Dalam satu atau dua dekade terakhir, muncul fenomena yang disebut sebagai gerakan hijrah yang terlihat mencolok di kalangan pesohor (artis, selebritas, dan influencer) Indonesia. Mereka mendeklarasikan hijrah melalui media sosial dan publikasi aktivitas spiritual mereka.
Fenomoni ini ditandai dengan pergeseran gaya hidup ke arah yang lebih religius, terutama dalam praktik keislaman. Selebriti yang dulu tampil bebas, kemudian mengenakan hijab/niqab. Namun, perlu diingat bahwa setiap individu memiliki motivasi dan pengalaman yang berbeda-beda dalam melakukan perubahan hidup, dan tidak semua yang disebut “berhijrah” memiliki pemahaman yang sama tentang istilah ini.
Secara etimologis “hijrah” berasal dari kata “هَجَرَ” (hajara) yang berarti “meninggalkan” atau “memisahkan diri”. Kata ini juga dapat berarti “memutus hubungan” atau “berpindah”.
Dalam konteks historis, hijrah merujuk pada peristiwa perpindahan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 M. untuk mencari ruang yang lebih aman dalam menjalankan Islam. Peristiwa ini menandai awal mula kalender Hijriyah.
Dalam pengertian umum “hijrah” berarti meninggalkan sesuatu yang buruk, seperti meninggalkan kemaksiatan, dosa, atau lingkungan yang tidak baik dan menggantinya dengan amal perbuatan yang baik. Dalam konteks kontemporer di kalangan pesohor Indonesia, “hijrah” dimaknai sebagai perpindahan gaya hidup, identitas, dan orientasi nilai seseorang dari yang dianggap ‘duniawi’, permisif, atau kurang agamis menjadi lebih religius, syar’i, dan spiritual.
Beberapa pesohor yang berhijrah dapat disebutkan, antara lain, Arie Untung, Ananda Omesh, Irwansyah, Dude Herlino, Dimas Seto, serta pasangan Teuku Wisnu dan Shireen Sungkar, yang menjadi simbol gaya hidup hijrah kaum muda urban.
Penampilan, gaya hidup, dan lingkar sosial mereka berubah drastis. Dari yang sebelumnya berpenampilan seksi dan terbuka, menjadi berhijab syar’i dan bercadar (perempuan), serta berjenggot dan bercelana cingkrang (laki-laki). Dari gaya hidup glamor, permisif, dan pergaulan bebas menjadi menjauhi dunia hiburan (film, musik, modeling). Mereka membentuk circle baru dengan komunitas pengajian, ustadz, dan sesama selibriti yang juga hijrah, seperti “Shift”, “Hijrah Fest”, “Kajian Musawarah”, dan sebagainya. Mereka juga sering membagikan konten dakwah, mengutip ayat atau hadis Nabi s.a.w di medsos mereka.
Bahkan mereka berani menyatakan pendapat yang melampaui kewenangannya sebagai seseorang yang baru belajar agama. Uki Eks Noah dan Yuke Semeru (pemain bass Gong 2000) ini meninggalkan musik karena menurutnya musik itu pintu menuju kemaksiatan dan hukumnya haram secara mutlak. Sedangkan di kalangan ulama sendiri hukum musik terjadi perbedaan pendapat. Tidak terkecuali Five Vi dengan pendapat kontroversialnya. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua musisi yang berhijrah mengharamkan musik sepenuhnya.
Jalan Hijrah
Pemilihan kosa kata “Memilih Jalan” pada judul di atas untuk menegaskan bahwa jalan berhijrah itu banyak dan beragam, bukan tunggal. Jalan hijrah tidak hanya seperti pilihan para pesohor di atas.
Rhoma Irama, The Legend, walaupun tidak pernah dilabeli dan tidak pula mendeklarasikan berhijrah, sesungguhnya dia telah berhijrah jauh sebelum ada fenoma pesohor berhijrah. Sejak akhir tahun 70-an atau awal 80-an dia berhijrah dengan cara menjadikan lagu dan musik yang semula sebagai seni dan hiburan semata menjadi media dakwah yang efektif. Melalui lagu dan musik dia konsisten mengajak manusia ke jalan kebenaran, kebaikan, mematuhi ajaran Tuhan, dan menjauhi larangan-Nya. Begitu juga dengan Reza Noah dan Opick. Mereka tidak mengharamkan musik. Mereka masih bermusik, tetapi dengan tujuan dakwah dengan membuat musik religi.
