Di ruang kerja organisasi pemerintah, kata “pengawasan” kerap menggema dengan nada dingin, penuh kecurigaan, seolah ritual evaluasi untuk mencari kesalahan.
Namun, di Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Republik Indonesia (Itjen Kemenag RI), esensi pengawasan sedang bertransformasi menjadi sebuah tindakan yang memiliki dampak nyata untuk membangun akuntabilitas berbasis cinta.
Inilah pergeseran paradigmatik (terpantik konsep KBC), sehingga. pengawasan bukan lagi momok, melainkan mitra satker dalam penguatan komitmen dan integritas organisasi–paling tidak pada ranah GRC (Governance, Risk and Compliance).
Maka konsep “Pengawasan Berdampak (wasdam): Solutif, Kolaboratif, dan Berkelanjutan”, yang digaungkan baru-baru ini, merupakan anggitan filosofis yang substansinya mendorong pembangunan organisasi yang sehat, responsif dan akuntabel.
Visi wasdam bergerak jauh, karena laku pengawasan akan dipahami sebagai pencatatan kesalahan. sebagai upaya menciptakan solusi. Posisi pemeriksa pun berubah menjadi mitra strategis dalam up grade kualitas layanan organisasi, serta untuk memastikan bahwa setiap temuan merupakan benih perbaikan yang tumbuh berkelanjutan.
Inspektur Jenderal H. Khairunas, dalam Media Gathering di Kantor Cipete (28/5), menjelaskan bahwa konsep wasdam berdiri kokoh di atas tiga pilar utama. Pilar pertama, menekankan solusi melalui pendekatan adaptif dan berbasis data, sehingga catatan kritis auditor bukanlah rambu-rambu gelap melainkan petunjuk jalan keluar (problem solving) yang terang.
Pilar kedua, kolaborasi, yang tentu meruntuhkan tembok pemisah antara pengawas (auditor) dan yang diawasi (auditi), tetapi justeru wasdam menjalin kemitraan strategis dengan seluruh pemangku kepentingan dalam fungsi konsultan/ katalisator untuk mendapatkan nilai tambah organisasi.
Adapun pilar ketiga, menjamin keberlanjutan (sustainability). Pilar ini memastikan kontribusi pengawasan bersifat transformatif dan tidak mandeg pada lembaran laporan, melainkan mendorong renaksi korektif dan optimalisasi kinerja secara berkesinambungan dalam bingkai sustainability improvement (PDCA).
Nah, implementasi paradigma wasdam ini sekarang bereksperimen nyata di ranah operasional penyelenggaraan ibadah haji tahun 1446 H/2025 M.
Melalui inisiatif Immediate Corrective Action (ICA)–tindakan korektif segera, temuan layanan haji yang berpotensi menurunkan kualitas kepuasan jemaah akan segera diperbaiki tanpa penundaan. Maka SDM wasdam hadir sebagai sebagai pemecah masalah yang sigap, sehingga memastikan pengalaman spiritual jemaah (mabrur) tetap terjaga keluhurannya.
Urgensi
Mengapa transformasi pengawasan internal menjadi sebuah keniscayaan? Data berbicara lugas. Laporan BPKP tahun 2023 menunjukkan bahwa lembaga dengan sistem pengawasan internal (APIP) yang kuat dan efektif mengalami penurunan temuan berulang hingga 40% dibandingkan lembaga dengan pengawasan yang lemah. Lebih memprihatinkan, temuan audit di berbagai K/L seringkali menguap; data menunjukkan rata-rata hanya 65% rekomendasi audit yang ditindaklanjuti secara tuntas per tahun. Hal ini menjadi celah inefisiensi dan potensi penyimpangan yang sama akan terulang.
Fakta ini menggarisbawahi urgensi mendesak bagi pendekatan pengawasan yang tidak hanya menemukan masalah, tetapi pengawasan yang berdampak–yang proaktif menyediakan solusi dan menutup akar masalahnya, sebagaimana denyut nadi wasdam.
Secara regulatif, mandat pengawasan internal pemerintah di Indonesia berpijak pada PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
SPIP mendefinisikan pengawasan sebagai serangkaian aktivitas audit, reviu, evaluasi, dan pemantauan lainnya, yang bertujuan memberikan keyakinan memadai. Bahwa tugas dan fungsi organisasi telah dijalankan sesuai prosedur yang ditetapkan.
Tanggung jawab mulia ini diemban oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Namun dalam praktiknya, Itjen Kemenag RI, via esensi wasdam telah melakukan lompatan signifikan: ia memadukan keteguhan instrumen regulasi dengan kedalaman prinsip kemanusiaan bernama cinta.
Menyitir pemikiran humanis Erich Fromm, cinta di sini bukanlah romantisme semu, melainkan komitmen aktif untuk mendukung kesejahteraan dan pertumbuhan sesama.
