Baru saja kita merayakan HUT RI ke-80. Masih dalam suasana perayaan kemerdekaan ini, kita menyaksikan sebuah peristiwa yang meninggalkan luka dalam di hati bangsa. Seorang anak bangsa, Affan Kurniawan—seorang pengemudi ojek online—meninggal dunia setelah terlindas kendaraan taktis aparat saat sedang terjadi demonstrasi kenaikan tunjangan DPR.
Ia hanyalah rakyat kecil yang sedang berjuang mencari nafkah harian, namun kematiannya menjadi simbol betapa rapuhnya kehidupan manusia bila keadilan dan kebijaksanaan tak sungguh ditegakkan. Idealismenya untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan adil.
Peristiwa itu memantik gelombang kemarahan. Demonstrasi menjalar ke berbagai kota. Gedung-gedung parlemen daerah dibakar, fasilitas umum dirusak, dan bentrokan pecah di banyak tempat.
Di balik semua itu, rakyat sedang menyuarakan kekecewaan atas keputusan politik yang dianggap tidak adil: kenaikan tunjangan dewan ketika rakyat harus memeras keringat untuk sekadar bertahan hidup.
Namun di tengah semua gejolak, ada satu panggilan yang justru semakin nyaring terdengar: bagaimana kita menjaga persatuan bangsa di atas luka dan perbedaan?
Belajar dari Jejak Sejarah
Peristiwa sejarah Indonesia merupakan pelajaran berharga. Bangsa Indonesia sejak awal berdiri sudah diuji dengan perbedaan. Keragaman bahasa, suku, budaya, dan agama pernah menjadi alasan penjajah meremehkan kita. Tetapi sejarah membuktikan: justru di tengah keragaman itulah lahir kekuatan persatuan.
Kebangkitan Nasional 1908 menyalakan kesadaran bahwa perjuangan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Dua puluh tahun kemudian, Sumpah Pemuda 1928 melahirkan ikrar bersama: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Para pemuda waktu itu tahu, persatuan adalah syarat mutlak bagi lahirnya Indonesia merdeka.
Teladan para tokoh bangsa menjadi buktinya. Sejumlah tokoh bangsa menegaskan hal itu. Mohammad Yamin pernah berkata bahwa cita-cita persatuan bukanlah ilusi, melainkan berakar pada sejarah bangsa sendiri. Bung Tomo mengingatkan agar kita memperbanyak kawan, bukan lawan. Bung Karno pun selalu menggaungkan: “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.”
Kata-kata mereka bukan sekadar retorika masa lalu. Justru sekarang, di tengah krisis sosial-ekonomi dan kegelisahan politik, pesan itu kembali hidup: tanpa persatuan, Indonesia akan goyah.
Melihat pengalaman pahit pada masa lalu, kita tidak ingin peristiwa kerusuhan 1998 terjadi lagi. Kita tidak ingin krisis ekonomi dan moneter terulang kembali. Kita hanya menginginkan kehidupan yang tenang, adil, rukun dan damai. Kita ingin mencari nafkah dengan aman dan tidak terganggu.
Persatuan sebagai Rahmat
Untuk itu, persatuan tidak hanya menjadi agenda politik, melainkan juga anugerah rohani. Semua agama di nusantara mengajarkan hal serupa: bahwa manusia diciptakan berbeda agar saling mengenal, saling menolong, dan saling melengkapi.
Masyarakat Muslim memandang persaudaraan sebagai perintah Tuhan untuk hidup rukun di tengah keberagaman. Tradisi Kristiani mengajarkan bahwa perbedaan anggota justru memperkaya tubuh yang satu. Dalam ajaran Hindu, dikenal nilai Tat Twam Asi—engkau adalah aku, aku adalah engkau. Dalam Buddhisme, cinta kasih universal (Metta) melintasi batas kelompok. Dalam Khonghucu, hidup rukun dipandang sebagai dasar keharmonisan masyarakat.
Semua ajaran itu, bila dirangkum, meneguhkan keyakinan kita bahwa persatuan adalah rahmat yang harus dijaga bersama.
Dari Luka ke Harapan
Kematian Affan Kurniawan adalah luka. Ia mengingatkan kita bahwa rakyat kecil sering kali menjadi korban dari sistem yang timpang. Namun luka itu jangan sampai berubah menjadi bara perpecahan. Justru, luka ini harus menjadi panggilan moral: agar negara sungguh melindungi rakyatnya, agar aparat sungguh mengayomi, agar pemimpin sungguh melayani dengan bijaksana.
Persatuan bukan berarti menutup mata terhadap ketidakadilan. Sebaliknya, persatuan hanya bisa tumbuh bila keadilan ditegakkan. Itulah sebabnya, tragedi ini harus dibaca sebagai peringatan keras: bahwa suara rakyat kecil tidak boleh diabaikan, bahwa martabat manusia harus dihormati, dan bahwa keadilan adalah fondasi persatuan.
Di tengah luka ini, marilah kita menyalakan secercah harapan. Kita mungkin berbeda agama, berbeda latar belakang, berbeda pandangan politik, tetapi kita bisa satu hati untuk mendoakan Indonesia.
Masyarakat Muslim mungkin memohon agar bangsa ini selalu berada di jalan yang lurus. Saudara Kristiani bisa berharap agar para pemimpin memiliki hati seperti gembala yang melayani kawanan. Umat Hindu dapat menginginkan agar Indonesia selalu berada dalam dharma, jalan kebenaran. Penganut Buddha bisa mengharapkan agar cinta kasih universal meredakan kebencian. Umat Khonghucu dapat berdoa agar bangsa ini kembali pada kebajikan dan harmoni.
Semua doa itu, meski lahir dari tradisi yang berbeda, berpadu menjadi satu arus spiritual: agar Indonesia tetap bersatu, damai, dan adil.
Namun doa saja tidak cukup. Kita pun dipanggil untuk menjadi jawaban dari doa-doa itu. Para pemimpin bangsa dituntut menanggalkan ego politik, mendengarkan jeritan rakyat, dan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Aparat keamanan dipanggil untuk benar-benar melindungi rakyat, bukan menakut-nakuti. Dan kita semua, sebagai warga, dipanggil untuk menjaga kerukunan, menolak kekerasan, serta memperbanyak solidaritas di tengah kesulitan hidup.
Jika setiap elemen bangsa mengambil peran, maka doa-doa kita tidak berhenti di langit, tetapi mewujud di bumi.
Mari kita Kembali belajar dari sejarah agar berdamppak nyata. Sejarah pernah membuktikan bahwa persatuan adalah kunci lahirnya Indonesia merdeka.
Kini, sejarah memanggil kita lagi: apakah kita mau membiarkan luka menjadi alasan perpecahan, atau menjadikannya cambuk moral untuk hidup lebih bersaudara?
Sebagai bangsa, kita hanya bisa bertahan bila kita saling mendoakan dan saling menopang. Mendoakan Indonesia agar tetap bersatu berarti memohonkan rahmat sekaligus meneguhkan tekad: bahwa kita ingin negeri ini damai, para pemimpinnya bijaksana, aparatnya adil, dan rakyatnya sejahtera.
Tragedi Affan Kurniawan hendaknya menjadi pengingat: persatuan bukanlah sesuatu yang otomatis, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan setiap hari.
Maka marilah kita, dengan iman masing-masing, dengan bahasa doa masing-masing, menyatukan hati untuk satu tujuan: Indonesia yang bersatu, adil, dan penuh kasih.
Pormadi Simbolon adalah ASN dan Pembimbing Masyarakat Katolik pada Kanwil Kemenag Provinsi Banten