Hari-hari terakhir ini, potongan video berisi pernyataan Menteri Agama bahwa menjadi guru bukanlah tempat mencari uang menimbulkan berbagai reaksi di sebagian masyarakat. Pernyataan tersebut viral di berbagai platform media dan mendapat respons publik. Ada yang bernada membela pernyataan Menteri Agama, namun tidak sedikit yang bernada terkesan negatif.
Karena pernyataan tersebut dilihat dalam potongan video dan parsial, tafsirnya bisa menjadi beragam. Seolah-olah Menteri Agama mengatakan guru tidak membutuhkan uang. Tafsir ini jamak dilihat dalam komentar netizen di media sosial atau komentar di pemberitaan tentang permintaan maaf Menteri Agama.
Sejatinya, dalam konteks keseluruhan pidato, Menteri Agama ingin menegaskan tugas mulia seorang guru dan dalam konteks nilai keagamaan, pernyataan tersebut tidak salah. Pernyataan tersebut lebih merupakan ungkapan ketulusan dan kerendahan hati seorang yang pernah menjadi guru.
Menteri Agama, Nasaruddin Umar dengan tulus sudah meminta maaf dan mengklarifikasi pernyataannya dalam potongan video yang menimbulkan tafsir berbeda mengenai profesi guru.
Profesi guru bukanlah profesi mencari uang seperti sebagian pedagang yang mencari uang untuk menjadi kaya. Guru profesional pantas diberikan upah dan tunjangan sesuai dengan anggaran dan kemampuan negara. Ia tidak mungkin menjadi kaya dalam konteks seperti sebagian pedagang yang berhasil menjadi kaya.
Menurut ajaran agama kristiani, siapa pun yang bekerja pantas mendapatkan upah atau uang karena hasil pekerjaannya, termasuk seorang guru, rohaniwan-rohaniwati dan ASN. Jadi pernyataan Menteri Agama tidak ada yang salah, sebaliknya ia mau mengungkapkan betapa luhur dan mulianya tugas guru.
Misalnya, dalam ajaran iman Katolik manusia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan masa depannya. Rasul Paulus berkata kepada umat di Tesalonika“… Jika seorang mau bekerja, pantaslah ia makan (bdk. 2 Tes. 3:10). Sejak awal waktu, Tuhan telah menentukan bahwa manusia harus bekerja untuk makanan mereka (Kej. 2:15; Kej. 2:16).
Pernyataan ini menegaskan pekerjaan atau profesi seperti guru, penyuluh, ASN dan lain sebagainya wajar dan mendapatkan honorarium sesuai ketentuan yang berlaku. Namun menjadi tidak wajar jika mereka mencari uang untuk memperkaya diri seperti para koruptor.
Sekali lagi, menurut hemat penulis, pernyataan Menteri Agama tersebut lebih merupakan ungkapan tulus untuk menegaskan betapa mulia dan luhurnya tugas seorang guru. Guru adalah ujung terdepan dan ujung tombak dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai konsitusi. Merekalah yang menciptakan pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh penting di tengah masyarakat.
Pengalaman sebelumnya
Kisah tentang ketulusan Menteri Agama pernah mencuat di media sosial TikTok. Saat itu Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar, menghadapi aksi demo atas tuduhan dan fitnah dugaan pelecehan.
Alih-alih bereaksi emosional, beliau merespons dengan tenang, menegaskan bahwa ia telah memaafkan semuanya. Sikap ini adalah cerminan dari ketulusan yang luar biasa.
Dalam sebuah video di akun TikTok @kita.nu.nasaruddin, dua orang perwakilan aksi terlihat meminta maaf atas tindakan mereka. Koordinator demo, Syaril, mengakui kesalahan telah terlalu cepat bereaksi terhadap isu yang belum terverifikasi, yang akhirnya memberikan dampak buruk kepada Prof. Nasaruddin Umar dan instansinya. Menteri Agama dengan penuh ketulusan menerima permohonan maaf tersebut, menyadari bahwa sebagai hamba Allah, ia tidak luput dari fitnah.
