Oman Fathurahman (Ketua Mustasyar Diniy PPIH Arab Saudi 2025, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Pengampu Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara)
Dulu, jemaah haji yang wafat di di Tanah Suci jumlahnya tak terperi, apalagi ketika haji terjadi di masa penyakit kolera atau wabah pandemi.
Pada tahun 1865, sebanyak 15,000 dari 90,000 jemaah haji wafat akibat penyakit yang diderita. Terburuk pada 1908, hanya dalam 4 hari di Mekkah saja, sebanyak 1,381 jemaah meregang nyawa (Peters 1994: 303).
Tanah Hijaz pernah ketiban sial menjadi kuburan masal. Sekarang pun Saudi meradang saat jumlah jemaah wafat cenderung meningkat.
“Pemerintah Indonesia tengah mengeluarkan maklumat bahwasanya anak-anak yang masih kecil di bawah lima belas tahun dan orang tua yang sudah lemah, tidak boleh naik haji… Pemerintah memikirkan bahwasanya ibadah haji itu sangat payah mengerjakannya, negeri Arab panas”, ini kata Hamka saat akan berhaji pada tahun 1950 (HCL, Naik Haji di Masa Silam II, 2019: 764).
Baca juga: Puncak Haji Armuzna
Tingginya tingkat kematian saat berhaji tidak selalu akibat musibah alam yang memang tidak bisa diredam, melainkan juga karena kondisi fisik dan kesehatan jemaah yang sebetulnya tidak memungkinkan. Ancaman kematian sering diabaikan. Alih-alih awas atas peringatan, para lansia dan jemaah berisiko tinggi tak jarang memiliki keyakinan bahwa mati di Mekkah mengandung kemuliaan.
“Belum hilang dari keyakinan sebahagian besar bangsa kita, bahwasanya mati di Mekkah adalah sangat mulia. Dan mati di perjalanan karena akan pergi mengerjakan haji, sama juga pahalanya dengan mati sesudah mengerjakan haji”, cerita Hamka, menggambarkan jemaah haji Indonesia tahun 1950 (h. 835).
Hamka pernah mengkritik keras pemahaman doktrin haji seperti itu secara membabi buta, tanpa menimbang hakikat yang sebenarnya.
“Mati di Mekkah pun, kalau tidak membawa amal, tidak hidup bertakwa, tidak berapa kurang derajatnya dari Abu Lahab, yang mati di Mekkah juga. Dan mati di tanah air Indonesia yang cantik, tentu kubur pusaranya, tentu batu nisannya, puding panca warnanya, lebih baik dari mati di Mekkah, kalau berjasa, beramal dan beribadat”, begitu nasihat Hamka (h. 832).
Kini, di tahun 2025, ketika tulisan ini dibuat, angka kematian jemaah haji terus naik bergerak, padahal kepadatan aktivitas di puncak haji sudah lewat. Sebagian besar korban adalah mereka yang memiliki problem kesehatan, termasuk jemaah lanjut usia (lansia) yang sejak di tanah air penyakit akutnya sudah ketahuan.
Maka, cara mendakwahkan kewajiban haji harus ada perubahan. Kepentingan menjaga jiwa (hifz al-nafs) harus lebih dikedepankan dan dimuliakan. Cuaca panas ekstrem di Tanah Suci harus menjadi pertimbangan, terutama bagi calon jemaah yang memikul penyakit berat bawaan (comorbid).
“Adapun penyakit yang kerapkali berbahaya, selain dari disentri dan malaria, adalah heetstrook, musibah panas. Bila tidak tahan, orang bisa jadi gila. Kerap kali jemaah-jemaah itu menjadi gila, dan akhirnya mati”, 75 tahun lalu, Hamka sudah mengingatkan (h. 834).
Jangankan yang sakit, lansia, atau risti, jemaah haji muda yang sehat pun bisa terancam kematian jika ia memaksakan diri semata mengejar keutamaan ibadah dengan melupakan keselamatan jiwa.
“Pernah ada seorang jemaah haji usia muda”, suatu ketika, Kiai Abdul Moqsith Ghazali, anggota Mustasyar Diny PPIH Arab Saudi bercerita di depan para jemaah, “selepas puncak haji di Armuzna, ia melaksanakan umrah sunnah hingga tiga kali sehari, sampai ketika selesai 60 kali, ia kelelahan dan wafat”.
Ini memang soal pelik, tapi jelas memerlukan jawaban. Negara perlu campur tangan memikirkan solusinya. Keselamatan jemaah haji adalah tanggung jawab kita bersama. Syarat kesehatan (istitha’ah sihhiyyah) calon jemaah haji harus “harga mati”. Batas lanjut usia mungkin perlu dibatasi.
Mustasyar Diny (Penasihat Keagamaan) perlu mencarikan dalil syariatnya. Para pendakwah dan pembimbing haji pun harus bergotong royong memberi pengertian bahwa pahala mabrur haji tidak hanya bisa didapat dengan memaksakan pergi ke tanah suci. Jangan sampai kita semua dianggap “berpartisipasi” pada naiknya angka kematian jemaah haji.
Kini, berangsur jemaah kembali ke tanah air, sebagian tiba dengan riang gembira, namun sebagian lain hanya pulang membawa nama, kita doakan agar mereka menjadi ahli surga, amin.
Semoga para jemaah haji Indonesia merasa aman, nyaman, dan mabrur sepanjang umur.
اللهم اجعله حجا مبرورا وسعيا مشكورا وذنبا مغفورا وعملا مقبولا وتجارة لن تبور
Oman Fathurahman (Ketua Mustasyar Diniy PPIH Arab Saudi 2025, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Pengampu Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara)