Kawan saya Iwan Mariono, seorang dokter dan penggiat literasi membuat ulasan menarik tentang buku Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme karya Suroto. “Sebelum membaca jilid ke-6 Karya Lengkap Bung Hatta sangat direkomendasikan untuk baca buku ini, atau sebaliknya yang sudah baca jilid ke-6, maka buku ini menjadi kontekstual untuk melihat pemikiran Hatta yang jauh melampaui zamannya. Judul bukunya diambil dari pernyataan Bung Hatta: koperasi lawan tanding kapitalisme,” tulis alumnus Sekolah Pemikiran Bung Hatta itu.
Koperasi tetap abadi dalam ingatan bangsa walaupun perannya kadang terabaikan akibat rendahnya literasi koperasi di tengah masyarakat dan pelaku ekonomi. Sistem koperasi mengedepankan sifat utama kekeluargaan dan usaha bersama sehingga seyogianya menjadi pilar ketahanan ekonomi nasional.
Regulasi yang mengatur koperasi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Undang-Undang Perkoperasian ini pernah diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012, namun pasca judicial review, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 28/PUU-XI/2013 menyatakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian tetap menjadi dasar hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai dengan dibentuknya undang-undang yang baru.
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 peran dan fungsi koperasi adalah:
Pertama, membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;
Kedua, berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat;
Ketiga, memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya;
Keempat, berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Pengembangan koperasi tidak dapat dilepaskan dari cita-cita dan perjuangan Bapak Koperasi Indonesia Mohammad Hatta. Pada tahun 1977 dalam Seminar Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) tahun 1979, Bung Hatta menegaskan, apabila kita pelajari pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 nyatalah bahwa yang diurusnya ialah politik perekonomian Republik Indonesia. Isinya ialah: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sejalan dengan maksud ayat 1 pasal 33 tersebut, menurut Bung Hatta, koperasi adalah bangun organisasi ekonomi yang dituntut oleh Undang-Undang Dasar Negara kita. Bung Hatta secara tegas menyatakan cita-cita koperasi menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Oleh karena itulah koperasi harus menjadi dasar perekonomian rakyat dan tulang punggung pembangunan negara yang bersendikan demokrasi ekonomi.
Sejarah mencatat koperasi adalah gagasan revolusioner Bung Hatta dalam bidang ekonomi yang takkan tergantikan. Asas kekeluargaan tercantum dalam Undang-Undang Dasar, namun koperasi sejauh ini belum menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Konsep dan gerakan koperasi yang berasaskan kekeluargaan tidak boleh tenggelam ditelan arus globalisasi dan liberalisasi ekonomi.
Pemerintah melalui kebijakan Presiden Prabowo Subianto akan merevitalisasi koperasi dengan mendirikan Koperasi Desa Merah Putih. Peluncuran Kopdes Merah Putih direncanakan bertepatan dengan perayaan Hari Koperasi bulan Juli 2025. Untuk itu para pemikir dan pejuang koperasi perlu memberi masukan konstruktif agar Koperasi Desa Merah Putih menghasilkan dampak yang mendekatkan bangsa kepada cita-cita luhur koperasi.
Dalam buku Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme (2023) dijelaskan kenapa koperasi di Indonesia tidak berkembang, sebabnya adalah:
Pertama, paradigma masyarakat, masih banyak masyarakat yang tidak paham dengan koperasi dan arti pentingnya bagi pembangunan yang berdaulat dan mandiri. Koperasi sebagai ilmu pengetahuan dan temuan penting peradaban tidak diajarkan di bangku sekolah. Prof. Dr. Sri-Edi Swasono dalam kata pengantarnya pada buku Suroto mengatakan mahasiswa-mahasiswa pemula mengawali belajar ilmu ekonomi berhaluan persaingan dan mekanisme pasar, dengan supply dan demand yang bebas naik dan bebas turun, belajar ilmu ekonomi berdasar “kompetitivisme”, bukan berdasar “kooperativisme”.
Kedua, regulasi dan kebijakan. Koperasi belum memperoleh kesempatan menjadi opsi bagi pengembangan bisnis di sektor layanan publik, seperti badan hukum dalam Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), demikian pula dengan UU Rumah Sakit, UU Penanaman Modal, UU Perbankan serta undang-undang sektoral lainnya. Koperasi idealnya bekerja dalam skala negara.
