Anthony Reid, sejarawan Selandia Baru yang banyak menulis Indonesia itu, berpulang pada 8 Juni 2025 dalam usia 85 tahun di Canberra, Australia. Ia meninggalkan kilau warisan intelektual dalam bidang sejarah Asia Tenggara yang patut dibaca dan dikaji bersama, khususnya dalam konteks keragaman masyarakat Sumatra. Jasanya dalam bidang sejarah diakui secara luas dan buku-bukunya banyak dijadikan rujukan berbagai kalangan hingga kini. Ia secara khusus mendedikasikan penelitian untuk Aceh dan Batak selain beragam pemikiran mendalam sejarah di Asia Tenggara. Ia telah meninggal dengan tenang, membawa kekaguman akan dedikasinya menuturkan sejarah Aceh dan Batak dengan cara yang berbeda.
Masyarakat Indonesia patut merasa kehilangan karena kiprah kesejarahan Anthony Reid terutama dalam konteks keyakinan bahwa sejarah Asia Tenggara, khususnya Indonesia, perlu didefinisikan ulang sebagai wilayah yang kaya, beragam, dan dari dahulu sudah terhubung secara global. Ia juga memiliki keyakinan besar bahwa sebagai bangsa, Indonesia mampu dan dapat merayakan keberagaman di Nusantara.
Hal ini terjadi karena semasa hidupnya Reid banyak menekuni sejarah Indonesia, khususnya Aceh dan Batak, dengan mengedepankan aspek sosial–budaya setempat. Reid dikenang sebagai sejarawan dengan pendekatan humanis. Dalam pengertian ini, ia dikenal memiliki perhatian besar terhadap kerumitan sosial, budaya, dan sejarah Indonesia sebagaimana tercermin dalam karya monumentalnya: Southeast Asia in the Age of Commerce: 1450-1680 dan The Blood of the People. Tulisan ini berupaya melihat warisan dan jejak intelektualnya lewat beberapa bukunya.
Dalam Southeast Asia in the Age of Commerce: 1450-1680 volume I: The Lands below the Winds (Reid membuatnya dalam dua volume. Volume satunya adalah Expansion and Crisis) dengan piawai ia bertutur tentang kebiasaan dan tradisi masyarakat Indonesia dalam cara mereka makan, berpakaian, dan membangun corak rumah (arsitektur rumah). Di pembahasan ketiga dengan tema Daily Life: Material Culture and Its Social Context, Reid menceritakan bahwa masyarakat Asia Tenggara, tentu saja termasuk masyarakat Indonesia di dalamnya, banyak dipengaruhi kekayaan rempah-rempah lokal dan iklim tropis dalam menjalankan kebiasaan kuliner. Ia pun dengan apik mengetengahkan pembahasan tentang cara mereka berpakaian, dari mulai penggunaan kain tenun dan batik hingga berbagai pengaruh asing pada cara masyarakat lokal berpakaian (hal. 75).
Menyajikan Kronik Masyarakat
Anthony Reid menceritakan kronik masyarakat dengan detil, tanpa mengabaikan fakta penjajahan, alih-alih cerita penindasan dan kolonialisme yang dialami masyarakat. Dalam menceritakan rakyat Aceh, misalnya, ia memberikan kerangka analitis untuk memahami perlawanan rakyat Aceh sebagai kombinasi dari faktor ideologis (Islam), sosial (konflik ulama-uleebalang), dan politik (strategi kolonial). Karyanya tidak hanya merekonstruksi sejarah perlawanan, tetapi juga menginspirasi pemahaman modern tentang identitas dan perjuangan Aceh, termasuk gerakan kemerdekaan di abad ke-20.
Dalam buku Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Anthony Reid menjelaskan bahwa Belanda memanfaatkan strategi pecah belah dengan mendukung uleebalang tertentu, seperti Sultan Deli, untuk melemahkan kesatuan Aceh. Perspektif ini dengan jelas menunjukkan bahwa perlawanan rakyat Aceh bukan hanya soal semangat jihad yang melekat pada rayat Aceh, tetapi juga respons terhadap tipu daya politik kolonial Belanda.
Dalam batas perjuangan rakyat Aceh, Anthony Reid menekankan pentingnya ideologi keagamaan Islam dalam membangun dan menggerakkan perlawanan. Karya sastra seperti Hikayat Perang Sabil menggambarkan semangat jihad yang mendorong rakyat Aceh untuk melawan Belanda yang dianggap sebagai “kafir”. Reid menunjukkan bahwa identitas keagamaan ini menjadi perekat sosial yang kuat yang memungkinkan ideologi perlawanan berlangsung lama meskipun Kesultanan Aceh resmi runtuh pada 1903.
Anthony Reid mampu merekam dengan baik pola perlawanan rakyat Aceh sebagaimana terdapat dalam buku Revolusi Sosial di Sumatra Timur. Dalam buku ini, Reid menganalisis bagaimana kolonialisme Belanda yang diteruskan pendudukan Jepang memicu perubahan sosial dan memiliki pengaruh signifikan terhadap poila perlawanan rakyat Aceh kemudian hari. Ia,misalnya, mengideintifikasi bahwa kerja sama Belanda dengan uleebalang menciptakan ketidakpuasan rakyat yang memicu perlawanan yang dipimpin ulama. Selain itu, Reid menghubungkan munculnya organisasi seperti Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan kebangkitan nasionalisme. PUSA berkontribusi secara efektif dengan memperkuat perlawanan terhadap Belanda dan Jepang.
