Visi “Indonesia Maju” yang diusung Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menempatkan pembangunan manusia dan penguatan ekonomi sebagai prioritas utama. Dalam konteks keagamaan, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 244 Tahun 2025, menerjemahkan visi besar ini ke dalam delapan program prioritas yang dikenal sebagai “Asta Protas”. Delapan program ini menjadi landasan strategis Kemenag untuk memastikan agama tidak hanya menjadi identitas, melainkan kekuatan transformatif bagi bangsa.
Dari delapan Asta Protas tersebut, Inspektorat III Inspektorat Jenderal Kemenag ditugaskan secara spesifik untuk mengawal dua pilar penting: Layanan Keagamaan Berdampak dan Pemberdayaan Ekonomi Umat. Kedua pilar ini memiliki signifikansi langsung terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup umat, dirancang untuk memastikan bahwa fungsi agama tidak hanya sebatas ritual, melainkan mampu menjadi motor penggerak kebaikan sosial dan ekonomi.
Layanan Keagamaan Berdampak bertujuan untuk menghadirkan pelayanan keagamaan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan administratif, tetapi juga benar-benar meningkatkan kualitas spiritual, moral, dan kerukunan umat. Sementara itu, Pemberdayaan Ekonomi Umat berfokus pada penguatan kemandirian ekonomi masyarakat berbasis nilai-nilai keagamaan, melalui optimalisasi dana umat seperti zakat dan wakaf, serta pengembangan usaha mikro.
Di sinilah peran vital Inspektorat III. Sebagai garda terdepan pengawasan internal, Inspektorat III bertugas memastikan kedua pilar strategis ini diimplementasikan dengan integritas, akuntabilitas, dan efektivitas. Hasil pengawasan mereka di Triwulan II 2025 memberikan potret nyata mengenai tantangan dan peluang dalam mewujudkan harapan tersebut, sekaligus menjadi cermin bagi integritas dan efektivitas program Kementerian Agama.
Realita Layanan Keagamaan
Pilar Layanan Keagamaan Berdampak merupakan fondasi bagi terciptanya masyarakat yang religius, rukun, dan berakhlak mulia. Apa yang ingin dicapai? Kemenag memiliki komitmen untuk memastikan bahwa setiap layanan keagamaan, mulai dari bimbingan perkawinan, pelayanan haji dan umrah, penyuluhan agama, hingga sertifikasi halal, tidak hanya memenuhi prosedur formal, tetapi juga benar-benar memberikan nilai tambah bagi individu dan masyarakat. Ini berarti layanan harus efektif dalam meningkatkan pemahaman keagamaan yang moderat, mendorong toleransi, memperkuat moralitas, dan memfasilitasi pelaksanaan ibadah dengan kualitas terbaik.
Urgensi pilar ini terletak pada kebutuhan untuk menjaga kerukunan umat di tengah keberagaman, menangkal ekstremisme, dan membangun karakter bangsa melalui nilai-nilai agama. Keberhasilan program dapat diukur dari beberapa indikator kunci, antara lain: meningkatnya kualitas kehidupan umat beragama secara holistik, tercapainya peningkatan indeks kesalehan sosial, serta meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap layanan keagamaan yang diberikan. Untuk mencapai sasaran-sasaran mulia ini, diperlukan upaya konkret berupa penyediaan layanan yang mudah diakses dan informatif, adaptasi terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan umat, serta pengembangan sumber daya manusia (SDM) pelaksana yang memiliki kompetensi tinggi dan integritas tanpa cela.
Hasil pengawasan Inspektorat III Triwulan II 2025 mengungkap beberapa catatan penting yang perlu menjadi perhatian serius. Salah satu sorotan utama adalah kinerja para penyuluh agama pada wilayah menjadi domain pengawasan Inspektorat III. Temuan menunjukkan bahwa jangkauan penyuluhan masih belum merata dan belum sepenuhnya berbasis pada kebutuhan riil masyarakat. Selain itu, terdapat kelemahan dalam koordinasi, pembinaan, dan distribusi kerja penyuluh, yang menghambat efektivitas program. Pelaporan hasil kinerja penyuluh juga belum memenuhi standar yang diharapkan, dan pemanfaatan teknologi dalam mendukung tugas-tugas penyuluhan masih belum maksimal. Kelemahan ini mengindikasikan bahwa potensi strategis penyuluh sebagai ujung tombak layanan keagamaan belum teroptimalisasi secara penuh, sehingga pesan-pesan moderasi dan kerukunan belum tersampaikan secara optimal.
Di samping itu, kondisi rumah ibadah umat Katolik dan Hindu juga menjadi perhatian serius. Hasil pengawasan menunjukkan masih ada gereja atau kapel yang sama sekali belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah, sehingga perlu pemerataan perhatian dan dukungan. Untuk Pura, catatan Inspektorat III menyoroti bahwa standar pelayanan formal belum tersedia, serta penyuluhan tentang pelestarian lingkungan masih terbatas. Ini menggarisbawahi perlunya penguatan dukungan infrastruktur dan program yang lebih inklusif, merata, dan terstandar bagi seluruh rumah ibadah di Indonesia, demi menciptakan ruang ibadah yang layak dan berdaya guna.
Aspek lainnya terkait pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari layanan nikah dan rujuk. Hasil audit Inspektorat III masih menemukan ada beberapa kelemahan, antara lain terkait tata kelola organisasi dan pengendalian internal. Diperlukan penguatan akan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi dan standar prosedur operasional.
Lebih jauh, perencanaan penerimaan dan penggunaan PNBP atas layanan nikah atau rujuk juga perlu disusun secara realistis dan terstruktur. Sehingga, selisih antara potensi penerimaan dan realisasi penyetoran bisa diminimalisir. Selain itu, pertanggungjawaban dan pelaporan juga perlu dioptimalkan agar lebih mudah dalam proses evaluasi dan pengawasan. Penguatan atas beberapa hal ini diharapkan dapat menutup celah dalam sistem penerimaan dan pengelolaan dana yang terkait langsung dengan pelayanan keagamaan. Dengan begitu, kepercayaan umat terjaga dan program pemberdayaan ekonomi berjalan dengan baik.
Akuntabilitas Pemberdayaan Ekonomi Umat
Pilar kedua yang dikawal Inspektorat III adalah Pemberdayaan Ekonomi Umat. Pilar ini merupakan respons konkret Kementerian Agama terhadap arah strategis Presiden untuk penguatan ekonomi kerakyatan, khususnya di sektor keagamaan. Program ini berkontribusi signifikan dalam penguatan kemandirian ekonomi masyarakat melalui optimalisasi pengelolaan dana umat, seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, serta dana sosial keagamaan lainnya. Pilar ini diharapkan menjadi tulang punggung peningkatan kesejahteraan, upaya mengurangi kemiskinan, dan penciptaan ekosistem ekonomi syariah yang kuat serta berkeadilan.
Urgensinya terletak pada potensi besar ekonomi umat yang hingga kini belum tergarap maksimal. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sendiri, dalam Indonesia Zakat Outlook 2025 yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Strategis Baznas, memproyeksikan pengumpulan dana Zakat, Infak, Sedekah (ZIS) dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (DSKL) selama satu tahun dari Baznas pusat hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat mencapai Rp50 triliun. Angka ini bahkan belum termasuk potensi dana wakaf uang yang fantastis. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, MA, Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia, dalam presentasinya pada 8 Juli 2025, potensi dana wakaf uang per tahun mencapai Rp180,06 triliun. Angka-angka ini menggambarkan betapa masifnya sumber daya yang bisa dimanfaatkan. Oleh karena itu, kebutuhan untuk memastikan dana umat dikelola secara amanah dan profesional demi kemaslahatan bersama menjadi mutlak.
Indikator keberhasilan program ini multifaset, mencakup peningkatan tingkat kepedulian masyarakat terhadap kelompok rentan, perluasan akses umat terhadap sumber daya ekonomi, peningkatan kapasitas lembaga filantropi keagamaan, serta secara keseluruhan, peningkatan tingkat kesejahteraan umat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, diperlukan pengelolaan dana yang transparan dan akuntabel, penyediaan program pelatihan dan pendampingan usaha yang efektif, serta sinergi yang kuat dengan berbagai pihak terkait.
Di balik potensi besar dan urgensi pengembangan ekonomi umat, hasil pengawasan Inspektorat III pada Triwulan II 2025 juga menemukan sejumlah faktor penghambat optimalisasi potensi wakaf. Misalnya, sertifikat nazir belum terdokumentasi dengan rapi, identifikasi aset wakaf belum sistematis, informasi mengenai peruntukan tanah wakaf masih minim, dan masih ada harta benda wakaf lama yang belum memiliki dokumen pendukung. Ini bisa berdampak pada kerentanan hukum dan berpotensi menghilangkan aset-aset penting umat.
Selain itu, pemahaman operator terhadap aplikasi E-AIW juga belum utuh, sehingga bisa menghambat pelaporan pada program pensertifikatan tanah wakaf. Kapasitas pengelola wakaf juga masih menjadi tantangan, khususnya dalam menguasai dan memanfaatkan sistem digital pengelolaan wakaf. Masalah lainnya adalah komunikasi dan koordinasi antar instansi terkait wakaf yang belum maksimal, sehingga menghambat sinergi yang esensial untuk menggali dan memanfaatkan potensi wakaf secara optimal.
Implikasi Hasil Pengawasan dan Peran Strategis Inspektorat
Secara keseluruhan, hasil pengawasan Inspektorat III pada Triwulan II 2025 menunjukkan bahwa meskipun ada komitmen kuat terhadap Asta Protas, namun masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi.
Inilah mengapa peran Inspektorat III menjadi sangat strategis. Kami dituntut untuk tidak hanya berperan sebagai ‘polisi’ birokrasi atau sekadar melakukan pemeriksaan rutin. Tujuan utama kami jelas: memastikan implementasi program berjalan sesuai rencana, menilai efisiensi dan efektivitasnya, serta menjamin program terlaksana dengan tingkat akuntabilitas tertinggi.
Inspektorat Jenderal (Itjen) sangat memahami bahwa efektivitas audit internal bukan sekadar tentang menemukan kesalahan. Lebih dari itu, audit internal harus memberikan nilai tambah dan kontribusi nyata terhadap efektivitas dan efisiensi tata kelola, manajemen risiko, serta pengendalian.
Sejalan dengan ambisi meningkatkan kapabilitas Inspektorat Jenderal dari level 3 ke level 4 (Managed), Itjen harus mampu memberikan jaminan menyeluruh atas tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian intern di lingkungan Kementerian Agama. Namun, seperti mata rantai yang saling terkait, peningkatan kapabilitas ini tidak akan tercapai tanpa peran aktif satuan kerja dalam memperbaiki tata kelola, meningkatkan efektivitas manajemen risiko, serta melakukan pengendalian intern guna menciptakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Penutup
Keberhasilan dua pilar Asta Protas, Layanan Keagamaan Berdampak dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, adalah kunci bagi terwujudnya visi Indonesia Maju yang inklusif dan berintegritas. Hasil pengawasan Inspektorat III pada Triwulan II 2025 bukan hanya sekadar laporan audit, melainkan panggilan untuk bertindak dan berbenah. Penting bagi kita semua untuk melihat hasil pengawasan ini sebagai peluang emas untuk belajar, melakukan koreksi, dan memperkuat sistem. Dengan menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan, meningkatkan akuntabilitas, dan memastikan transparansi dalam setiap aspek layanan dan pengelolaan dana, kita dapat menjaga amanah umat dan memastikan bahwa setiap program benar-benar memberikan manfaat nyata. Dukungan penuh terhadap fungsi pengawasan Inspektorat III adalah investasi penting bagi masa depan layanan keagamaan dan ekonomi umat yang lebih baik di Indonesia.
***
Ade Sugianto (Auditor Madya Inspektorat Jenderal Kemenag RI)