Sudirman A. Lamadike (Analis SDM Aparatur pada BMBPSDM Kementerian Agama)
Sejak berlakunya sistem penilaian kinerja berbasis e-Kinerja Badan Kepegawaian Negara (BKN) berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 6 Tahun 2022, seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) wajib dinilai kinerjanya secara sistematis dan terukur. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengukuran capaian kinerja Aparatur Sipil Negara. Namun, implementasinya menimbulkan berbagai konsekuensi, terutama terkait ekspektasi dan dampak penilaian terhadap hak serta kewajiban ASN.
Terdapat perbedaan mekanisme penilaian antarinstansi pemerintah. Beberapa instansi menerapkan penilaian tahunan, sementara lainnya, seperti Kementerian Agama, memberlakukan penilaian triwulanan. Perbedaan periodesasi penilian ini disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing instansi, namun tetap mengacu pada prinsip-prinsip dasar yang sama dalam Permenpan RB Nomor 6 Tahun 2022. Namun, di balik itu, muncul pertanyaan: apakah penilaian kinerja hanya sekadar formalitas administratif, atau benar-benar berdampak signifikan terhadap karir dan hak kepegawaian?
Salah satu konsekuensi penting dari penilaian kinerja adalah pengaruhnya terhadap pengembangan karir, khususnya bagi pejabat fungsional. Hasil penilaian dapat dikonversi menjadi angka kredit yang menjadi syarat kenaikan jabatan atau pangkat. Namun, apakah penilaian kinerja hanya dimaknai sebagai angka kredit semata? Tentu tidak, karena penilaian kinerja juga seharusnya mencerminkan kontribusi nyata ASN dalam mencapai tujuan organisasi.
Di Kementerian Agama, penilaian kinerja tidak hanya berdampak pada angka kredit, tetapi juga menjadi dasar pembayaran Tunjangan Kinerja (Tukin). Artinya, ASN yang dinilai memiliki kinerja tinggi berhak mendapatkan insentif finansial. Namun, fakta di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian antara ekspektasi dan realitas. Beberapa ASN yang dinilai “di atas ekspektasi” ternyata belum menerima pembayaran Tunjangan Kinerja sesuai ketentuan.
Hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2019, khususnya Pasal 16, yang menyatakan bahwa ASN dengan penilaian “di atas ekspektasi atau Sangat Baik ” berhak mendapatkan tambahan Tukin sebesar 50% dari selisih tunjangan yang diterima dan diberikan pada awal bulan tahun berikutnya. Jika ASN yang telah dinilai di atas Ekpektasi atau Sangat Baik pada tahun 2023 dan 2024 maka konseksinya harusnya dibayar tunjangan kinerja sesuai dengan regulasi dimaksud pada tahun 2025.
Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini maka diperlukan petunjuk teknis (juknis) yang jelas sebagai acuan bagi Pejabat Penilai Kinerja atau atasan langsung. Juknis ini harus memuat indikator yang terukur dan objektif dalam menentukan kategori penilaian, seperti “di bawah ekspektasi”, “memenuhi ekspektasi”, atau “di atas ekspektasi”. Tanpa pedoman atau juknis yang baku, penilaian kinerja bisa menjadi subjektif dan menimbulkan ketidakadilan.
Jika tidak ada juknis yang tegas, penilaian kinerja ASN berpotensi menjadi “bom waktu” yang memicu konflik antara pimpinan dan bawahan. Ketidakjelasan aturan dapat menimbulkan kesenjangan persepsi, di mana ASN merasa telah bekerja maksimal tetapi tidak diakui secara formal. Oleh karena itu, Badan Kepegawaian Negara atau Kementerian dan Lembaga perlu segera menyusun regulasi yang lebih rinci berupa Petunjuk Teknis sebagai turunan daari Permenpan RB Nomor 6 Tahun 2022 agar penilaian kinerja benar-benar berdampak positif bagi pengembangan SDM Aparatur Sipil Negara dan kinerja instansi.
Sudirman A. Lamadike (Analis SDM Aparatur pada BMBPSDM Kementerian Agama)