Ketahanan keluarga di ibukota Jakarta dapat dijadikan salah satu barometer dalam melihat perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Jakarta merupakan pusat politik dan perekonomian nasional. Saat ini diperkirakan peredaran uang terbesar 70 persen di negara kita berada di Jakarta sebagai titik sentral. Maka wajar apabila Jakarta dari dulu menjadi magnet bagi banyak orang dari seluruh Indonesia.
Pola kehidupan Jakarta dengan segala dinamikanya, termasuk dinamika sosial keagamaan, menjadi potret awal perubahan serupa di kota-kota lainnya. Menurut para ahli, perubahan gaya hidup dan pergeseran nilai-nilai kekeluargaan seringkali dimulai dari kota besar lalu merambah ke pedesaan.
Pertambahan penduduk dan urbanisasi menjadi tantangan bagi pembangunan kesejahteraan sosial. Jumlah penduduk DKI Jakarta menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2025 mencapai 10,68 juta jiwa. Jakarta di masa depan diproyeksikan menjadi Kota Global dan Berbudaya.
Para cendekiawan hingga budayawan mengingatkan bahwa menuju kota global dan berbudaya bukan sekadar asyik membangun infrastruktur fisik dan teknologi. Dalam hubungan ini tak bisa dipungkiri kebutuhan warga kota untuk hidup harmonis dengan nilai-nilai budaya, kerukunan dan cinta kemanusiaan, spiritualitas agama dan solidaritas sosial yang harus tetap terjaga.
Masalah sosial di kota-kota besar, seperti tingginya tingkat stress, depresi, kasus bunuh diri dan kriminalitas, sebagian terjadi akibat hilangnya kebahagiaan dan kehangatan dalam keluarga. Pembangunan kota perlu dikelola dengan konsep “cinta kemanusiaan” dan diiringi dengan program prorakyat yang mensejahterakan warga. Pembangunan kota global dan berbudaya tidak boleh membuat kota kehilangan wajah manusiawinya. Kota dipandang tidak manusiawi jika kehilangan rasa yang menghubungkan antarwarga dan tidak tersedianya ruang-ruang sosial. Suatu kota akan kehilangan wajah manusiawi ketika anak-anak dari keluarga broken home semakin banyak.
Sewaktu Jakarta berkembang menjadi kota metropolitan sejak era tujuh puluhan, seorang pejuang kesejahteraan sosial dan pelopor badan penasihatan perkawinan H.S.M. Nasaruddin Latif mengingatkan bahwa kehidupan keluarga tidak boleh diabaikan dalam masyarakat. “Ada ahli sosiologi berpendapat lambat laun lembaga pernikahan akan hilang dari masyarakat, tetapi sebagai muslim kita yakin selama di Indonesia masih ada keimanan kepada Tuhan dan agama, lembaga pernikahan akan tetap ada dalam masyarakat Indonesia sampai akhir zaman,” ungkap tokoh Islam yang juga salah satu pendiri Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) itu.
Beberapa hari lalu (Kamis 7/8/2025) saya mewakili Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) menghadiri Pengukuhan Pengurus BP4 DKI Jakarta masa bakti tahun 2025 – 2030 di auditorium Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta. Pengukuhan dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta dalam hal ini diwakili oleh Kepala Biro Pendidikan dan Mental Spiritual Fajar Eko Satriyo, S.STP., MA. dan sambutan Kakanwil Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta Dr. H. Adib, M.Ag. Kepengurusan BP4 DKI Jakarta yang dikukuhkan diketuai oleh Drs. H. Nur Pawaiduddin, M.Pd.
Dalam kesempatan itu saya memperoleh informasi angka perceraian di DKI Jakarta tahun 2024 cukup tinggi. Menurut data dari 40.000 jumlah pernikahan per tahun terjadi perceraian sekitar 12.000 di tahun yang sama atau sekitar 30 persen dari jumlah pernikahan. Fenomena turunnya angka pernikahan dan meningkatnya kasus perceraian tidak hanya ditemukan di Jakarta dan sekitarnya, juga di berbagai daerah lain. Turunnya angka pernikahan dilatarbelakangi dua faktor yaitu: Pertama, penuaan usia nikah atau kengganan menikah. Kedua, pernikahan yang tidak tercatat di KUA atau nikah siri jumlahnya diperkirakan masih cukup banyak.
Peran BP4 sebagai organisasi mitra Kementerian Agama yang bertujuan mempertinggi mutu perkawinan guna mewujudkan keluarga sakinah menurut ajaran Islam diharapkan semakin dirasakan di tengah masyarakat.
