Direktur GTK Madrasah Thobib Al Asyhar
Ia duduk sendiri di atas kursi roda, jemarinya sibuk memainkan ponsel. Namanya Hadi Santoso, jemaah haji difabel asal Bekasi, Jawa Barat. Namanya tercetak jelas di stiker kursi roda yang ia duduki.
Saya mendekatinya. “Assalamualaikum, Bapak.”
“Waalaikumussalam,” jawabnya ramah.
“Bapak dari mana?”
“Saya jemaah dari Jakarta,” jawabnya singkat namun hangat.
“Boleh saya ngobrol sebentar?”
“Silakan,” sahutnya antusias.
Saya pun duduk di sofa hotel yang terletak di Sektor 1, tak jauh dari tempatnya. Terlihat wajahnya berseri, barangkali karena senang ada teman ngobrol di tengah kesendiriannya.
Obrolan kami dimulai dengan pertanyaan sederhana: “Bapak ke sini bersama siapa? Istri, anak, atau saudara?”
Wajah Pak Hadi seketika berubah. Nada suaranya melambat. “Saya sendiri, Pak,” jawabnya pelan.
“Lalu, siapa yang mendampingi Bapak selama ibadah haji?”
“Dari KBIH Bank Rakyat Indonesia (BRI), Jakarta Pusat. Mereka mendampingi saya sejak dari Tanah Air. KBIH ini satu dari sedikit yang bersedia menerima jemaah difabel seperti saya.”
“Tidak semua KBIH bersedia, Pak. Istri saya tidak ikut karena kendala biaya. Alhamdulillah, KBIH BRI mau menerima dan menyiapkan pendamping untuk saya,” lanjutnya.
Jemaah berusia 55 tahun ini bercerita bahwa dirinya sudah enam tahun mengalami kelumpuhan akibat stroke yang disebabkan tekanan darah tinggi. Sejak saat itu, ia tak bisa berjalan.
Ketika saya tanya bagaimana perasaannya saat akhirnya mendapat panggilan haji tahun ini, air matanya langsung mengalir deras.
“Saya sangat bahagia. Ini panggilan yang sudah saya tunggu selama 12 tahun. Tapi sekaligus sedih karena kondisi saya seperti ini. Tidak bisa jalan. Tapi begitu pertama kali melihat Ka’bah… rasanya luar biasa. Sangat bahagia,” ucapnya sambil terisak.
Ia mengaku telah lama bercita-cita menunaikan ibadah haji untuk menyempurnakan rukun Islam. Sejak muda, ia sudah sangat merindukan tanah suci. Namun, takdir berkata lain. Justru saat panggilan itu datang, tubuhnya sudah lemah. Padahal, saat mendaftar pada 2013, ia masih sehat dan bugar.
“Ini benar-benar ujian besar untuk saya. Tapi saya mencoba kuat, bertahan, dan menerima keadaan. Banyak orang sehat belum tentu berkesempatan ke sini. Saya bersyukur meski dalam kondisi seperti ini, Allah tetap memanggil saya,” tuturnya.
Meski terbatas, ia tetap berusaha menerima dan memahami situasi. Ia sadar, tidak semua orang di sekitarnya mampu memberikan pelayanan penuh untuk kebutuhannya sebagai difabel. Maka, sikap lapang dada menjadi kunci.
Saat saya tanya, apa harapan terbesarnya setelah berhaji nanti, ia menjawab dengan suara lembut, “Saya ingin jadi pribadi yang lebih baik, yang mau bersyukur atas segala nikmat Allah, sekecil apapun. Dan satu harapan besar saya, semoga Allah memberi kesembuhan. Saya ingin bisa berjalan kembali seperti dulu, dan bisa mengulang haji lagi.” tandasnya.
Selama di Tanah Suci, baik di Madinah maupun Makkah, ia merasa pelayanan dari panitia haji cukup baik. Namun, ada harapan yang ingin ia sampaikan, terutama tentang fasilitas yang ramah untuk difabel.
“Saya berharap pemerintah memperhatikan fasilitas hotel dan transportasi. Misalnya, kamar mandi hotel kadang ada tanggul semen yang menyulitkan saya masuk. Bis Shalawat juga sebaiknya dirancang agar difabel lebih mudah naik-turun,” sarannya.
Meski begitu, Pak Hadi tetap bersyukur atas pelayanan yang ia terima. Tidak ada kendala berarti. Akomodasi cukup nyaman, bersih, dan terorganisir dengan baik. Ia pun senang karena satu rombongan KBIH tempatnya bernaung bisa tinggal dalam satu hotel. Wallahu a’lam. []