GAM dan Perlawanan Rakyat Batak
Kenangan tentang Anthony Reid rasanya melekat di benak rakyat Aceh. Dalam banyak hal, ia memberi inspirasi rakyat Aceh. Karya-karya Reid, terutama tentang sejarah perjuangan Aceh, memberikan legitimasi historis bagi gerakan kemerdekaan Aceh modern. Hal demikian seperti yang diungkapkan sendiri oleh Hasan Tiro, pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tiro mengakui, peran Anthony Reid, tanpa mengaku sebagai juru bicara, sangat besar bagi gerilyawan GAM lewat buku The Contest for North Sumatra.
Bisa dibayangkan, sebuah buku mampu memberi daya gerak perlawanan gerilyawan Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka. Hasan Tiro menegaskan, buku Anthony Reid tersebut membuatnya merasa tidak sendirian dalam meyakini bahwa Aceh dapat berdiri sendiri. Dengan kerendahan hati, Reid berkomentar terhadap pernyataan Hasan Tiro. “Saya tidak percaya dan terus terang merasa ngeri. Saat itu saya tidak memberi tahu siapa pun. Rasanya tak masuk akal bahwa disertasi yang membosankan ini, yang ditulis sepenuhnya di Eropa dengan nyaris tanpa pengetahuan tentang Aceh modern (saya hanya sempat mengunjungi Aceh sekali antara masa disertasi dan penerbitan buku karena konfrontasi), bisa berdampak sebesar itu,” ungkap Reid.
Selain Aceh, Reid memiliki perhatian tersendiri pada rakyat Batak. Meskipun fokus utama Reid lebih banyak pada Aceh dan wilayah Sumatra lainnya dalam karya-karyanya seperti Asal Mula Konflik Aceh dan The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, ada relevansi ide-idenya dengan masyarakat Batak, terutama dalam konteks revolusi sosial dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Dalam buku The Blood of the People and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, Reid menganalisis revolusi sosial di Sumatra Timur pada 1945–1946. Revoluisi tersebut juga melibatkan masyarakat Batak. Terutama setelah pendudukan Jepang, ia menjelaskan, berbagai perubahan sosial memicu konflik antara elit tradisional (raja-raja lokal, termasuk di kalangan Batak) dan kelompok-kelompok baru yang dipengaruhi ide nasionalisme. Di wilayah Batak, seperti Tapanuli dan Karo, ketegangan ini terlihat dalam perlawanan terhadap sistem feodal dan kolaborasi beberapa elit Batak dengan Belanda.
Dalam konteks masyarakat Batak, Anthony Reid menyoroti bagaimana agama memainkan peran penting dalam membentuk identitas dan perlawanan di Sumatra. Ia melihat bahwa Batak, khususnya Batak Toba, memilki kekhasan tersendiri dengan masuknya agama Kristen melalui misionaris Jerman dan Belanda (seperti Nommensen). Upaya misionaristik ini lambat laun menciptakan dinamika baru. Reid mencatat bahwa meskipun Kristen menjadi identitas penting bagi sebagian masyarakat Batak, ada pula ketegangan dengan nilai-nilai adat. Kondisi ini memengaruhi respons mereka terhadap kolonialisme dan perubahan sosial.
Pada akhirnya, Reid pun membahas kebangkitan nasionalisme di Sumatra yang turut memengaruhi masyarakat Batak. Sarekat Islam dan kelompok nasionalis lainnya mulai menarik simpati kalangan Batak, terutama generasi muda yang terdidik. Kondisi ini terlihat dalam munculnya tokoh-tokoh Batak yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, sebutlah di antaranya adalah Adam Malik. Ide-ide Anthony Reid relevan untuk memahami masyarakat Batak dalam konteks revolusi sosial, perlawanan terhadap kolonialisme dan transformasi identitas di Sumatra Utara. Meskipun fokusnya lebih luas pada Sumatra Timur dan Aceh, analisisnya tentang konflik sosial, peran agama, dan kebangkitan nasionalisme memberikan wawasan penting tentang dinamika masyarakat Batak.
Bagaimana Anthony Reid mampu menyajikan gambaran masyarakat Aceh, Batak, dan komunitas lain dengan cara yang menyentuh? Dari cara bertuturnya, dapat diyakini dengan kuat bahwa Reid dipengaruhi oleh Annales School yang menekankan sejarah sosial dan waktu panjang (la longue durée). Mazhab Annales adalah aliran pemikiran sejarah yang berasal dari Prancis pada awal abad ke-20. Penamaan Annales School berdasarkan jurnal Annales d’histoire économique et sociale yang didirikan oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch pada 1929.
Lebih dari itu, Reid memperkaya pendekatan ini dengan perspektif Asia Tenggara. Dalam upaya tersebut, Reid menolak narasi kolonial yang statis dan menyederhanakan. Ia dikenal karena keberanian dam kesediaanya “memeluk” kerumitan sejarah Indonesia, seperti migrasi Tionghoa, Arab, dan India di Batavia, serta peran minoritas dalam membentuk sejarah nasional. Istimewanya, Reid mendengarkan “suara-suara yang dibungkam” dan memberikan ruang bagi narasi pinggiran, seperti petani, pedagang, atau komunitas lokal.
Saiful Maarif (bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam)