Oman Fathurahman (Ketua Mustasyar Diniy PPIH Arab Saudi 2025, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok dan Pengampu Ngaji Manuskrip Nusantara)
Dulu, pada 1924, seorang jemaah haji “urang” Sunda berkeluh kesah karena merasa dirugikan oleh oknum pedagang di Mekkah yang ia anggap mengurangi uang kembalian saat belanja.
Ia sudah berusaha meminta uang kembalian yang seharusnya. Namun, apa daya ia hanya bisa berbahasa Sunda, dan tentu saja pedagang itu tidak memahaminya.
Begini katanya:
“Tuan Syekh, kuring teh kawas digerejud ku anjeun, moal enya mulangan ngan sakieu; tapi da kumaha atuh, anjeun teh teu ngarti ka basa kuring, kuring teh teu nyaho bahasa Arab; masih henteu dipulangan oge da kumaha atuh bubuhan lain urang dieu!”.
“Tuang syekh, saya merasa tertipu oleh Tuan, mustahil sebegini saja kembalinya; tetapi apa yang hendak saya kata, Tuan tidak mengerti bahasa saya, saya tidak tahu bahasa Arab; walaupun tiada akan dikembalikan, apa boleh buat, saya bukan orang di sini!”
Kisah ini diceritakan oleh R.A.A. Wiranatakusuma (1888-1965), seorang Bupati Bandung yang naik haji pada 1924 (Henri Chambert-loir [ed.], Naik Haji di Masa Silam, jilid II, 2019: 598).
Umumnya, jemaah haji Indonesia memang tidak berbahasa Arab, apalagi kalau bahasa Arab harian (‘amiyah). Ini terkadang dimanfaatkan oleh oknum yang bekerja di Mekkah, untuk mengambil keuntungan.
Lho, koq bisa ada orang yang begitu di Arab? Bukankah Mekkah adalah tempat suci yang dilindungi Allah kemuliaan dan keamanannya?
Mungkin justru inilah cara Allah membimbing dan mengingatkan hamba-hamba-Nya bahwa potensi keburukan itu selalu ada pada diri setiap manusia.
Kata Imam al-Ghazali, dalam diri manusia ada potensi al-syahwat (keinginan, ambisi) dan al-ghadhab (amarah) yang tidak bisa hilang. Potensi itu bisa membawa pada perilaku baik, bisa juga buruk. Kalau ada peluang, dorongan untuk berbuat buruk sering tidak terbendung.
Ketidakmampuan jemaah haji urang Sunda untuk berkomunikasi dalam bahasa Arab boleh jadi dianggap peluang oleh pedagang yang nakal di atas. Apalagi jemaah haji Indonesia dikenal polos, nurut, dan ramah.
Hal ini juga berlaku untuk konteks sekarang.
Kisah oknum supir Bus Shalawat di Mekkah yang memungut uang pungli dari jemaah haji Indonesia masih terdengar. Peluang bagi oknum supir nakal lebih besar ketika mayoritas jemaah haji penumpang busnya perempuan, atau lansia, dan tidak ada pendamping yang berbahasa Arab.
Syukurlah Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Kementerian Agama selalu menyediakan pembimbing ibadah, selain pembimbing ibadah dari unsur lainnya. Bimbingan ibadah dilakukan nyaris setiap waktu, setiap hari di hotel tempat tinggal masing-masing Jemaah.
Edukasi bagi jemaah haji menjadi prioritas. Bimbingan ibadah yang diberikan tidak sekadar teori dan fikih manasik haji secara normatif, melainkan dihubungkan dengan pengalaman harian jemaah haji di lapangan.
Semoga apa yang diceritakan Bupati R.A.A. Wiranatakusuma tidak terulang.
Hak jemaah untuk mendapatkan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan agar Jemaah merasa aman, nyaman, dan mabrur sepanjang umur.
اللهم اجعله حجا مبرورا وسعيا مشكورا وذنبا مغفورا وعملا مقبولا وتجارة لن تبور يا عزيز يا غفار
Oman Fathurahman (Ketua Mustasyar Diniy PPIH Arab Saudi 2025, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok dan Pengampu Ngaji Manuskrip Nusantara)