Media Argentina menerbitkan serangkaian dokumen yang menunjukkan bahwa Federasi Sepak Bola Malaysia (FAM) memalsukan dokumen naturalisasi striker Imanol Machuca.
Menurut harian Argentina CDN, dokumen yang diberikan oleh kantor catatan sipil provinsi Santa Fe mengonfirmasi bahwa Concepcion Agueda Alaniz, yang dinyatakan oleh FAM sebagai “nenek Malaysia” Machuca, sebenarnya lahir pada tahun 1954 di kota Roldan, Santa Fe, Argentina, dan sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Malaysia.
Surat kabar itu juga memuat surat nikah antara Ibu Agueda dan Bapak Jorge Luis Saracho, keduanya warga negara Argentina, sehingga membantah sepenuhnya informasi bahwa ia berasal dari Penang sebagaimana dinyatakan oleh FAM.
Wartawan Argentina mengatakan ini adalah bukti paling jelas bahwa proses naturalisasi Machuca dilakukan berdasarkan dokumen palsu.
CDN juga menegaskan, kejadian ini menambah panjang daftar pemain Argentina yang didakwa memalsukan asal usul agar bisa bermain di timnas Malaysia, menyusul kasus gelandang Facundo Garces yang sebelumnya diketahui kakeknya lahir di Santa Fe, bukan Malaysia sebagaimana tercantum dalam dokumen yang diserahkan ke FIFA.
Insiden ini terjadi hanya beberapa hari setelah FIFA resmi melarang tujuh pemain selama satu tahun terkait skandal dokumen tersebut, termasuk Machuca, Garces, Rodrigo Holgado, Gabriel Palmero, Jon Irazabal, Hector Hevel, dan Joao Figueiredo. Selain larangan tersebut, Asosiasi Sepak Bola Malaysia juga didenda 350.000 franc Swiss.
Machuca bermain dalam kemenangan 4-0 Malaysia atas Vietnam, tetapi kini hak bermainnya dicabut dan denda tambahan 2.000 franc Swiss. FAM mengatakan sedang mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) , tetapi para ahli mengatakan kemungkinan pembatalan putusan tersebut hampir nol mengingat banyaknya bukti dari Argentina.
Sepak Bola Malaysia Terancam Dicoret Jika FAM Mengajukan Banding ke FIFA
Opini publik Malaysia meminta FAM untuk berhenti menuntut FIFA di CAS, dengan mengatakan ini adalah pertaruhan berisiko yang dapat menghancurkan seluruh industri sepak bola di negeri jiran.
Di tengah badai skandal yang melibatkan tujuh pemain naturalisasi , pesan yang jelas dan kuat dikirimkan kepada Persatuan Sepak Bola Malaysia (FAM): sudah waktunya belajar menerima kebenaran.
Gelombang opini publik, mulai dari pers, pakar, hingga mantan anggota organisasi, mendesak FAM untuk membatalkan niat mengajukan gugatan ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS). Ini bukan nasihat yang lemah, melainkan peringatan bijak terhadap risiko yang dapat mendorong seluruh industri sepak bola ke ambang kehancuran.
Harapan yang dipegang teguh FAM dalam CAS sebenarnya hanyalah ilusi yang rapuh. Sebagaimana dianalisis oleh jurnalis T. Avineshwaran dari The Star, CAS bukanlah tempat untuk mengkaji substansi kasus. Mereka tidak mengkaji kebenaran, melainkan hanya berfokus pada prosesnya.
Pertanyaannya adalah: Apakah FIFA berpegang teguh pada aturannya sendiri dalam membuat keputusan?
Bagi organisasi dengan sistem hukum yang ketat seperti FIFA, kemungkinan mereka melakukan kesalahan prosedural sangat rendah. FIFA telah membuat kesimpulan berdasarkan bukti kuat berupa catatan pemain, yang sepenuhnya meruntuhkan argumen “itikad baik” FAM. Oleh karena itu, mengajukan gugatan yang hampir tidak mungkin dimenangkan bukan hanya membuang-buang uang dan waktu, tetapi juga merupakan pertaruhan yang berisiko.
Dan harga yang harus dibayar atas kekalahan ini sangat berat. Hukuman yang dijatuhkan FIFA saat ini – denda untuk FAM dan skorsing 12 bulan untuk 7 pemain – sebenarnya masih “ringan”. Hal ini memungkinkan sepak bola Malaysia untuk terus beroperasi.
Akan tetapi, jika FAM gagal di CAS, mereka tidak hanya akan menghadapi hukuman yang dikuatkan, tetapi juga berisiko menerima hukuman tambahan yang jauh lebih berat.
Ini bisa berupa larangan tim nasional dari Piala Asia atau kualifikasi Piala Dunia di masa mendatang. Bencana terburuk, seperti yang diperingatkan Berita Harian, adalah larangan total, yang akan menghentikan semua kegiatan sepak bola, dari tingkat profesional hingga amatir, di seluruh negeri. Itu akan menjadi pukulan telak, yang akan membuat seluruh industri sepak bola mundur beberapa dekade.
Karena menyadari bahaya yang ada, berbagai tokoh berpengaruh pun bersuara lantang. Mantan Sekretaris Jenderal FAM, Seri Azzuddin Ahmad, dengan terus terang menyarankan agar organisasi tersebut menerima hukuman tersebut, menganggapnya sebagai tindakan untuk mengetahui cara memperbaiki kesalahan.
Ia menekankan bahwa banding ke CAS akan memakan biaya besar dan berpotensi membawa bencana. Pengamat Christopher Raj sependapat, mengatakan tidak ada alasan atau bukti untuk membatalkan keputusan tersebut. Saran mereka jelas: tindakan paling bijaksana adalah berhenti, menerima konsekuensinya, dan fokus pada pemulihan.
Alih-alih menghabiskan uang dan tenaga untuk pertarungan hukum yang sia-sia, FAM seharusnya melihat ini sebagai kesempatan untuk mereformasi sepak bola dari akarnya. Skandal ini telah mengungkap celah serius dalam manajemen dan verifikasi personel.
Sudah saatnya bagi FAM untuk menghadapi kebenaran, mengakui sepenuhnya kesalahannya dan memulai proses reformasi secara transparan dan profesional.
Menerima hukuman bukanlah menyerah, melainkan langkah awal yang penting untuk menyelamatkan masa depan. Ini adalah pilihan antara mempertahankan kehormatan dengan gigih dan bertindak secara bertanggung jawab demi kelangsungan hidup seluruh industri sepak bola.
