Rapat penyusunan pedoman penghitungan kebutuhan Jafung Penyuluh Agama
Jakarta (Kemenag) — Direktorat Penerangan Agama Islam Kementerian Agama (Kemenag) melakukan finalisasi pedoman penghitungan kebutuhan jabatan fungsional penyuluh agama. Direktur Penerangan Agama Islam, Ahmad Zayadi, mengatakan, penyusunan pedoman tersebut merupakan amanat regulasi nasional dan bagian dari pemenuhan hak konstitusional warga negara dalam memperoleh layanan keagamaan yang layak.
“Negara ini berkewajiban memberi jaminan kepada warganya untuk mendapatkan hak-hak keagamaannya. Ini bukan sekadar program birokrasi, tapi mandat dari UUD 1945,” ujar Zayadi saat membuka kegiatan Penyusunan Program Menteri Agama Tentang Pedoman Penghitungan Kebutuhan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama di Jakarta, Senin (19/5/2025).
Harmonisasi ini mengacu pada Pasal 44 Ayat 2 dalam Peraturan Menteri PAN-RB yang mengatur jabatan fungsional penyuluh agama. Berdasarkan regulasi tersebut, Kemenag menyusun rancangan peraturan teknis sebagai pedoman kebutuhan penyuluh agama.
“Rancangan peraturan ini tidak hanya untuk Penyuluh Agama Islam, tetapi juga untuk penyuluh dari semua agama yang dibina Kemenag. Karena itu, kita perlu menetapkan parameter yang generik dan strategis,” jelasnya.
Zayadi menjelaskan, proses harmonisasi telah mendapatkan izin prinsip dari Kementerian PAN-RB dan melalui beberapa tahap uji coba bersama lintas kementerian, termasuk Direktorat Jenderal Dukcapil. Variabel yang digunakan antara lain jumlah umat, beban kerja, kompleksitas persoalan keagamaan, serta kondisi geografis.
Ia juga mengungkapkan tantangan berkurangnya jumlah penyuluh agama akibat dinamika rekrutmen ASN. Dari sekitar 55.000 penyuluh, kini tersisa sekitar 38.000 orang karena sebagian beralih ke formasi jabatan lain.
“Banyak yang beralih karena latar belakang pendidikannya memungkinkan mengikuti seleksi ASN untuk jabatan lain. Ini menjadi alarm bagi kita untuk menghitung ulang kebutuhan penyuluh secara lebih akurat,” katanya.
Dalam rancangan tersebut, Kemenag juga mempertimbangkan perluasan fungsi penyuluh, termasuk dalam pembinaan keluarga sakinah, penguatan zakat dan wakaf, serta pendampingan umat dalam menghadapi persoalan sosial keagamaan.
“Misalnya, penyuluh berperan dalam layanan pascanikah. Ini penting karena data perceraian naik hampir 30 persen dari total peristiwa nikah. Keluarga muda perlu pendampingan sejak awal,” ujarnya.
Zayadi menambahkan, penyuluh agama diharapkan dapat menjadi penghubung antara kebijakan pembangunan dan kehidupan keagamaan masyarakat. Peran ini meliputi penyampaian pesan pembangunan, penyelesaian konflik sosial berbasis agama, hingga pengembangan ekonomi umat.
“Penyuluh harus bisa menjembatani umat sekaligus menjadi penguat kohesi sosial,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya peran organisasi profesi dalam mendukung peningkatan kapasitas penyuluh. “Setiap jabatan fungsional harus memiliki organisasi profesi. Untuk penyuluh agama, itu adalah IPARI. Mereka kini menjadi mitra resmi Kemenag dalam memperkuat kualitas penyuluh,” ucapnya.
Zayadi berharap, pembahasan harmonisasi tidak terjebak pada teknis sektoral yang bisa memperlambat proses regulasi. “Semakin kita masuk ke teknis khas per agama, prosesnya akan lama. Ini sudah terjadi. Bahkan lima tahun tertunda karena terlalu teknis. Sekarang kita harus fokus pada hal strategis dan generik,” katanya.
Jika proses harmonisasi selesai, rancangan peraturan akan segera diajukan ke Menteri Agama melalui Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri untuk disahkan. “Mudah-mudahan tidak lama lagi. Setelah disepakati, kita langsung sampaikan ke Menteri agar bisa segera diundangkan,” pungkas Zayadi.
Sekretaris Ditjen Bimas Katolik yang juga merupakan Plt Direktur Urusan Agama Katolik, Albertus Triyatmojo, menambahkan, proses harmonisasi ini sangat penting untuk menjawab keadilan dan kesetaraan antarpenyuluh dari semua agama. Ia menyebut, sejak jabatan fungsional Penyuluh Agama Katolik terbentuk tahun 1999, belum banyak mengalami kemajuan dari sisi jenjang karier.
“Sudah 24 tahun penyuluh Katolik bertugas, tapi banyak yang belum naik pangkat. Ini kontras dengan komunitas lain yang sudah mencapai jenjang madya bahkan utama. Kita tidak bisa terus tertinggal,” ujarnya.
Albertus juga mengungkapkan tantangan geografis yang khas, seperti di Nusa Tenggara Timur yang memiliki enam keuskupan. Hal ini menuntut formulasi kebutuhan penyuluh yang lebih adaptif dan berbasis konteks daerah, bukan pendekatan seragam.
“Jumlah umat, keragaman permasalahan, dan luas wilayah harus jadi pertimbangan utama. Kita harap prinsip keadilan bisa betul-betul diwujudkan lewat regulasi ini,” imbuhnya.
Ia berharap, rancangan pedoman ini dapat segera disahkan dan menjadi pijakan bersama seluruh direktorat di bawah Kemenag untuk memperkuat sistem layanan keagamaan nasional secara menyeluruh.
(An/Mr)