Rapat Arah Kebijakan Nasional dalam Penyempurnaan Regulasi Perwakafan
Bekasi (Kemenag) — Kementerian Agama (Kemenag) bersama Badan Wakaf Indonesia (BWI) tengah merumuskan kerangka regulasi nasional untuk memperkuat tata kelola wakaf. Upaya ini bertujuan menciptakan regulasi yang adaptif dan responsif terhadap kebutuhan di lapangan.
Hal itu dibahas dalam rapat bertema “Arah Kebijakan Nasional dalam Penyempurnaan Regulasi Perwakafan” yang digelar di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (13/6/2025).
Ketua Devisi Hukum dan Penanganan Aset BWI, Dendy Zuhairil Finsa, mengungkapkan pentingnya regulasi yang kuat agar seluruh proses sertifikasi dan pengelolaan tanah wakaf memiliki dasar hukum yang seragam di seluruh wilayah.
“Setiap kementerian dan lembaga sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik sesuai kewenangan dan regulasi masing-masing. Karena itu, yang kita butuhkan sekarang adalah satu kerangka regulasi nasional yang mampu menjembatani dan menyinergikan pelaksanaan aturan di pusat dan daerah,” ujar Dendy.
Menurutnya, perbedaan penafsiran regulasi antarinstansi menjadi kendala dalam proses sertifikasi wakaf. Hal ini tidak hanya menyulitkan masyarakat, tetapi juga menghambat peran wakaf sebagai instrumen pembangunan umat.
Ia menyebut, penyusunan kerangka regulasi nasional perlu menyatukan berbagai aturan yang selama ini tersebar dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, maupun kebijakan teknis kementerian dan lembaga.
“Kita harus duduk bersama. Kemenag, ATR/BPN, BPN daerah, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (KemenPKP), bahkan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Karena, sering kali tanah wakaf terdampak proyek nasional. Butuh kesepahaman dasar agar tidak ada lagi tarik-menarik dalam proses legalisasi,” tegasnya.
Dendy juga menekankan pentingnya penguatan kapasitas nazir serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang urgensi sertifikasi wakaf. Ia mengingatkan, tanah wakaf yang belum tersertifikasi rentan menjadi sengketa atau dialihfungsikan dengan cara yang tidak sesuai syariat.
“Kalau ada daerah atau instansi yang berhasil mengamankan aset wakaf, itu harus diapresiasi. Ini kerja peradaban,” tambahnya.
Ia mengapresiasi langkah Kemenag melalui Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf yang telah memfasilitasi penyusunan regulasi teknis dan membuka ruang dialog lintas kementerian/lembaga.
“Regulasi tidak boleh lahir di ruang kosong. Ia harus lahir dari kebutuhan nyata di lapangan. Di sinilah peran Kemenag dan BWI untuk menyusun kerangka hukum yang hidup dan menjawab tantangan zaman,” tutupnya.
Senada dengan itu, Kasubdit Pengawasan dan Pengamanan Harta Benda Wakaf, Jaja Jarkasih, mengatakan, langkah konkret yang sedang ditempuh adalah memperjelas batas kewenangan dan prosedur antarinstansi, terutama terkait tanah wakaf yang terdampak proyek strategis nasional (PSN).
“Kami terus mendorong adanya harmonisasi regulasi, termasuk sinkronisasi antara Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Keputusan Menteri Agama. Semua harus saling menguatkan, bukan berjalan sendiri-sendiri,” ujar Jaja.
Ia menambahkan, berbagai tantangan di lapangan muncul bukan karena kurangnya niat baik, melainkan karena belum adanya kepastian teknis.
“Misalnya soal tanah pengganti PSN, kapan bisa AJB (Akta Jual Beli), kapan bisa LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara). Ini semua harus kita perjelas dalam regulasi,” paparnya.
Menurutnya, selain penguatan regulasi, pendekatan sosial kepada masyarakat juga diperlukan agar proses sertifikasi wakaf dapat diterima secara hukum, budaya, dan spiritual.
“Kita tidak cukup bicara hukum, tapi juga kepercayaan publik. Ketika masyarakat yakin bahwa pemerintah melindungi aset wakaf, maka mereka akan lebih terbuka untuk bersertifikasi,” pungkas Jaja.
(An/Mr)