Konflik geopolitik antara Iran dan Israel telah memberikan dampak yang sangat luas terhadap sektor teknologi global. Ketegangan ini tak hanya mempengaruhi hubungan diplomatik dan keamanan regional, tetapi juga merembet ke ranah industri teknologi informasi, manufaktur elektronik, dan ekosistem digital secara keseluruhan.
Seiring meningkatnya eskalasi di kawasan Timur Tengah, berbagai aspek industri teknologi mengalami gangguan signifikan yang memicu perubahan strategi, biaya produksi, hingga stabilitas investasi global.
Dikutip dari berbagai sumber, salah satu efek paling nyata dari konflik ini adalah terganggunya rantai pasok komponen elektronik dan perangkat keras teknologi. Jalur logistik utama yang biasa dilalui bahan mentah, seperti semikonduktor, chip, dan komponen elektronika penting lainnya, mengalami penyumbatan karena ketidakstabilan wilayah Selat Hormuz, salah satu jalur perdagangan energi dan barang paling strategis di dunia.
Sejumlah industri teknologi besar, termasuk otomotif dan produsen perangkat pintar, melaporkan peningkatan waktu tunggu produksi hingga 26 minggu, serta lonjakan biaya pengiriman internasional sebesar 150–200 persen akibat pengalihan rute kapal dagang melalui jalur yang lebih panjang dan aman.
Tak hanya pada logistik, fluktuasi harga energi juga menjadi tantangan baru. Ketergantungan global terhadap pasokan minyak dari Timur Tengah menyebabkan naiknya harga minyak Brent hingga menembus angka $92 per barel.
Imbasnya terasa langsung pada meningkatnya biaya operasional industri teknologi, mulai dari pusat data berdaya tinggi hingga pabrik semikonduktor yang konsumsi energinya sangat tinggi. Efisiensi operasional dan margin keuntungan pun tertekan, memaksa perusahaan melakukan efisiensi atau menaikkan harga produk.
Dalam hal keamanan digital, konflik ini turut memperbesar risiko serangan siber antarnegara. Baik Iran maupun Israel diketahui memiliki unit siber dengan kemampuan ofensif dan defensif yang kuat, menjadikan infrastruktur teknologi seperti jaringan komunikasi, server pemerintahan, dan platform layanan digital sebagai target potensial.
Lonjakan ancaman ini mendorong negara-negara lain untuk memperkuat ketahanan siber nasional mereka, sekaligus mempercepat adopsi protokol keamanan tingkat tinggi di sektor publik dan swasta.
Menariknya, di balik ketegangan ini, sektor teknologi juga mengalami pendorong inovasi signifikan, khususnya di bidang pertahanan dan otomasi. Israel, misalnya, mempercepat pengembangan kecerdasan buatan dan sistem manufaktur presisi yang sebelumnya hanya digunakan di sektor militer. Teknologi ini kemudian dialihkan ke ranah sipil, membuka peluang penerapan di industri robotika, kendaraan otonom, dan manufaktur cerdas.
Namun, ketidakpastian global yang diakibatkan oleh konflik ini juga menahan laju pertumbuhan ekonomi digital. Banyak investor dan perusahaan teknologi besar menunda ekspansi ke kawasan terdampak, baik karena risiko geopolitik maupun karena ketergantungan pasokan.
Dampaknya paling terasa di negara berkembang yang tengah membangun ekosistem digital, di mana keterlambatan pengadaan perangkat atau jaringan dapat menghambat penetrasi teknologi secara merata.
Dalam jangka panjang, ketegangan antara Iran dan Israel tidak hanya menjadi tantangan keamanan, tetapi juga ujian terhadap daya tahan, fleksibilitas, dan kemandirian ekosistem teknologi global.
Dunia kini dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk mencari alternatif rantai pasok, memperkuat keamanan digital, dan berinvestasi pada inovasi teknologi yang resilien terhadap dinamika geopolitik.