Halaqoh Alumni Pesantren Salafiyah Kauman Pemalang
Pemalang (Kemenag) — Pesantren Salafiyah Kauman Pemalang bersama Himpunan Keluarga Alumni (HIKMAH) menyelenggarakan Halaqoh Alumni bertajuk “Ekoteologi dan Fiqh Al-Bi’ah: Merintis Kurikulum Hijau di Pesantren”. Acara berlangsung di komplek Pesantren Salafiyah Kauman, Pemalang, Jawa Tengah, Jumat (13/6/2025).
Hadir sejumlah narasumber, antara lain: Kasubdit Pendidikan Ma’had Aly Kemenag RI dan Ketua Umum HIKMAH Mahrus El Mawa, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Khamami Zada, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Pemalang Sarif Hidayat, dan Sudirman dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. Halaqoh dipandu oleh moderator Fathudin Kalimas, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Sekretaris Umum HIKMAH.
Halaqoh ini bertujuan memperkuat kesadaran kolektif alumni dan komunitas pesantren di kabupaten Pemalang dalam merespons krisis lingkungan global melalui pendekatan teologis dan hukum Islam (fiqh). Melalui ekoteologi dan fiqh al-bi’ah (fiqh lingkungan), pesantren didorong untuk tidak hanya menjadi pusat penguatan nilai-nilai keislaman, tetapi juga motor penggerak kesadaran ekologis berbasis ekoteologi dan fikih lingkungan.
Kepala Kemenag Kabupaten Pemalang, Sarif Hidayat, menegaskan pentingnya menjadikan agama lebih substantif dan tidak sekadar simbolik asesoris. Ia menyebut bahwa nilai-nilai ekoteologi sejatinya telah hidup dalam tradisi pesantren dan filsafat Jawa, namun belum terartikulasi secara luas. Karena itu, ia mendorong agar ekoteologi dimainstreamkan dalam sistem pendidikan pesantren melalui penguatan literasi lingkungan. Ia juga menyoroti isu sampah sebagai persoalan krusial di Pemalang dan mengajak pesantren terlibat aktif dalam gerakan ekologis. Kemenag Pemalang, menurutnya, siap berkolaborasi dalam mendorong transformasi ini.
Kasubdit Pendidikan Ma’had Aly Direktorat Pesantren Mahrus El Mawa, memaparkan bahwa ekoteologi merupakan salah satu dari delapan program strategis Kementerian Agama yang kini terus didorong penerapannya lintas sektor. Menurutnya, nilai-nilai ekoteologi sejatinya telah hidup dalam praktik pesantren, namun belum dimanifestasikan secara sistematis. Ia mencontohkan gerakan penanaman pohon oleh ASN dan berbagai praktik baik di pesantren-pesantren seperti di Rembang, Madura, dan Garut sebagai bentuk konkret komitmen keagamaan terhadap pelestarian lingkungan.
“Ekoteologi bukan sekadar program, tapi panggilan moral spiritual yang harus dimanifestasikan pesantren dalam gerakan nyata merawat bumi.” tegasnya
Khamami Zada menegaskan bahwa fiqh al-bi’ah bukan sekadar cabang fikih, tetapi sebuah paradigma etik dan spiritual tentang tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Isu lingkungan seperti tambang, deforestasi, dan krisis air telah lama dibahas oleh para ulama, bahkan menjadi bagian dari maqashid al-syari’ah melalui konsep hifdzul bi’ah dan himayatul bi’ah. Ia mendorong pesantren untuk tidak hanya mengajarkan fikih secara tekstual, tetapi juga menanamkan kesadaran ekologis dalam tata kelola harian—dari pengelolaan air, sampah, hingga energi—sebagai bentuk nyata menjaga keseimbangan alam. Fiqh lingkungan, menurutnya, dapat menjadi kontra-narasi terhadap eksploitasi global yang kerap merugikan negara-negara berkembang.
“Fiqh al-Bi’ah adalah bagian dari perluasan maqashid al-syari’ah, di mana penjagaan terhadap lingkungan hidup menjadi bagian dari penjagaan kehidupan itu sendiri. Pesantren harus menjadi episentrum perubahan, dari dalam paradigma keilmuan hingga praktik keseharian santri,” jelasnya.
Sudirman, dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dan Ketua IPKINDO Jawa Tengah, menyoroti pentingnya melibatkan pesantren dalam pengelolaan lingkungan, mengingat pesantren memiliki basis sosial dan moral yang kuat di akar rumput. Ia menyebutkan bahwa hutan sebagai sumber mata air kini terancam akibat konversi lahan yang tidak berkelanjutan. Pemerintah membuka ruang kolaborasi melalui skema pengelolaan lahan perhutani oleh masyarakat dan santri, dengan dukungan regulasi, anggaran, dan pendampingan. Pesantren didorong menjadi pusat pendidikan lingkungan melalui kurikulum hijau, kegiatan reboisasi, dan pengelolaan sampah, serta menjadikan santri sebagai agen perubahan dalam gerakan pelestarian alam.
“Kami mengundang pesantren untuk menjadi mitra aktif dalam program penanaman pohon, konservasi lahan, hingga pelatihan ekonomi sirkular berbasis komunitas,” paparnya.
Moderator halaqoh, Fathudin Kalimas (Sekretaris Umum HIKMAH dan dosen UIN Jakarta), menyampaikan bahwa forum ini menjadi bukti bahwa pesantren tidak hanya bisa menjaga tradisi keilmuan klasik, tetapi juga mampu menjadi pelopor gerakan transformasi sosial-ekologis di tengah tantangan zaman.
Kegiatan ini disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Hikmah Salafiyah dan akan dilanjutkan dengan tindak lanjut penyusunan modul kurikulum hijau serta program pendampingan untuk pesantren-pesantren lain yang ingin bertransformasi menuju model pesantren ramah lingkungan. (FK)