Prof Dr. Ishom el Saha (Guru Besar UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten)
Islam diajarkan bukan untuk menambah beban umatnya. Terutama jika terdapat unsur yang memberatkan (masyaqqat) atau membahayakan (madarat) maka Islam akan memberikan kemudahan bagi manusia. Dalam terminology hukum Islam, fasilitas kemudahan itu disebut rukhsah.
Rukhsah adakalanya sudah tersurat dalam nas hukum, sebagaimana hukum boleh menjamak dan menqasar salat bagi tiap orang yang sedang bepergian jauh yang telah tersurat di dalam al-Quran. Adakalanya rukhsah lahir secara ijtihadi setelah mempertimbangikn asas kausalitas hukum, seperti tidak wajibnya seorang muslim menunaikan ibadah haji sebab tidak memenuhi istithah.
Khusus dalam kasus hukum tidak mabit di Mina, kemudahan atau rukhsah-nya pada dasarnya telah tersurat dalam hadits Nabi Muhammad SAW: “Beliau mengijinkan kepada Ibnu Abbas untuk bermalam di Makkah pada saat sahabat lainnya mabit di Mina karena tanggungjawabnya sebagai penimba sumur Zamzam”. (HR. Al-Bukhari).
Hadits lainnya yang diriwayatkan dari Abu al-Badah bin Ashim dari ayahnya juga menyebut kemudahan tidak mabit di Mina. “Ia berkata: bahwa Rasulullah SAW telah mengijinkan para penggembala unta untuk tetap berada di gubuk-gubuk mereka, di mana mereka melembar Jumrah Aqabah di hari kurban, kemudian menggabungkan waktu melempar jamarat pada dua hari sesudah hari kurban.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi).
Dalil-dalil rukhsah yang tersurat ini memperkuat hukum kemudahan tidak mabit di Mina bagi tiap-tiap Jemaah haji yang menghadapi kesulitan (masyaqqat) untuk bermalam di Mina pada hari-hari tsyariq (tanggal 11,12, 13 Dzulhijjah). Apalagi di dalam Al-Quran juga diatur ketentuan boleh melakukan Nafar Awal atau meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah, yang semestinya tetap berada di Mina sampai tanggal 13 Dzulhijjah (Nafar Tsani).
Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang bersegera berangkat dalam dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang menundanya, maka tidak ada dosa baginya” (QS. Al-Baqarah: 203).
Dalam konteks semacam ini, Imam asy-Syatibi berpendapat bahwa dalil-dalil al-Qur’an dan hadits yang menganulir beban berlebihan buat ummat Islam pada dasarnya memiliki kedudukan sampai tingkatan pasti (qath’i). Oleh sebab itu disusunlah kaidah fiqhiyyah yang berbunyi: al-masyaqqat tajlib al-taysir (halangan yang memberatkan dapat mendatangkan kemudahan).
Hal itulah yang kemudian memunculkan dua pendapat hukum tentang bermalam (mabit) di Mina. Pendapat pertama mengatakan jemaah haji wajib mabit di Mina. Pendapat kedua menyebut bermalam di Mina hukumnya sunnah. Termasuk di dalam mazhab Syafi’i sendiri, sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi dalam kitab “Al-Idhah fi Manasik al-Hajj wa al-Umrah”, halaman 357-358, juga ada dua pandangan yang berbeda tentang hukum mabit di Mina.
Para ulama yang berpendapat wajib mabit di Mina lalu mereka menyimpulkan bahwa tiap-tiap Jemaah haji yang tidak mabit di Mina selama hari tasyriq diwajibkan bayar dam (denda). Sebaliknya mereka yang berpendapat sunnah mabit di Mina maka bagi yang tidak melakukannya hanya di-sunnah-kan saja membayar dam.
Namun demikian ada hal menarik dalam pandangan ulama-ulama mazhab dalam kasus apabila Jemaah haji meninggalkan waktu bermalam di Mina separuh waktu saja. Mereka berpendapat bahwa Jemaah haji tersebut tidak wajib membayar dam, melainkan hanya membayar 1 mud makanan untuk fakir-miskin. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama sangat menjunjung tinggi ketentuan rukhsah dalam kasus hukum tidak mabit di Mina. Wallahu a’lam.
Prof Dr. Ishom el Saha (Guru Besar UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten)