Judul Buku: The Anxious Generation: How the Great Rewiring of Childhood Is Causing an Epidemic of Mental Illness
Penulis: Jonathan Haidt
Penerbit: Penguin Press (2024)
ISBN: 9780593655030
Jumlah Halaman: 402 halaman
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mulai menggodok rancangan aturan tentang penggunaan gadget atau gawai bagi anak usia pendidikan. Diharapkan, dalam waktu yang tidak lama lagi aturan tentang pembatasan penggunaan gawai pada anak dapat diterbitkan. Langkah ini dianggap penting dan strategis dilatarbelakangi oleh persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang kini semakin merajalela di tanah air. Pemerintah memandang bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain pola asuh anak yang saat ini yang mengalami pergeseran hingga penggunaan gadget yang tidak terkontrol.
Regulasi ini melengkapi keberadaan aturan serupa yang lahir lebih dahulu.
Sebelumnya, pemerintah juga menerbitkan aturan mengenai pembatasan penggunaan media sosial untuk anak di bawah umur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggara Sistem Elektronik Dalam Perlindungan Anak atau populer dikenal dengan PP Tunas. Pemerintah bisa jadi cemas, sementara masyarakat pun gundah atas penggunaan gadget pada anak. Rasa gundah dan cemas ini kurang lebih sama dengan apa yang menjadi inti dari buku The Anxious Generation: How The Great Rewiring of Chilhood is Causing an Epidemic of Mental Illness (2024) karya Jonathan Haidt.
Jonathan Haidt, seorang psikolog ternama sekaligus Guru Besar di New York University’s Stern School of Business, membedah fenomena meningkatnya gangguan kesehatan mental di kalangan remaja dan anak-anak. Ia menjadikan anak-anak yang lahir setelah tahun 1995, dikenal sebagai Generasi Z, sebagai fokus penelitian. Kegundahan Haidt di antaranya tercermin pada Generasi Z sebagai “Generasi Cemas.” Di rentang usia ini pula, generasi muda di Indonesia digadang-gadang akan menjadi generasi yang kelak mengelola bonus demografi dan berada di era Indonesia Emas 2045. Mereka akan menjadi tulang punggung bangsa namun, sesuai semangat buku ini, dengan kecemasan dan kegundahan yang membayangi.
Dalam buku ini, Haidt melihat bahwa lonjakan kasus kecemasan yang berlebihan, bahkan sampai bunuh diri, di kalangan remaja yang banyak ditemukan sejak awal 2010-an disebabkan oleh dua faktor utama, yakni penurunan masa kanak-kanak berbasis permainan (play-based childhood) dan pola pengasuhan anak berbasis ponsel (phone-based childhood). Tajam, buku ini menyoroti bagaimana penyebaran ponsel pintar, media sosial, dan pola asuh yang terlalu protektif telah “mengubah” cara anak-anak tumbuh dan berdampak buruk pada perkembangan sosial dan psikologis mereka.
Tunggu dulu, terlalu protektif ini dalam konteks yang cenderung negatif, bukan menyalahkan langkah proteksi pada anak yang pada dasarnya tetap mereka butuhkan. Dewasa ini, anak-anak dipandang kehilangan momen untuk bermain bebas (free play) disebabkan pola pengasuhan yang kaku dan terlalu menerapkan proteksi berlebihan untuk kreativitas mereka. Padahal, bermain bebas, menurut Haidt, sangat dibutuhkan dalam kaitan menumbuhkan keterampilan sosial, sikap mandiri, dan yang tidak kalah penting adalah ketahanan diri (resiliensi) pada anak (hal. 90).
Dalam kaitan tersebut, Haidt melihat korelasi antara munculnya ponsel pintar yang muncul pada sekitar tahun 2007–2010 dan membuncahnya media sosial di satu sisi, dengan penurunan kesehatan mental, terutama banyak menimpa remaja perempuan di sis lain (hal. 40–50). Untuk sampai pada kesimpulan itu, Haidt menggunakan data dari British Millennium Cohort Study. Dari data ini, ia menemukan bahwa remaja perempuan yang aktif di media sosial lebih dari lima jam sehari memiliki risiko depresi tiga kali lipat daripada mereka yang tidak melakukannya (hal. 46).
Haidt mampu menyampaikan alarm dengan tepat pada kita semua, terutama dalam konteks kepengasuhan anak, bahwa kita tidak berhasil memberi perlindungan pada anak-anak dari pengaruh dunia digital beserta efek dan dampak negatif yang dibawanya. Buku ini menawarkan respons proporsional atas pemanfataan dunia digital dengan menawarkan pola kebiasaan yang berimbang antara dunia nyata dan digital.
Buku ini memiliki impresi positif di kalangan pengambil kebijakan karena memiliki kedekatan tersendiri dengan dunia anak-anak. Di Amerika Serikat, Gubernur Arkansas Sarah Huckabee Sanders mengirimkan buku ini ke gubernur di setiap negara bagian di AS. Sanders melakukan itu dalam upaya mendorong pembatasan penggunaan ponsel dan media sosial. Langkah Sanders patut dipuji karena pada dasarnya buku ini memilki relevansi yang signifikan dengan kondisi sosial budaya di Indonesia. Tingkat penetrasi ponsel pintar dan media sosial di kalangan remaja sangat tinggi, walaupun tantangan lain semisal pemanfataan akses teknologi yang tidak merata dan perbedaan pola asuh yang dipengaruhi faktir sosial-budaya tetap harus diperhatikan.
The Anxious Generation adalah buku yang penting untuk dibaca dan dikaji berbagai kalangan. Buku ini memberi inspirasi bagi sesiapa yang memiliki kepedulian terhadap Kesehatan mental generasi mendatang. Haidt mungkin dilihat cukup kaku dalam merespons dan memperlakukan perkembangan teknologi. Ia bahkan menyebut teknologi sebagai “penghalang pengalaman” (experience blockers). Hal ini mengundang kritik bahwa Haidt terlalu simplistis dalam melihat penyebab gangguan mental dengan tidak menimbang faktor lain, semisal problem ekonomi, perubahan iklim dan atau krisis politik. Meski demikian, buku ini kaya data, disokong narasi yang kuat, dan tawaran solusi praktis yang menarik.
Saiful Maarif, pembaca buku, bekerja di Ditjen Pendidikan Islam