Jakarta (Kemenag) – Kementerian Agama (Kemenag) membuka ruang partisipasi bagi pelaku usaha penyandang disabilitas dalam rangkaian program Peaceful Muharam 1447 H. Salah satunya dengan menghadirkan Cafe Difabis, kafe ramah disabilitas yang dikelola oleh teman-teman tuli dan daksa, di pelataran Auditorium HM. Rasjidi, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025).
Pelibatan Cafe Difabis menjadi bagian dari upaya Kemenag dalam membumikan nilai hijrah sosial yang inklusif dan memberdayakan. Di tengah pelaksanaan kegiatan Lebaran Yatim dan Penyandang Disabilitas, Kemenag tak hanya menyalurkan dua juta bingkisan, tetapi juga mendorong kolaborasi nyata dengan pelaku UMKM dari kelompok rentan.
“Kami senang bisa dilibatkan di acara Peaceful Muharam ini. Biasanya kami berdagang di luar, tapi kali ini kami mendapat tempat di lingkungan kementerian. Semakin banyak orang mengenal kami, semakin banyak pula yang tahu bahwa teman-teman disabilitas bisa mandiri,” ujar Robiah, pengelola Cafe Difabis, saat ditemui di sela acara.
Dikatakannya, Cafe Difabis merupakan UMKM binaan BAZNAS Bazis DKI Jakarta. Sejak awal berdiri, usaha ini mempekerjakan kelompok tuli dan daksa sebagai barista dan staf operasional. Kafe ini juga menghadirkan konsep unik: ngopi sambil belajar Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO).
“Difabis itu singkatan dari Difabel BAZNAS BAZIS. Di sini kita nggak cuma jual kopi, tapi juga mengajak pengunjung untuk belajar bahasa isyarat sederhana seperti ‘terima kasih’, ‘saya’, atau ‘minum’. Ini bukan cuma jualan, ini kampanye kesetaraan,” tambahnya.
Kopi yang dijual berasal dari biji arabika dan robusta, dengan berbagai varian seperti gula aren, creamy latte, pandan, dan butterscotch. Tersedia juga menu non-kopi seperti matcha, red velvet, dan berbagai teh artisan. Harga yang ditawarkan pun terjangkau, mulai dari Rp20 ribu untuk ukuran 200 ml.
Saat ini, Cafe Difabis memiliki lima cabang di seluruh wilayah DKI Jakarta, terutama di kantor wali kota. Lokasi pusatnya berada di Terowongan Kendal, Stasiun Sudirman, bersebelahan dengan brand kopi ternama. Di sana, para barista tuli melayani pelanggan setiap hari dari pukul 08.00 hingga 20.30 WIB.
“Total ada lebih dari 20 karyawan disabilitas yang bekerja bersama kami. Di Terowongan Kendal saja ada tiga teman tuli, satu daksa, dan dua magang. UMKM seperti kami membuka peluang kerja yang inklusif, yang belum tentu bisa didapat di sektor formal karena kendala pendidikan, usia, atau akses,” jelasnya.
Robiah menyebut, keikutsertaan Cafe Difabis di Peaceful Muharam juga menunjukkan bahwa ruang-ruang publik keagamaan bisa menjadi ruang perjumpaan yang manusiawi, memberdayakan, dan bebas diskriminasi.
Menurutnya, keterlibatan mereka di kegiatan-kegiatan kementerian atau lembaga negara, seperti Kemenag, menjadi peluang penting untuk memperluas jaringan usaha, membangun keberanian berusaha, dan meningkatkan pengakuan terhadap kapasitas teman-teman disabilitas.
“Kalau selama ini banyak disabilitas hanya dijadikan objek santunan, lewat UMKM seperti ini, kita bisa menjadi subjek ekonomi. Kita bisa mandiri, bisa dipercaya, dan bisa menciptakan ruang kerja sendiri,” tegasnya.
Peaceful Muharam, Bagian dari Layanan Keagamaan Berdampak
Peaceful Muharam merupakan gerakan sosial-keagamaan yang diinisiasi Ditjen Bimas Islam Kemenag dari 22 Juni hingga 16 Juli 2025. Kegiatan yang bertema ‘Damai Bersama Manusia dan Alam’ ini menghadirkan beragam kegiatan, mulai dari Ngaji Budaya Muharam, Nikah Massal, Konferensi Ekoteologi Islam Internasional (ICIEFE), hingga Kick-Off 1.000 Masjid Inklusif.
Kepala Subdirektorat Bina Kelembagaan dan Kerja Sama Zakat dan Wakaf, Ditjen Bimas Islam, Muhibuddin mengatakan, pemberdayaan UMKM disabilitas merupakan bagian layanan keagamaan berdampak untuk masyarakat.
Muhib mengungkapkan, ruang keterlibatan UMKM disabilitas juga sejalan dengan semangat zakat dan wakaf sebagai instrumen keadilan sosial. “Zakat dan wakaf bukan hanya soal angka dan aset, tapi soal keberpihakan. Peaceful Muharam adalah panggung nyata kolaborasi untuk keberdayaan,” ujarnya.
Ia menambahkan, Kemenag terus mendorong transformasi sosial berbasis nilai keagamaan. “Ketika ruang publik keagamaan terbuka bagi disabilitas dan kelompok rentan lainnya, kita sedang membangun masyarakat yang tidak hanya religius, tetapi juga inklusif dan berkeadilan,” kata Muhibuddin.
Dalam konteks ekoteologi dan sosial filantropi Islam, lanjutnya, pelibatan UMKM disabilitas menegaskan bahwa kerja keagamaan harus hadir dalam tindakan nyata. “Spirit hijrah itu bertumbuh di lapangan-lapangan sosial, bukan sekadar di mimbar. Peaceful Muharam memperlihatkan bahwa agama adalah kekuatan yang memanusiakan,” pungkasnya.
(An/Mr)