Membangun akuntabilitas dengan cinta berarti menempatkan pengawasan sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab penuh kasih terhadap masa depan organisasi.
Dalam semangat cinta yang sejati, penerimaan akan konsekuensi (hukuman) atas kesalahan pun menjadi bagian integral –-sebuah ekspresi cinta kepada bangsa, negara, dan organisasi melalui ketaatan pada aturan sebagai cerminan kesetiaan pada nilai-nilai bersama yang dijunjung tinggi.
Solusi Menyejukkan
Lantas, bagaimana wujud nyata membangun akuntabilitas dengan cinta ini? Kuncinya terletak pada revolusi paradigma wasdam yang memandang pengawasan bukan sebagai cambuk penghukum, melainkan sebagai alat perbaikan, penguatan, dan pendampingan.
Pengawasan berbasis cinta menuntut insan APIP untuk hadir sebagai mitra yang peduli, dengan mata yang siap mencermati, telinga yang siap mendengar, pikiran yang siap menawarkan masukan konstruktif, dan tangan yang selalu terulur memberikan solusi adaptif.
Di ruang inilah prinsip solutif, kolaboratif, dan berkelanjutan menemukan nafasnya. Proses yang tidak hanya mengoreksi kesalahan, tetapi juga mendidik; tidak hanya mengevaluasi kinerja, tetapi juga membangun bersama jalan perbaikan.
Namun, penting digarisbawahi, unsur cinta dalam bingkaià pengawasan akan tampak sebagai unsur kelemahan. Ketika kesalahan terjadi, upaya perbaikan dan pendampingan diberikan tetapi diabaikan, maka hukuman sebagai manifestasi cinta bisa jadi mengalami keterlambatan eksekusi.
Dalam skema pengawasan berbasis cinta, sesungguhnya hukuman diberikan bukan untuk menjatuhkan martabat atau mempermalukan, melainkan menjadi instrumen edukasi akhir, pengingat yang mendalam, dan momen refleksi agar kesalahan serupa tak berulang.
Ia menjadi langkah terpuji setelah dialog dan penerapan solusi. Pelaksanaannya pun wajib dilandasi prinsip fairness, proporsionalitas, dan kemanfaatan; penyampaian dengan bahasa santun yang mengedepankan kemaslahatan.
Dalam perspektif ini, hukuman bukanlah tindakan semena-mena, melainkan ekspresi cinta yang berani dan bertanggung jawab. Yakni, penegakan aturan demi melindungi kebaikan kolektif; bagaikan cinta orang tua yang rela mendisiplinkan anaknya demi membentuk pribadi yang berkarakter luhur.
Dalam rangka menjawab tantangan zaman dan mendukung visi Indonesia Emas 2045, membangun akuntabilitas dengan cinta juga menuntut inovasi yang cerdas dan relevan. Oleh karena itu, Itjen Kemenag RI telah melangkah dengan berbagai terobosan berbasis teknologi.
Selain sistem e-audit yang membuka ruang pengawasan digital, akan hadir pula dashboard monitoring real-time, audit berbasis Kecerdasan Buatan (AI), sistem pelaporan temuan terintegrasi, serta penguatan analisis big data untuk deteksi dini potensi risiko.
Inovasi-inovasi ini tak hanya soal efisiensi mekanis; ia menjadi prasyarat penguatan ketiga pilar wasdam tersebut agar lebih responsif, mempercepat solusi, dan meningkatkan transparansi. Hal ini selaras dengan semangat Asta Protas Kementerian Agama RI dalam rangka meningkatkan kerukunan, cinta kemanusiaan, dan layanan berkualitas layanan birokrasi.
Maka pada akhirnya, “pengawasan berdampak” alias wasdam merupakan rumah besar tempat berbagai konsepsi amenuju organisasi berintegritas dan berkinerja tinggi. Di dalamnya tersedia aneka langkah, strategi dan metoda pengawasan.
Sementara itu, membangun akuntabilitas dengan cinta adalah ruang khusus di rumah wasdam yang menghangatkan dan menguatkan. Di ruang inilah, pengawasan menemukan jati dirinya yang paling mulia: hadir bukan semata sebagai alat kontrol, melainkan sebagai perwujudan nyata kepedulian dan kasih sayang organisasi.
Tujuannya pun jelas agar setiap insan di lingkungan Kementerian Agama RI mampu menjalankan tugas dengan penuh integritas, profesionalisme, dan dedikasi tulus, menghadirkan kemaslahatan sejati bagi umat, bangsa, dan negara tercinta Indonesia. Di sinilah makna ikhlas beramal menemukan bentuknya. ***
Aceng Abdul Azis (Inspektur III pada Inspektorat Jenderal Kementerian Agama)