Kemurnian Niat dan Tanggung Jawab
Ketulusan adalah kemurnian niat dan kejujuran dalam perasaan, tindakan, atau ucapan tanpa motif tersembunyi. Ketulusan terkait erat dengan integritas pribadi sebagai hasil transformasi diri yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama dan budaya. Sikap ini sangat terlihat dalam tindakan Prof. Nasaruddin Umar yang memaafkan tanpa dendam.
Menurut filsuf Emmanuel Levinas, ketulusan bukan hanya soal kejujuran, melainkan juga keterbukaan dan tanggung jawab terhadap keberadaan orang lain (Simbolon, Pormadi, 2024: 69-70). Keterbukaan ini nyata dalam upaya beliau menjadikan Masjid Istiqlal sebagai tempat dialog antarumat beragama dan sebagai rumah kemanusiaan.
Sebagai contoh, Menteri Agama berupaya menyejahterakan guru Non ASN dengan menaikkan tunjangan profesi yang semula 1,5 juta menjadi 2 juta. Ia sangat membantu meningkatkan kesejateraan para guru.
Sebagai contoh lain, pada pertemuan Interreligious Meeting di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (5/9/2024), Prof. Nasaruddin Umar dengan tulus bersalaman dan mencium kening Paus Fransiskus, sebuah gestur penuh keikhlasan dan persaudaraan lintas agama.
Sebagai hasil ketulusan yang mendalam, Prof. Nasaruddin Umar bersama Paus Fransiskus menggagas Deklarasi Istiqlal, sebuah seruan untuk membangun kerukunan umat beragama demi kemanusiaan, termasuk melalui upaya melawan dehumanisasi dan mengatasi krisis iklim dunia.
Perjalanan yang Panjang
Ketulusan bukanlah sesuatu yang instan atau tercipta dalam waktu singkat. Ketulusan adalah buah dari cara hidup beragama, melampaui egoisme dan membangun keselamatan bagi sesama manusia.
Dalam tindakan beliau, Prof. Nasaruddin Umar sering menegaskan prinsip-prinsip anti-korupsi sebagaimana tercermin dalam Al-Qur’an dan keteladanan Nabi Muhammad SAW. Misalnya, ketika Nabi menegur putrinya, Fatimah, atas penerimaan kalung dari harta rampasan perang, beliau dengan tegas meminta agar kalung tersebut dikembalikan.
Prof. Nasaruddin Umar juga selalu menekankan integritas kepada jajarannya ASN di Kementerian Agama, menegaskan bahwa promosi jabatan harus bebas dari suap. Sikap ini adalah cerminan ketulusan yang tidak hanya melampaui kepentingan pribadi, tetapi juga mengupayakan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.
Dalam realitas, ketulusan seringkali menghadapi tantangan berat. Fitnah dan hoaks kerap menjadi senjata bagi mereka yang sudah berpandangan negatif, atau tidak suka atau iri hati terhadap orang tulus.
Hal ini terjadi pula kepada Prof. Nasaruddin Umar, yang menghadapi tuduhan cabul atau tafsir negatif atas pernyataannya tentang profesi guru . Ia meminta maaf dan mengklarifikasi pernyataannya.
Paus Fransiskus juga menjadi contoh lain ketulusan dalam kepemimpinan. Meskipun dituduh menyebarkan ajaran sesat oleh kelompok konservatif, beliau tetap merangkul umat dari berbagai latar belakang dan budaya dengan kasih tanpa syarat. Tindakan beliau menunjukkan bahwa ketulusan adalah jalan yang penuh tantangan, tetapi memberikan dampak positif bagi umat manusia.
Ketulusan adalah nilai yang mahal, sering teruji dengan berbagai cobaan, tetapi pada akhirnya membawa manfaat besar bagi kemanusiaan. Semoga kita semua dapat menjadikan ketulusan sebagai prinsip dalam hidup kita.
Pormadi Simbolon, ASN Bimas Katolik Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten