Blundell Park menjadi panggung rasa malu: Manchester United lemah, Ruben Amorim tak berdaya, dan kemarahan para penggemar meledak dengan hebat.
Carabao Cup dianggap sebagai “taman bermain kedua” bagi raksasa Liga Inggris. Namun bagi Manchester United saat ini, pertandingan melawan Grimsby Town pada dini hari tanggal 28 Agustus bagaikan ujian iman – dan Ruben Amorim gagal total.
Bagi tim yang tengah berjuang di Liga Dua, mampu unggul 2-0 dalam waktu setengah jam permainan, lalu kalah lewat adu penalti, bukan hanya mengejutkan, tetapi juga bukti bahwa Setan Merah benar-benar kehilangan arah.
Kesabaran Penggemar Mencapai Titik Terendah
Manchester United telah melalui banyak hal selama dekade terakhir, dari era pasca-Sir Alex Ferguson hingga masa kepemimpinan singkat David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho , Ole Gunnar Solskjaer, dan Erik Ten Hag. Setiap manajer memiliki masa-masa perlindungan dari para penggemar, setidaknya sampai kepercayaan mereka terkikis hingga mencapai titik jenuh. Bagi Ruben Amorim, masa-masa itu tampaknya datang terlalu cepat.
Teriakan “Amorim keluar” yang menyusul kekalahan dari Grimsby bukanlah reaksi spontan. Teriakan itu merupakan hasil dari serangkaian frustrasi yang panjang: gaya bermain yang kaku, sistem taktik yang mudah ditebak, dan, yang terpenting, ketidakmampuan untuk memaksimalkan potensi pemain mahal seperti Benjamin Sesko dan Matheus Cunha. Ketika penggemar mengatakan “dia harus memilih antara sistem dan pekerjaannya”, itu adalah penilaian dingin terhadap filosofi yang justru menjadi bumerang.
Amorim tiba di Old Trafford dengan reputasi sebagai pelatih muda dan modern, setelah tampil gemilang bersama Sporting Lisbon dengan formasi 3-4-3-nya yang serba bisa. Namun, Liga Inggris—bahkan liga-liga papan bawah di Inggris—tidak mudah dikalahkan oleh formula yang baku. Penguasaan bola Man United, ketidakmampuan mereka menembus pertahanan lawan, dan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi serangan balik langsung, telah menjadi hal yang lumrah.
Grimsby bukanlah Real Madrid, begitu pula Liverpool. Namun, mereka masih dengan mudah memanfaatkan celah di pertahanan United untuk menghukum lawan. Ketika sistem pertahanan memungkinkan lawan dari divisi empat menembusnya, masalahnya bukan lagi pada kualitas pemain, melainkan pada pemikiran taktis.
Para penggemar bisa memaafkan kekalahan dari lawan yang lebih kuat, tetapi sulit untuk menerima kelesuan dan kurangnya semangat para pemain. Pemain-pemain seperti Harry Maguire, Andre Onana, dan Manuel Ugarte semuanya hadir di lapangan, tetapi penampilan kolektif mereka kurang padu.
Pertanyaannya adalah: apakah Amorim benar-benar memiliki kendali atas ruang ganti, atau apakah ia secara bertahap kehilangan dukungan dari pilar-pilarnya?
Di klub seperti Manchester United, manajer tidak hanya membutuhkan ide-ide taktis, tetapi juga semangat juang yang menjadi ciri khas Sir Alex. Ketika semangat juang ini hilang, kepercayaan penonton pun hancur.
Bagaimana Masa Depan Amorim?
Faktanya, dewan direksi Manchester United kemungkinan besar tidak akan langsung mengambil keputusan. Namun, tekanan publik memang tidak bisa diabaikan.
Carabao Cup memang bukan turnamen besar, tetapi kekalahan dari lawan yang levelnya lebih rendah memiliki dampak psikologis yang sangat besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kemampuan Amorim untuk mengembalikan klub ke jalur yang benar.
Jika Amorim terus berpegang teguh pada filosofinya yang telah terbukti, ia akan terdesak. Sepak bola Inggris tidak memberikan banyak waktu bagi manajer muda untuk bereksperimen. Para penggemar ingin melihat perubahan segera – mulai dari pendekatan terhadap permainan, pemilihan pemain, hingga sikap untuk berjuang.
Ketika Tyrell Warren—nama yang sempat ditolak United—mencetak gol untuk memperlebar jarak, itu bagaikan “tamparan” bagi tim sepak bola paling tradisional di Inggris. Hal itu menyingkap jurang antara reputasi dan kekuatan, sekaligus menjadi peringatan bahwa jika mereka tidak berubah, “Setan Merah” akan terus menjadi bahan tertawaan seluruh Inggris.
Ruben Amorim mungkin tidak akan kehilangan pekerjaannya besok pagi, seperti yang ditulis seorang penggemar yang marah, tetapi ia berada di garis yang sangat tipis. Kepercayaan para penggemar telah terkuras – dan di klub sebesar Manchester United, ketika para penggemar berpaling, seringkali itu adalah awal dari akhir.