Perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025 menjadi momentum reflektif yang istimewa. Tanggal ini bukan sekadar penanda usia, melainkan ajakan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk kembali merenungkan makna kemerdekaan, persatuan, dan nasionalisme.
Tepat di tahun ini, gaung persatuan itu kembali mengemuka melalui Silaturahmi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Serpong. FKUB itu sendiri bersatu menyepakati deklarasi untuk merawat kebangsaan dan nasionalisme.
Deklarasi yang dihasilkan oleh forum ini menegaskan satu hal penting: perayaan kemerdekaan perlu dijadikan momentum bagi seluruh umat beragama untuk terus memperkuat komitmen kebangsaan dan rasa nasionalisme cinta tanah air.
Menariknya, deklarasi ini menegaskan sebuah pemahaman fundamental yang sering kali dipertanyakan, yaitu bahwa nasionalisme dan keberagamaan dapat, bahkan harus, berjalan beriringan.
Elemen-elemen bangsa yang diwakili oleh FKUB secara kolektif mengakui dan menyepakati bahwa keduanya tidak bertentangan. Rasa nasionalisme dapat diimplementasikan tanpa menghilangkan identitas keagamaan, dan keberagamaan dapat dihidupi tanpa kehilangan kesejatian keindonesiaan.
Inilah esensi dari identitas kita sebagai bangsa, di mana kita dapat menjadi 100% Pancasila dan 100% Indonesia, tanpa harus mengorbankan salah satunya.
Jejak Sumpah Pemuda
Gagasan ini bukanlah sesuatu yang baru. Ia berakar kuat dari semangat Sumpah Pemuda 1928, sebuah ikrar yang melampaui sekat-sekat kesukuan dan agama.
Para pemuda dari berbagai latar belakang saat itu berikrar untuk bersatu dalam tiga hal fundamental: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Ikrar ini secara tegas menyatakan bahwa identitas utama kita adalah “Indonesia”.
Semangat persatuan ini kemudian terbukti menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari satu kelompok agama tertentu, melainkan hasil dari perjuangan bersama yang dilandasi oleh semangat kebersamaan.
Sejarah mencatat nama-nama besar dari berbagai keyakinan yang bahu-membahu mewujudkan mimpi Indonesia merdeka.
Misalnya, dari kalangan Muslim, kita mengenal figur-figur seperti H.O.S. Cokroaminoto dan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang berperan besar dalam menggerakkan perlawanan melalui jalur politik dan keagamaan. Demikian juga K.H. Ahmad Dahlan, tokoh Muhammadiyah, yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan.
Ada juga dari kalangan Katolik, ada I.J. Kasimo, seorang tokoh pergerakan nasional yang turut serta dalam sidang BPUPKI dan PPKI, menjadi bukti nyata kontribusi umat Katolik dalam merumuskan dasar negara.
Dari kalangan Kristen Protestan, ada Johannes Leimena, seorang dokter dan politikus yang berkontribusi signifikan dalam bidang kesehatan dan pembangunan nasional.
Tak lupa juga I Gusti Ketut Pudja dari kalangan Hindu, yang mewakili Bali dalam Panitia Sembilan BPUPKI, serta Prajudi Atmosudirdjo dari kalangan Buddha, yang aktif dalam pergerakan pemuda.
Terakhir, dari kalangan Khonghucu, kita memiliki Liem Koen Hian, seorang jurnalis dan politikus yang gigih menyuarakan persatuan.
Nama-nama ini hanyalah sebagian kecil dari ribuan pejuang yang menunjukkan bahwa nasionalisme dan keberagamaan dapat berjalan seiring, saling menguatkan.
Nasionalisme dalam Keseharian
Deklarasi FKUB menegaskan bahwa nasionalisme tidak hanya diukur dari pengibaran bendera atau upacara seremonial, tetapi juga dari praktik-praktik nyata yang dilakukan oleh setiap individu dan kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Praktik-praktik baik ini menjadi wujud konkret dari komitmen untuk menjadi 100% Pancasila dan 100% Indonesia.
Selama bulan Agustus, penulis mengamati bagaimana umat Katolik di berbagai paroki Keuskupan Agung Jakarta menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum lagu pembukaan perayaan Ekaristi Kudus setiap hari Minggu. Puncak perayaan ini adalah Misa Syukur secara Khusus pada 17 Agustus, sebuah pengingat bahwa kebebasan beribadah adalah berkat kemerdekaan.
Demikian juga, umat Islam juga mengadakan doa bersama dan pengajian bertema kebangsaan, memohon keberkahan dan kemajuan bagi tanah air. Mereka mensyukuri nikmat Kemerdekaan RI. Mereka juga aktif berkolaborasi dengan komunitas lain dalam kegiatan bakti sosial, mewujudkan kepedulian terhadap sesama bangsa.
Umat Kristen Protestan mengadakan kebaktian khusus Kemerdekaan RI, di mana khotbah difokuskan pada nilai-nilai kebangsaan, persatuan, dan keadilan sosial, serta sering terlibat dalam kegiatan donor darah massal.
Dalam peringatan kemerdekaan, umat Hindu menyelenggarakan upacara persembahyangan dan doa bersama di pura, mendoakan keselamatan dan kedamaian bagi seluruh bangsa, sambil aktif dalam kegiatan bersih-bersih lingkungan.
Sementara itu, umat Buddha menggelar meditasi dan doa bersama di vihara untuk memancarkan cinta kasih kepada seluruh makhluk, serta berpartisipasi dalam program sosial seperti pembagian sembako.
Termasuk umat Khonghucu, juga merayakan kemerdekaan dengan sembahyang kepada Tuhan dan leluhur, serta turut andil dalam kegiatan budaya yang memperkaya mozaik kebangsaan.
Semua praktik baik ini menunjukkan bahwa nasionalisme sejatinya adalah perwujudan dari nilai-nilai luhur agama itu sendiri. Loyalitas kepada negara adalah bagian integral dari implementasi hidup beragama.
Ketika keberagamaan dan nasionalisme bersinergi, semua umat dapat berjalan bersama, bersinergi, dan berkolaborasi membangun Indonesia Emas 2045. Di saat yang sama, konflik yang muncul dari perbedaan identitas akan terasa tidak relevan.
Dirgahayu Republik Indonesia. Semoga momentum HUT ke-80 ini semakin menguatkan persatuan kita sebagai bangsa yang beriman dan berideologi Pancasila.
Pormadi Simbolon (Pembimas Katolik pada Kanwil Kemenag Provinsi Banten)