Selama satu dekade terakhir, sekolah dan pemerintah telah berupaya mengatasi permasalahan yang timbul akibat akses yang tidak terkontrol terhadap ponsel bagi para siswa.
Di balik era digital yang semakin maju, muncul kekhawatiran bahwa penggunaan ponsel selama jam pelajaran dapat mengganggu konsentrasi, mengurangi kualitas interaksi sosial, dan menimbulkan dampak negatif pada kesehatan mental.
Prancis, sebagai salah satu negara pionir dalam regulasi penggunaan teknologi di lingkungan pendidikan, telah mengambil langkah lebih jauh dengan menerapkan kebijakan “jeda digital”.
Pemerintah Prancis kini mewajibkan siswa untuk meninggalkan ponsel mereka di loker atau kantong selama pelajaran berlangsung, suatu kebijakan yang diumumkan oleh Menteri Pendidikan sekaligus mantan Perdana Menteri Élisabeth Borne.
Dikutip dari Engadget, Jumat (11/4/2025), peraturan baru ini, yang mulai berlaku di sekolah menengah pada bulan September mendatang, dirancang untuk mengurangi dampak negatif penggunaan layar dan mendukung kesejahteraan serta keberhasilan akademik siswa.
Kebijakan ini tidak diterapkan secara sepihak. Sebelum pengumuman resmi, dilakukan uji coba yang melibatkan 180 sekolah menengah dengan partisipasi lebih dari 50.000 siswa dalam program percontohan “jeda digital”.
Selama enam bulan, para siswa mengikuti program dengan meletakkan ponsel mereka di loker atau kantong yang tidak terkunci sesudah selesai mengikuti pelajaran.
Hasil uji coba menunjukkan peningkatan signifikan dalam suasana kelas dan konsentrasi belajar, meskipun sekolah harus mengeluarkan biaya hingga beberapa ribu euro untuk penyediaan fasilitas penyimpanan.
Hasil positif dari uji coba inilah yang kemudian mendorong pemerintah Prancis untuk mengimplementasikan kebijakan ini secara lebih luas.
Seiring dengan penerapan kebijakan di tingkat nasional, laporan tahun 2024 yang diamanatkan oleh Presiden Emmanuel Macron mengeluarkan sejumlah rekomendasi penting guna mengatur penggunaan gadget di kalangan anak-anak.
Dalam laporan tersebut disarankan agar anak-anak di bawah usia 13 tahun tidak diperbolehkan menggunakan telepon pintar dan akses ke media sosial “konvensional” dibatasi hingga usia 18 tahun.
Rekomendasi ini pula mengatur durasi waktu menonton layar yang disesuaikan dengan usia, berdasarkan analisis mendalam oleh para ahli saraf dan psikiater yang menangani kecanduan digital.
Langkah ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menjaga agar teknologi tidak mengganggu proses belajar dan perkembangan mental peserta didik.
Pendekatan yang diterapkan di Prancis telah menarik perhatian internasional. Negara-negara lain mulai mempertimbangkan kebijakan serupa untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif.
Pada tahun 2024, pemerintah Inggris merilis panduan pelarangan penggunaan ponsel di sekolah yang mengedepankan interaksi langsung antara guru dan siswa.
Di Amerika Serikat, gubernur di beberapa negara bagian seperti New York dan California juga mendukung inisiatif pembatasan penggunaan gadget di lingkungan pendidikan untuk meningkatkan konsentrasi dan efektivitas belajar di kelas.
Kebijakan ini menunjukkan tren global untuk menyeimbangkan antara pemanfaatan teknologi dan kebutuhan pendidikan yang optimal. Dampak positif dari kebijakan “jeda digital” tidak hanya terlihat pada peningkatan konsentrasi siswa, tetapi juga pada perbaikan kualitas interaksi sosial antar siswa dan guru.
Dengan berkurangnya gangguan dari penggunaan ponsel, siswa memiliki peluang lebih besar untuk terlibat dalam diskusi kelas dan kegiatan belajar kolaboratif yang mendidik.
Mengurangi ketergantungan pada teknologi selama jam pelajaran juga diyakini berperan dalam mengurangi risiko gangguan kesehatan mental, seperti stres dan kecemasan yang sering dikaitkan dengan penggunaan layar secara berlebihan.
Tantangan implementasi kebijakan ini tentu tidak lepas dari berbagai kendala. Biaya penyediaan fasilitas penyimpanan ponsel yang memadai serta adaptasi dari siswa dan orang tua menjadi faktor penting yang harus dikelola dengan cermat.
Komunikasi yang efektif antara pemerintah, sekolah, dan keluarga menjadi kunci agar kebijakan dapat diterima dan dijalankan dengan baik. Pendekatan komprehensif ini diharapkan mampu menciptakan sinergi positif antara semua pihak yang terlibat, sehingga manfaat dari kebijakan ini dapat dirasakan secara maksimal dalam proses pembelajaran.