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-‘Ankabut/29: 69). Di sini Allah menggunakan kata jamak, bukan tunggal (subul jamak dari sabîl). Walaupun beragam, tujuannya harus mengarah kepada jalan lebar dan luas yang terbentang lurus menuju Allah SWT. Itulah yang selalu dimohonkan oleh setiap mukmin dalam setiap rakaat salatnya, Ihdinâ al-shirât al-mustaqîm, “Bimbing (antar)lah kami (memasuki) jalan lebar dan luas lagi lurus”.
Quraish Shihab (2011) menjelaskan bahwa as-shirath itu jalan yang lebar dan luas. Sedemikian lebar dan luasnya sehingga ia seperti menelan pejalannya. (Asal kata as-shirath berarti “menelan”). Berbeda dengan sabil, dia banyak namun merupakan jalan kecil atau lorong-lorong. Oleh karena itu, kata Al-shirath dalam al-Qur’an hanya datang dalam bentuk tunggal. Sedangkan sabil terkadang datang dalam bentuk tunggal dan terkadang jamak. As-shirat adalah muara dari semua sabil yang baik. Demikian kesimpulan Quraish Shihab terhadap Q.S al-Maidah/5: 16.
Waspadai Jebakan Hijrah
Hal penting yang perlu diketahui oleh seseorang yang berhijrah yaitu harus mengetahui titik permulaanya dan kemana titik tujuannya. Faktor ini sangat penting agar tidak berbelok arah atau terhenti di tengah jalan. Jebakan pertama yang harus diwaspadai yaitu masuknya niat yang tidak semestinya. Selalu saja ada celah yang menggelincirkan niat berhijrah, misalnya mengikuti trend, agar bisa masuk dalam circle komunitas, untuk mendapatkan pujian, popularitas, atau keuntungan, dan lain-lain. Nabi s.a.w sudah memperingatkan, “maka barang siapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jebakan kedua, fenomena hijrah dalam kehidupan modern tentu positif, tapi juga perlu pendekatan bijak dan harus didasari dengan niat yang benar. Ada potensi beragama dengan mengedepankan formalisme dan simbolisme: terlalu menekankan penampilan luar tanpa kedalaman ilmu. Berhijrah bukan soal tampilan, tapi soal kesungguhan memperbaiki diri karena Allah, secara terus-menerus dan konsisten. Lebih dari itu, berpotensi mengarah eksklusif, menganggap kelompoknya paling benar dan memandang sinis orang lain yang belum “berhijrah”.
Jika setelah berhijrah ternyata pandangan keagamaannya menjadi sempit, eksklusif, dan merasa paling benar, berarti tidak mencontoh Nabi s.a.w. Beliau berhijrah bukan hanya menyatukan sahabat Muhajirin dan Anshar, melainkan merangkul semua dan juga membangun masyarakat Madinah yang harmonis yang di dalamnya hidup berbagai suku dan penganut agama yang berbeda.
Dengan adanya jebakan tersebut apakah lantas tidak perlu berhijrah? Tentu tidak. Tetap berhijrah dengan disertai keyakinan bahwa beragama itu mudah. Jalan agama itu luas, jangan dibuat sempit oleh kita sendiri. Begitu pula berhijrah itu harus dibuat sederhana dengan cara yang sederhana pula. Setiap orang punya pilihan cara sendiri. “Orang yang berhijrah sejati adalah yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” Sesederhana itu pesan Nabi s.a.w. dalam sebuah hadis shahih.
Menarik perumpamaan yang digunakan al-Qur’an menyamakan agama dengan tali (habl). Tali adalah utas yang panjang. Dari ujung satu sampai ke ujung lainnya tetap disebut tali. Allah menyuruh kita memegang kuat tali (agama) Allah dan melarang bercerai berai. “وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا” “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” Q.S. Ali Imran/3: 103. Allah tidak meminta untuk berpegang pada bagian tertentu. Tidak penting bagian mana tali (agama) Allah yang kita pegang, asalkan dipegangnya sekuat tenaga. Sejatinya setiap kita tidak mengetahui bagian mana tali (agama) Allah yang kita pegang. Demikianlah semestinya beragama, tidak perlu klaim kebenaran subyektif. Wallahu a’lam bis sawab.
Syafi’i (Kepala Pusbangko. Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama Kemenag)