Pidato Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI), Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., dalam International Islamic Economics and Finance Conference for Sustainable Development (IFESDC) 2025 yang diselenggarakan di markas The World Bank, Washington DC, Amerika Serikat, Kamis (22/05/2025), menyuguhkan gagasan menarik tentang kerukunan umat beragama dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam pidato tersebut, Menag menyoroti pentingnya mengurangi ketimpangan dan menjunjung tinggi perdamaian sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Kedua hal ini, menurutnya, merupakan dua dari empat fokus utama Kementerian Agama RI yang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dua fokus lainnya adalah pendidikan berkualitas dan kesetaraan gender (IndoNews.id, 23/05/2025).
Untuk mengurangi ketimpangan, Menag menekankan pentingnya mempromosikan inklusi sosial. Sementara untuk menjaga perdamaian, diperlukan kolaborasi lintas agama guna mengatasi akar penyebab ekstremisme.
Apa yang disampaikan Menag terkait inklusi sosial menjadi relevan, mengingat tantangan besar yang dihadapi pembangunan dewasa ini, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Inklusi sosial tidak hanya dibutuhkan dalam konteks keberagamaan, tetapi juga dalam mengatasi ketimpangan ekonomi. Berbagai studi menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi merupakan salah satu akar munculnya kekerasan ideologis seperti ekstremisme, radikalisme, hingga premanisme.
Ihwal Inklusi Sosial
Menurut World Bank (2025), inklusi sosial adalah proses peningkatan prasyarat agar individu dan kelompok dapat berpartisipasi dalam masyarakat, melalui peningkatan kemampuan, kesempatan, dan martabat, khususnya bagi kelompok yang terpinggirkan karena identitasnya (worldbank.org, diakses 24/05/2025).
Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, prinsip inklusi sosial tercermin melalui asas partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan. Asas-asas ini menegaskan keterlibatan penuh dan distribusi hasil pembangunan yang adil, terutama bagi kelompok rentan dan marginal.
Dari definisi tersebut, inklusi sosial inheren dengan keikutsertaan, kemartabatan, dan kesejahteraan. Maka dari itu, inklusi sosial dapat dimaknai dalam tiga peran utama: sebagai paradigma, sebagai konsep, dan sebagai pendekatan.
Pertama, sebagai paradigma, inklusi sosial menempatkan kesetaraan akses sebagai titik tolak pembangunan, dengan individu dan kelompok sebagai subjek, bukan objek.
Kedua, sebagai konsep, inklusi sosial mendorong terwujudnya masyarakat terbuka, di mana setiap orang memiliki akses yang setara terhadap sumber daya, kesempatan, dan layanan, sehingga dapat berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Ketiga, sebagai pendekatan, inklusi sosial menjadi kerangka teoritik untuk memahami dinamika ketimpangan, sekaligus menyediakan cara-cara sistematis dalam mengatasinya. Pendekatan ini juga mengajak masyarakat bertindak inklusif terhadap kelompok yang termarjinalkan.
Perlu Arus Utama
World Bank menyebutkan bahwa inklusi sosial merupakan prinsip utama dalam upaya mengurangi kemiskinan ekstrem di bawah 3% pada tahun 2030 dan mempromosikan kemakmuran bersama (worldbank.org, diakses 24/05/2025).
Artinya, Indonesia dan negara-negara lain hanya memiliki waktu lima tahun untuk membuktikan bahwa inklusi sosial mampu mengatasi kemiskinan melalui pengurangan ketimpangan. Waktu yang sangat terbatas untuk tujuan sebesar pembangunan berkelanjutan, apalagi pembangunan yang berkeadilan. Maka inklusi sosial perlu dijalankan secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan.
Diperlukan arus besar yang mengalirkan inklusi sosial ke tengah masyarakat, yaitu arus besar yang pada akhirnya menjadi arus utama. Bukan sekadar arus pinggiran yang mudah diabaikan.
Dalam konteks ini, mengarusutamakan inklusi sosial (mainstreaming social inclusion) menjadi kunci. Ia adalah strategi untuk memastikan kesetaraan akses bagi semua individu dan kelompok, melalui kebijakan yang berperspektif inklusif terhadap budaya, masyarakat, dan lembaga.
Strategi semacam ini telah diterapkan pada program-program strategis nasional lainnya, seperti kesetaraan gender dan moderasi beragama. Program kesetaraan gender digulirkan saat negara menghadapi isu diskriminasi. Sedangkan moderasi beragama diperkuat ketika radikalisasi mengemuka.
Membangun Sistem Pendukung
Pengarusutamaan inklusi sosial bisa diwujudkan melalui berbagai jalur, antara lain:
Pendidikan, baik di jalur formal, nonformal, maupun informal. Termasuk pendidikan dan pelatihan bagi calon aparatur sipil negara maupun calon pemimpin bangsa.
Media massa dan media sosial, melalui penyebarluasan konten-konten edukatif yang mengangkat nilai-nilai inklusi sosial secara ringan dan komunikatif.
Namun, strategi ini tidak akan kokoh tanpa landasan regulasi yang jelas. Hingga kini, belum ada regulasi yang secara eksplisit mengatur inklusi sosial, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Menteri.
Hal ini berbeda dengan kesetaraan gender yang telah memiliki dasar hukum berupa Permen PPPA Nomor 6 Tahun 2023 tentang Parameter Kesetaraan Gender, maupun moderasi beragama yang telah diatur dalam Perpres No. 58 Tahun 2023 serta PMA No. 3 Tahun 2024.
Apa yang disampaikan Menag RI ibarat seruan dari langit, mengingatkan sekaligus mengajak manusia untuk segera menunaikan misi inklusi sosial.
Dengan mengarusutamakannya, kita tidak hanya mengurangi ketimpangan, tetapi sekaligus mencegah lahirnya radikalisasi, diskriminasi, dan bahkan premanisasi, yang semuanya kerap bersumber dari ketimpangan struktural dan absennya inklusi sosial.
Oleh karena itu, inklusi sosial semestinya tidak hanya dijadikan paradigma, konsep, atau pendekatan semata, tetapi ditetapkan pula sebagai salah satu fokus utama pembangunan nasional. Sebuah fokus yang idealnya tidak hanya melengkapi, namun juga bisa menggantikan narasi “mengurangi ketimpangan” dengan jangkar yang lebih partisipatif dan bermartabat.
Wallahu a’lam bishawab.
Asep Sahid Gatara – Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Wakil Ketua Umum Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (APSIPOL) Indonesia