Amerika Serikat, meski dikenal sebagai negeri kapitalis, namun siapa menyangka penduduknya menjalankan sistem koperasi paling besar yakni 26 persen dari total 300 koperasi besar di seluruh dunia. Sejauh ini dari 300 koperasi terkemuka di dunia menurut data ICA (International Cooperative Alliance), koperasi di Indonesia belum termasuk di dalamnya.
Menurut Suroto, perbedaan mendasar sistem koperasi dan kapitalisme adalah koperasi tidak menempatkan modal sebagai tujuan utama melainkan manusianya (people-based association), sedangkan modal (capital) hanya sebagai alat bantu. Koperasi terbuka bagi siapa pun yang ingin bergabung dan hak suara tiap anggota dijamin dalam setiap pengambilan keputusan.
Koperasi bekerja dalam mekanisme deliberatif untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kalau dalam ekonomi kapitalis, modal dan profit adalah unsur utama (capital-based association), tetapi dalam ekonomi koperasi, tujuan utamanya adalah benefit (kebermanfaatan). Dengan sistem koperasi suatu negara akan dapat menjalankan demokrasi di bidang ekonomi dalam praktik nyata.
Segenap insan koperasi dan pemangku kepentingan perkoperasian perlu merenungkan kembali amanat Bung Hatta bahwa tujuan koperasi ialah memperbaiki nasib orang-orang yang lemah ekonominya melalui mekanisme kerjasama. Menurut Bung Hatta, sandaran koperasi adalah orang, bukan uang.
Pesan Bapak Koperasi sangat tegas dalam buku Bung Hatta Menjawab, Wawancara Drs. Zainul Yasni (1978) bahwa asas kekeluargaan adalah yang membedakan antara koperasi Indonesia dari koperasi Barat yang berorientasi kepada ekonomi semata. Mengutip Bung Hatta, “Siapa yang akan mendirikan badan koperasi harus tahu membedakan mana yang koperasi dan mana yang bukan. Persekutuan yang wujudnya mengejar keuntungan bukanlah koperasi, tetapi persekutuan sero (Persero) atau persekutuan andil. Koperasi wujudnya usaha bersama.”
Dalam buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1987) yang dihimpun menjadi jilid ke-6 dari Karya Lengkap Bung Hatta, Bapak Koperasi itu menjelaskan sifat-sifat yang diperlukan dalam mengembangkan koperasi, ialah: (a) rasa solidaritas, setia kawan, (b) individualitas, insaf akan harga diri, (c) kemauan dan kepercayaan pada harga diri sendiri dalam persekutuan untuk melaksanakan self-help, tolong diri sendiri dan auto-aktivitas guna kepentingan bersama, (d) cinta kepada masyarakat yang kepentingannya harus didahulukan dari kepentingan diri sendiri atau golongan sendiri, (e) rasa tanggungjawab moril dan sosial. Oleh karena itu Bung Hatta mengatakan modal utama koperasi adalah kepercayaan.
Koperasi adalah sistem yang dinamis dan adaptif terhadap perkembangan zaman dan perubahan lingkungan nasional, regional dan global. Koperasi bukan sekadar nama dan branding, tetapi harus menjadi kenyataan demi terjaminnya kesejahteraan hidup rakyat dan keadilan sosial sesuai dengan Pancasila. Meminjam ungkapan Bung Hatta, membangun koperasi menghendaki kerja terus-menerus, latihan semangat dan didikan cita-cita. Koperasi tidak akan tumbuh kalau tidak ada cita-cita koperasi.
Dalam konteks penguatan ekosistem halal di negara kita, diperlukan peran multipihak antara pemerintah pusat dan daerah serta sektor swasta, tidak terkecuali peran koperasi. Koperasi dan industri halal adalah dua komponen yang berakar pada spiritualitas, kesadaran etis dan keadilan universal. Industri halal mencakup sektor yang memproduksi, mengolah, mendistribusikan dan menyediakan produk halal sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perlindungan hak-hak konsumen. Sebagaimana sering disampaikan oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar, halal bukan hanya label, tapi sebuah life style yang terpatri dalam tiga kata kunci yakni kebaikan, keutuhan dan keadilan.
Seiring dengan itu, ekosistem halal diharapkan semakin berkembang dengan dukungan multipihak, termasuk koperasi. Pemberdayaan koperasi perlu didukung oleh semua pihak karena koperasi yang berdaya akan memperkuat ekosistem halal di negara kita.
M. Fuad Nasar, Direktur Jaminan Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.