelompoknya sendiri, melainkan demi azas kemanusiaan yang adil dan beradab, dan kepedulian pada rasa hormat terhadap pelbagai kelompok massa yang berbeda bahkan berseberangan keyakinan. Pancasila merupakan perekat, bahkan jiwa bangsa Indonesia yang mengakomodasi, menerima dan menghargai keanekaragaman (plurality) kultur dan agama. Tegaknya Pancasila memungkinkan masyarakat warga Indnesia hidup dalam persatuan dan kesatuan yang sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dan dalam Pancasila, kemahaesaan Tuhan merupakan konsekuensi logis dari hakekat manusia sebagai mahluk beragama. Konteks pluralitas agama tidak bertentangan dengan kemahaesaan Tuhan. Dan sebaliknya, justru dalam pluralitas agama terletak arti dan makna sejati kebesaran dan kemahaesaan Tuhan hendaknya dihayati sehingga roh Pancasila sebagai roh kebangsaan benar-benar menjadi keutamaan sosial yang inklusif, menginspirasi, menyatukan semua golongan sosial, etnis, agama, bahasa dan aspirasi hidup (William Chang, 2009).
Pancasila sebagai ideology Bangsa, yang mengatur tata hubungan antara manusia yang bhineka dalam segala bentuknya sebagaimana diatur dalam sila ke 2 sampai ke 5 Pancasila, tidak hanya dilihat dari segi kemanusiaan belaka, tetapi dalam kaitannya dengan “Tuhan”. Manusia dilihat secara sakral religius-teologis, sebagai citra Allah sehingga kehidupan spiritual umat beragama dapat terinspirasi menghayati nilai-nilai agamanya dalam bingkai roh Pancasila, roh kebangsaan. Semua aktivitas bernegara terkait dengan demokrasi social dan demokrasi ekonomi (keadilan social) dilakukan dengan sikap bertanggungjawab di hadapan Tuhan, sehingga terbangun sebuh keyakinan dengan mengamalkan Pancasila: makin adil makin beradab demi membela kebenaran dan mewujudkan keadilan merupakan panggilan profetis semua agama.
Paus Fransiskus dalam lawatannya ke Indonesia kerap mengutip Pancasila sebagai gagasan besar yang telah terbukti membangun solidaritas dan soliditas kebangsaan. Paus Fransikus berpandangan bahwa Pancasila sejatinya dapat menginspirasi dunia, khususnya dalam mewujudkan sebuah gagasan perlunya visi multilaterisme baru, dimana nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila merupakan solusi atas persoalan global saat ini, dimana Pancasila dapat dijadikan sebagai moral bersama, bahkan ideologi global yang dapat memperkokoh perdamaian dan persaudaraan kemanusiaan (Zuhairi Misrawi, Kompas 28 April, 2025).
Perjumpaan Pancasila dan Agama-agama di Indonesia melahirkan sebuah spiritualitas yang menarik untuk didalami. Mengamalkan Pancasila ternyata bukan hanya sekedar ideology bangsa, sebagai kohesi sosial bagi masyarakat / bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, tetapi nilai-nilai Pancasila merupakan spirit yang memerdekakan dan sangat aktual, relevan dihayati dalam perjumpaan roh kebangsaan dan keagamaan, menghayati keberagamaan dalam konteks keindonesiaan. Common platform Pancasila yang memiliki asas pluralitas dan unitas (kesatuan) sebagai bangsa yang mendasari berdirinya Negara ini memiliki nilai-nilai spiritual yang kaya untuk digali dalam membangun spirit kebangsaan.
Pancasila itu tumbuh dan berakar-tertanam dalam gelora jiwa bangsa Indonesia (Soekarno). Ia adalah spiritualitas hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Nilai-nilainya menjadi daya yang menghidupkan dan mendorong manusia di Indonesia untuk bertumbuh dan berkembang sebagai bangsa yang cinta akan Tuhan, persaudaraan, kedamaian, kesetaraan, dan keadilan. Pancasila adalah prinsip dasar atau azas kehidupan, inti kehidupan bangsa Indonesia. Artinya, kehidupan bangsa Indonesia selalu berada di dalam kerangka nilai-nilai spiritual Pancasila (William Chang. 1997).
Bicara tentang spiritualitas dalam nafas Pancasila memang tidak bisa dipisahkan. Keduanya melekat dalam setiap aspek prinsip Pancasila dan spiritualitas itu bukan hanya menyangkut aspek teologis, religius tapi terkait ke semua aspek kehidupan, mengandung nilai-nilai spiritualitas yang memerdekakan kita dari sikap, pikiran, dan perkataan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, dan peduli pada kehidupan bersama.
Dan dalam konteks pembangunan dalam bidang agama, Kementerian Agama harus mampu menguatkan peran dalam kampanye penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan alam, dan budaya sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo-Gibran. Spirit keagamaan sangat dibutuhkan dalam kampanye pencegahan kerusakan iklim sebagai platform bersama para tokoh lintas agama untuk menyuarakan pentingnya pelestarian alam dari perspektif agama-gama (Nasaruddin Umar, Menteri Agama R.I.). Deklarasi Istiqal yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus bersama Imam Besar Istiqal 5 September 2024 menegaskan akan pentingnya persatuan, toleransi, kemanusiaan, dan penanggulangan perubahan lingkungan yang tidak lepas dari nilai-nilai religious Pancasila.
*Spiritualitas Yang Memerdekakan*
Pancasila sebagai spiritualitas yang memerdekakan secara ontologis-substansial ada dalam kelima silanya yang sejalan dengan nilai-nilai universal semua agama. Pancasila diyakini mampu mempersatukan setiap suku, ras, agama, bahasa dan budaya dalam satu ikatan kebersamaan saudara sebangsa dan setanah air. Bangsa Indonesia akan kehilangan rohnya jika hidup tanpa penghayatan nilai-nilai Pancasila. “Sebagai Lebenschauch, Geitsbraus ternyata roh kebangsaan sangat mempengaruhi dan menentukan seluruh ritme hidup anak bangsa dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik”, (Dr. William Chang, 2009). Roh itu tidak lain adalah Pancasila. Inkarnasi roh itu nampak dari buah-buah berbangsa, seperti kerukunan, tenggang rasa, damai dan kehidupan beragama yang otentik, kesetaraan harkat dan martabat setiap manusia Indonesia, dan kesetiakawanan sosial.
Pancasila sebagai spiritualitas bangsa tentu dapat menjadi roh, spirit yang mampu memerdekakan dalam berbagai aspek kehidupan utamanya dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya (Trisakti). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya dapat mengembangkan nilai-nilai etik, moral, spiritual dan terwujud dalam sikap saling menghormati antar agama dan kepercayaan yang berbeda. Nilai-nilai spiritualitas yang terkandung dalam sila Katuhanan Yang Maha Esa bukan sekedar ritualisme sipirtual tetapi mengakar dalam hati dan pikiran (roh dan Jiwa), tercermin dalam kebudayaan dimana peziarahan spiritual bersifat kontekstual, bukan sebaliknya mendikotomikan agama dan Pancasila sebagai dasar Negara sehingga melahirkan spirit radikalisme yang menginfiltirasi Pancasila. Spiritualitas yang memerdekakan memungkinkan tumbuhnya suatu komitmen untuk hidup seturut nilai-nilai moral Pancasila dapat mewujudkan kepenuhan martabat manusiawinya yang luhur dan mulia.
Pemaknaan Pancasila sebagai Sipiritualitas yang memerdekakan; berdaya emansipatif, transformatif, dan deliberatif dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Selaras dengan makna mendasarnya, Pancasila sebagai spiritualitas mestinya memang bersifat mengutuhkan, menghidupkan, dan membebaskan. Artinya, Pancasila menjadi spiritualitas kehidupan bangsa Indonesia berarti mengisyaratkan bangsa Indonesia selalu berkomitmen untuk mengikuti, menghayati, menghidupkan, menggerakkan kesadaran anak-anak Indonesia untuk mewujudkan nilai-nilai mendasar Pancasila dalam praksis kehidupan; hormat pada martabat manusia, hidup dalam persaudaraan, menjunjung tinggi kesatuan dalam kebersamaan, bermusyawarah untuk menentukan kepentingan bersama, peduli dan solider terhadap sesama.
Pancasila sebagsi Spiritualitas yang memerdekakan membebaskan setiap warga negara dari rasa takut dan kekuatiran untuk menyatakan pendapat, memerdekakan setiap insan, bebas dari berbagai gerakan intoleran, roh yang menghidupkan semangat iman dan ketakwaan, roh yang menyatukan dan merekatkan dimensi kemanusiaan dengan berbagai latar belakang suku, agama, budaya dan kepercayaan. Pancasila sebagai spiritualitas melahirkan roh yang menghidupkan demokrasi dan gotong royong; roh yang menggerakkan sikap inklusif dan pembauran; roh yang menuntun untuk bersatu, bersikap adil dan hormat terhadap setiap manusia. Pancasila merupakan rangkuman dari spirit universal cinta kasih yang menuntun persatuan manusia dengan Tuhan pencipta alam semesta, dan sesama manusia, bukan hanya di Indonesia melainkan di seluruh dunia (GPP, Dr. Rm. Max, 2020). Selamat Memperingati Hari Kesaktian Pancasila, 1 Juni 2025.
Dr. Salman Habeahan / Direktur Pendidikan Katolik