Dalam Anggaran Dasar BP4 tahun 2024 digariskan upaya yang dilakukan BP4 secara kelembagaan meliputi:
Pertama, meningkatkan kualitas perkawinan dan kehidupan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah;
Kedua, menurunkan angka perceraian dengan meningkatkan pelayanan terhadap keluarga yang bermasalah melalui kegiatan konseling, mediasi dan advokasi;
Ketiga, menguatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia BP4 dalam rangka mengoptimalkan program dan pencapaian tujuan;
Keempat, memberikan penyuluhan tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keluarga; dan
Kelima, mengembangkan jaringan kemitraan dengan instansi/lembaga yang memiliki misi dan tujuan yang sama.
Penguatan ekosistem ketahanan keluarga di tengah perubahan sosial menjadi suatu keniscayaan dengan peran BP4. Dewasa ini desakralisasi institusi pernikahan sedang melanda sebagian masyarakat Indonesia dan dunia. Gejala keterasingan jiwa di tengah keramaian makin banyak ditemukan dengan akibat yang mengerikan. Peningkatan angka perceraian dan broken home, kekerasan dalam rumah tangga, kasus-kasus penyimpangan perilaku seperti LGBT, peredaran dan pemakaian narkoba, dan sebagainya, memerlukan penanganan yang efektif dan terpadu.
Dalam hubungan ini BP4 Pusat dan BP4 DKI Jakarta layak menjadi percontohan bagi daerah lain di seluruh Indonesia. Bukankah cikal bakal BP4 lahir di Kotapraja Jakarta Raya. Pada tahun 1954 dan 1956 BP4 dirintis di Jakarta dan dideklarasikan menjadi badan penasihatan perkawinan berskala nasional mulai 3 Januari 1960. BP4 tingkat provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia saatnya bangkit dan bergerak dalam arah yang sama.
Pemberdayaan kelembagaan BP4 dan modifikasi program layanan penasihatan perkawinan dan konseling keluarga terus dilakukan agar menjangkau segmen masyarakat perkotaan dengan segala kesibukannya. BP4 DKI Jakarta misalnya, selain menyediakan layanan konseling secara konvensional dan tatap muka, meluncurkan layanan konseling keluarga secara daring atau online melalui aplikasi dengan privasi yang terjaga. Ketahanan keluarga sangat penting dalam masyarakat karena di situlah setiap manusia dilahirkan dan mengalami masa pertumbuhan fisik, kecerdasan dan menemukan kematangan mental-spiritual.
Menteri Agama Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, MA yang juga Ketua Umum BP4 Pusat menyatakan, seperti saya kutip dalam sambutan pada acara Pengukuhan Pengurus BP4 DKI Jakarta bahwa tidak mungkin ada negara ideal yang tersusun di atas masyarakat yang tidak harmonis, dan tidak mungkin pula ada masyarakat ideal yang tersusun di atas rumah tangga yang tidak harmonis. Kalau ingin memperbaiki negara, perbaiki masyarakatnya dan kalau ingin memperbaiki masyarakat, maka perbaiki rumah tangganya.
Kementerian Agama dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam sebagai lembaga vertikal sejauh ini telah menghadirkan program-program yang berdampak pada ketahanan keluarga. Salah satunya bimbingan perkawinan pranikah di setiap KUA. Program dimaksud bertujuan untuk membekali calon pengantin dalam membina rumah tangga sakinah dan mengurangi risiko perselisihan serta perceraian. Program-program strategis yang berdampak pada ketahanan keluarga pada kementerian/lembaga di pusat dan di daerah serta program BP4 dan ormas-ormas Islam yang lainnya perlu diperluas.
Pandangan keagamaan menekankan pentingya membina keluarga bahagia dan sejahtera berlandaskan ajaran agama sebagai masalah hulu dalam pembangunan sumber daya manusia. Dalam kaitan itu edukasi halal juga penting diperhatikan dalam keluarga. Setiap keluarga harus peduli dengan kehalalan makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari. Suatu zat dan bahan olahan nonhalal yang diserap tubuh atau proses memperolehnya tidak halal, disadari atau tidak, akan mempengaruhi kesehatan dan kejiwaan dalam meraih ketenangan dan keberkahan hidup. Wallahu a’lam bissshawab.
M. Fuad Nasar (Direktur Jaminan Produk Halal Kementerian Agama RI)