Dalam momentum peringatan Hari Anak Nasional 2025, perhatian publik kembali tertuju pada isu krusial yang kian mendesak: perlindungan anak di era digital.
Di tengah pesatnya akses teknologi dan pertumbuhan platform daring, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, tampil di hadapan ratusan siswa Sekolah Rakyat Sentra Handayani, Jakarta Timur, untuk menggaungkan pentingnya membangun ruang digital yang sehat dan aman bagi anak-anak Indonesia.
Meutya menekankan bahwa tidak semua platform digital layak diakses bebas oleh anak. Dalam banyak kasus, konten yang tersebar di internet, khususnya media sosial, membawa risiko serius terhadap keselamatan dan kesehatan psikologis mereka. Mulai dari paparan pornografi, kekerasan verbal, hingga potensi perundungan daring yang kian marak, semuanya menjadi ancaman nyata yang harus ditangani secara sistematis.
Karena itulah, pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak yang dikenal sebagai PP Tunas. Seperti diketahui, PP Tunas hadir sebagai landasan hukum yang dirancang untuk mengatur klasifikasi platform digital berdasarkan tingkat risiko dan jenjang usia pengguna.
Meutya menjelaskan bahwa platform digital tidak bisa disamaratakan. Ada yang tergolong rendah risiko, seperti situs edukasi, dan ada pula yang berisiko tinggi, terutama yang memuat konten agresif atau sensitif. Maka, untuk memastikan keamanan anak-anak, klasifikasi risiko pun dibagi ke dalam tiga kategori: rendah, sedang, dan tinggi dengan batas akses sesuai usia yang ketat.
Regulasi ini menetapkan bahwa anak-anak di bawah usia 13 tahun hanya diperbolehkan mengakses platform yang sepenuhnya aman dan edukatif. Untuk kelompok usia 13–15 tahun, akses dibatasi pada platform yang memiliki risiko rendah hingga sedang.
Sementara itu, anak-anak berusia 16–17 tahun dapat menjelajahi platform berisiko tinggi dengan syarat adanya pendampingan orang tua. Hanya mereka yang telah berusia 18 tahun ke atas yang diberikan akses penuh secara mandiri ke semua jenis platform digital.
“Platform dengan risiko tinggi hanya boleh diakses oleh anak-anak berusia 16 tahun ke atas, dan itu pun harus dengan pendampingan orang tua,” ujarnya.
Kehadiran PP Tunas diharapkan menjadi tonggak awal dalam menciptakan ekosistem digital yang lebih beretika dan berdaya guna bagi anak-anak. Selain mencegah paparan konten negatif, regulasi ini juga bertujuan mengurangi ketergantungan digital atau adiksi layar yang makin banyak ditemui pada anak-anak di masa kini.
Namun Meutya mengingatkan bahwa perlindungan anak di ruang digital bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat mulai dari orang tua, guru, komunitas hingga anak-anak itu sendiri.
Meutya mengajak anak-anak Indonesia untuk berani bicara ketika menghadapi hal-hal mencurigakan di dunia maya. Mereka tidak boleh diam jika menjadi korban perundungan, penipuan daring, atau ajakan bertemu dari orang asing yang mencurigakan.
Menurutnya, pelaporan kepada orang tua, guru, atau pihak berwenang adalah langkah yang harus ditempuh agar perlindungan anak dapat berjalan optimal. Negara, tegas Meutya, selalu hadir untuk mendampingi dan menjaga generasi muda dari dampak buruk era digital.
“Kalau jadi korban perundungan, penipuan, atau dapat ajakan bertemu oleh orang asing, anak-anak jangan diam. Laporkan ke orang tua, guru, atau pihak berwenang. Negara hadir untuk melindungi kalian,” tegasnya
Di tengah derasnya arus teknologi, PP Tunas hadir sebagai penyaring sekaligus pelindung yang membentuk masa depan digital anak-anak Indonesia agar tidak hanya canggih, tetapi juga aman, sehat, dan penuh nilai.
Ketika ruang digital menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari anak, peran seluruh pihak sangatlah penting agar teknologi bisa dimanfaatkan untuk membangun karakter, pengetahuan, dan masa depan yang lebih cerah.