Judul: Alkimia Cinta
Penulis: Haidar Bagir
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2021
Tebal: 144 halaman
ISBN: 978-602-291-848-6
Buku Alkemia Cinta bukanlah buku baru. Buku ini ditulis sekitar empat tahun lalu. Namun demikian, sebagai ide, Islam Cinta hadir sebagai bagian penting yang mewarnai Kementerian Agama kini. Islam Cinta sendiri adalah bagian utama dan terpenting yang menjadi bahasan pokok buku ini. Dalam kaitan tersebut, relevansi Alkimia Cinta dan Islam cinta sebagai napas baru Kementerian Agama menemukan titik temunya. Dalam beberapa hal, rasanya kita bisa belajar dan menemukan makna Islam Cinta lewat buku ini.
Kementerian Agama tengah giat-giatnya membangun dan menebar perspektif Islam Cinta. Gagasan yang digulirkan Menteri Agama ini tentu saja memiliki tantangan mendasar berupa pemahaman terhadap konsep Islam Cinta itu sendiri. Tidak semua muslim mampu memahami dengan baik konsep Islam Cinta, sebagaimana tidak semua elemen Kementerian Agama mampu melakukannya karena merupakan hal yang sama sekali baru dan membutuhkan upaya kontemplatif.
Buku ini terasa menarik karena disampaikan dengan cara yang tidak biasa. Buku ini hadir lewat kumpulan puisi. Yang membuatnya menjadi lain adalah hadirnya syarah di setiap puisi, berjumlah sekitar 60 puisi, yang menyertai tiap puisi. Secara umum, syarah dikenal sebagai tradisi yang melekat di pondok pesantren. Ia merupakan keterangan yang secara umum memiliki makna penjelasan, uraian, komentar, atau anotasi terhadap suatu teks utama kitab kuning. Tujuan utama dari syarah adalah untuk memperjelas makna yang mungkin ambigu, sulit dipahami, ringkas, atau memerlukan konteks tambahan.
Namun begitu, pilihan buku ini pun dapat pula memantik respons negatif atas cara yang tidak lazim tersebut, minimal melihat cara buku ini disajikan. Syarah tidak dikenal dalam konteks puisi. Makna puisi sepenuhnya berada dalam benak pembaca. Begitu puisi hadir sebagai karya penulis, ia kemudian menjadi “milik” pembaca. Dalam pengantar buku ini, Haidar Bagir bukan tidak menyadari pilihan yang mungkin bisa dibilang aneh bagi sebagian orang ini. Ia sengaja memberi kebaruan, dengan kapasitas intelektualnya, dalam sebuah buku dengan segala “kejanggalannya” ini. Jadinya, kita sebagai pembaca diberi pilihan yang rumit namun mengasyikkan, mengasyikkan namun cukup rumit.
Dalam berbagai kesempatan, Haidar Bagir menyampaikan bahwa Ibn Arabi adalah filosof yang sangat berpengaruh dalam konstruksi pemikiran dunia Islam, demikian pula dalam buku ini. Sang filosof yang terkenal dengan konsep wahdatul wujud ini menjadi penerang sebagian besar isi buku. Wahdatul wujud pula yang membuka buku ini, bahwa sesungguhnya yang ada hanyalah wujud, selebihnya hanyalah merupakan bayangan atau pantulan wujud (hal. 5). Kesemua maujud yang selain Allah disebut tajalli (manifestasi / pengejawantahan) atau tanazzul (derivasi), atau fayadh (pancaran) dari Allah.
Wahdatul wujud meletakkan kehidupan manusia sebagai sebuah perjalanan untuk kembali pada Allah melalui pembersihan jiwa demi teraktualisasikannya fitrah ketuhanan dalam diri manusia. Fitrah ketuhanan itu menjadi sebuah keniscayaan karena pada dasarnya kasih sayang-Nya ada di mana-mana.
Lihat!
alam semesta merekah
cinta bersemi
di langit
di tanah
di air
di api
di keagungan angkasa
di kedalaman bebatuan
di renik mikroba…
(hal. 6)
Bagi Ibnu Arabi, tidak ada satu pun bagian dari alam semesta, tidak pula hukum-hukum alam semesta, yang bekerja kecuali dimuati oleh kandungan cinta. Tidak ada sesatu pun yang tercipta, kapan saja, di mana saja, kecuali adalah kebaikan yang lahir dari cinta dan kasih sayang-Nya. Oleh karenanya, seseorang baru dikatakan muslim yang benar tatkala memiliki perasaan kasih sayang kepada sesama makhluk Allah. Keberagamaan seperti ini pada dasarnya adalah laku sufi dan konsep tasawuf yang meletakkan kasih sayang dalam keberagamaan mereka.
Buku ini berisi kumpulan puisi cinta bernapaskan ketuhanan yang terinspirasi dari tradisi tasawuf dan ‘irfan (pengetahuan spiritual). Setiap puisi ditulis dengan bahasa yang lentur, penuh keindahan, dan mampu meringkas gagasan-gagasan subtil tasawuf, menjadikannya “pointers” yang mudah dipahami, terutama bagi pemula. Salah satu kutipan yang mencerminkan kepekaan puitis Haidar adalah sebagaimana terdapat dalam pembukaan buku sebagai berikut:
“Seperti burung-burung dalam syair Attar / kudamba Simurghku / Tapi apa bekalku selain tubuh lumpuh / Penuh luka arang keranjang ini?”.
Sampai di titik ini, buku ini tidak lantas dengan tegas menjelaskan Islam Cinta. Ia masih berkelana dengan puluhan syair dan syarah yang berbicara tentang mi’raj Muhammad (syair 19), sufisme (syair 36), dan petikan intelektualitas islami lainnya. Dalam konteks ini, yang mungkin luput adalah kodifikasi tema. Kodifikasi tema akan memudahkan bacaan terhadap isi buku, tidak membuat tema di akhir kembali diantarkan ke tema awal.
Buku Alkimia Cinta ini, menurut penulisnya, ditulis tanpa perencanaan awal. Gagasan untuk menciptakan puisi tasawuf muncul secara spontan pada Ramadan 2020, yang kemudian dituangkan dalam bentuk prosa liris dan diunggah di Twitter dengan batasan karakter yang efisien. Meski awalnya ragu menyebut karyanya sebagai puisi, Haidar berhasil menciptakan karya yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga kaya makna filosofis. Buku ini dirancang sebagai pengantar tasawuf yang mudah diakses, berbeda dari karya-karyanya sebelumnya seperti Mengenal Tasawuf atau Semesta Cinta. Dengan medium puisi, Haidar ingin menyampaikan keindahan spiritualitas yang menyentuh hati sekaligus mengingatkan pembaca pada ajaran-ajaran dasar Islam.
Apakah benar seperti itu kenyataannya? Sidang pembacalah yang akan memberikan penilaian. Namun demikian, keindahan berbahasa dapat ditemukan di buku ini. Puisi-puisi dalam buku ini ditulis dengan bahasa yang menawan, sederhana namun mendalam. Pilihan seperti ini dapat membuat pembaca terhanyut dalam refleksi spiritual. Hal lainnya yang memberi kesan positif adalah adanya syarah yang mencerahkan. Meski tidak lazim, adanya syarah menjadi semacam penjelasan yang menyertai setiap puisi memudahkan pembaca awam memahami konsep-konsep tasawuf yang cukup kompleks.
Di luar itu, buku ini cocok untuk pembaca dari berbagai latar belakang, baik yang baru mengenal tasawuf maupun yang ingin mendalami spiritualitas Islam. Dengan desain visual dan ilustrasi dalam buku yang menambah daya Tarik untuk membaca, menjadikan buku ini memberi kesan ringan namun kaya makna.
Meski kaya makna, beberapa pembaca mungkin menemukan puisi-puisi tertentu terasa abstrak tanpa syarah yang menyertainya. Selain itu, bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan bahasa puitis atau konsep tasawuf, buku ini mungkin memerlukan waktu lebih untuk dicerna sepenuhnya.
Lazimnya, makna puisi diserahkan pada pembaca untuk menilai. Namun begitu, buku Alkimia Cinta hadir sebagai napas baru dalam khazanah sastra sufistik Indonesia. Buku ini tidak hanya menawarkan pengalaman estetis melalui puisi, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungi hakikat cinta ilahi dan hubungan manusia dengan Allah. Dalam konteks modern di mana materialisme sering mendominasi, karya ini menjadi pengingat akan pentingnya spiritualitas yang berpijak pada cinta dan welas asih. Seperti yang banyak disampaikan para pemerhati buku, buku ini adalah “wise way to find love”—pendekatan bijak untuk menemukan cinta sejati melalui jalur kasih sayang Allah.
Saiful Maarif, bekerja pada DItjen Pendidikan Islam