Aceh (Kemenag) — Nama Aceh kerap identik dengan penerapan syariat Islam. Namun di balik persepsi luar yang kerap menimbulkan kesan eksklusif, kehidupan beragama di Serambi Mekkah justru menghadirkan wajah yang damai, harmonis, dan penuh penghargaan terhadap keragaman. Umat Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha di Aceh mengaku bisa beribadah dengan tenang, tanpa gangguan, bahkan mendapat dukungan dari pemerintah maupun masyarakat sekitar.
Vihara Buddha Berusia 147 Tahun Jadi Bukti
“Tinggal di Aceh bagi saya terasa sangat nyaman. Kerukunan antarumat beragama berjalan dengan baik dan dalam sejarahnya tidak pernah ada konflik agama,” ujar Ketua Vihara Dharma Bhakti sekaligus Ketua Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Aceh, Fajar Saputra.
Vihara Dharma Bhakti, yang berdiri sejak 1878, menjadi saksi hidup harmoni di Aceh. Selama lebih dari satu abad, vihara ini menjadi pusat ibadah umat Buddha Banda Aceh. Setiap Minggu, kebaktian berjemaah dan sekolah Minggu untuk anak-anak tetap berjalan lancar.
“Kami merasakan peran Kementerian Agama sangat penting dalam menjaga kerukunan dan mendampingi umat Buddha di Aceh. Kehadiran Pembimas Buddha di Kanwil Kemenag menjadi seperti orang tua bagi kami, yang mampu merangkul dan menyatukan umat dalam perbedaan pandangan,” tambah Fajar.
Salah satu agenda besar yang rutin diadakan oleh umat Buddha dari seluruh Aceh adalah perayaan Dharma Santi Waisak, dengan jumlah peserta antara 500 hingga 1.000 orang.
“Dalam beberapa tahun terakhir, perayaan ini digelar bergilir di berbagai kota. Tahun ini berlangsung di Kota Langsa, tahun sebelumnya di Meulaboh, dan tahun depan direncanakan di Banda Aceh,” jelas Fajar.
Pembimas Buddha Provinsi Aceh, Suwarno, menyebut kehidupan umat Buddha di Aceh sangat harmonis “Berdasarkan data, jumlah umat Buddha di Aceh sekitar 6.591 jiwa, tersebar di berbagai kabupaten dan kota. Konsentrasi terbesar ada di Banda Aceh, sekitar 2.541 orang. Untuk sarana ibadah, terdapat 16 vihara dan 7 cetya. Cetya ini semacam rumah ibadah kecil seperti musala,” jelasnya.
Umat Kristen Aman Beribadah di 189 Gereja
Hal serupa dirasakan umat Kristen. Pembimas Kristen Provinsi Aceh, Samarel Telaubanua, sudah menetap di Aceh selama 26 tahun. Ia berasal dari Nias, Sumatera Utara, namun justru merasa lebih betah hidup di Aceh. “Informasi di luar sering menggambarkan Aceh sebagai daerah yang menakutkan. Padahal kenyataannya, di sini aman, nyaman, dan damai,” ujarnya.
Jumlah umat Kristen di Aceh diperkirakan mencapai 40 ribu jiwa, tersebar di berbagai kabupaten. Mereka beribadah di sekitar 189 gereja, dengan konsentrasi terbesar di Aceh Tenggara dan Aceh Singkil. Hingga kini, kata Samarel, tidak pernah ada laporan gangguan terhadap umat Kristen saat beribadah. “Semoga kondisi aman dan damai ini terus terjaga selamanya,” tambahnya.
Nuansa Syariat Justru Menguatkan Iman Katolik
Cerita serupa datang dari Pembimas Katolik Provinsi Aceh, Baron Ferryson Pandiangan. Sejak ditugaskan pada 2011, ia menyebut Aceh justru membuat kekatolikannya semakin kuat. “Nuansa syariat justru menguatkan iman saya,” ujarnya.
Bersama keluarga, Baron merasakan masyarakat Aceh sangat menghargai tamu, sesuai falsafah pemulia jame. “Kami hidup berdampingan, saling menghormati, bahkan saya sering diminta ikut dalam acara adat seperti tepung tawar haji atau perayaan Maulid,” katanya.
Kini, umat Katolik di Aceh tersebar di 23 kabupaten/kota dengan 20 gereja. Salah satunya, Paroki Hati Kudus Yesus di Banda Aceh, berdiri sejak 1926 dan tahun ini genap berusia 100 tahun. Perayaan seabad gereja itu digelar pada September ini, menjadi tonggak sejarah sekaligus bukti bahwa kehidupan Katolik telah lama berakar di Aceh.
Muslim Peduli Renovasi Kuil Hindu Pasca-Tsunami
Dari komunitas Hindu, Sahnan Ginting, yang hampir 20 tahun bertugas sebagai Pembimas Hindu Provinsi Aceh, menuturkan hal serupa. Kuil Palani Andawa, warisan umat Hindu Tamil yang dibangun pada 1934 masih berdiri kokoh di Banda Aceh.
Ada pula kuil yang lebih tua, didirikan pada 1925, namun rusak akibat tsunami 2004. “Dalam proses pembangunan kembali, masyarakat Muslim setempat ikut peduli, bahkan sering menanyakan perkembangan renovasi kuil. Pemerintah Kota Banda Aceh, terutama almarhum Wali Kota Mawardi, juga memberi dukungan penuh hingga kuil bisa kembali diresmikan,” ujarnya.
Penghargaan terhadap Perbedaan
Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Aceh, Azhari menegaskan, kerukunan di Aceh dijaga melalui koordinasi lintas agama bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). “Forum FKUB ini menghadirkan semua tokoh agama. Kita diskusikan perkembangan situasi dan kondisi di daerah masing-masing,” ujarnya.
“Terkait dengan komunikasi antarumat beragama, kita di sini ada 4 pembimas, kristen, katolik, hindu, buddha, itu keempat-empatnya kita setiap saat berdiskusi. Malah hampir setiap hari kerja, pertemuan di pagi hari, sambil ngobrol atau sambil ngopi, kita tanyakan bagaimana perkembangan situasi,” lanjutnya.
Menurutnya, penerapan syariat Islam di Aceh hanya berlaku untuk umat Islam, bagi yang selain umat Islam dianjurkan menghargai. “Menghargai dalam artian misalnya orang Aceh yang Muslimah pakai jilbab, yang non-Muslim menyesuaikan, tidak dianjurkan pakai jilbab, tapi dia memakai pakaian yang sopan,” jelasnya.
Azhari menyampaikan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh, sikap saling membantu dan saling mengontrol sudah menjadi hal yang biasa. Namun, ketika menyangkut akidah, keimanan, dan ibadah, masyarakat Aceh sangat teguh pada prinsip “bagi kamu agamamu, bagi kami agama kami.”
“Maka harmoni kehidupan itu aman, tentram. Karena saling mengakui dan menghargai akan perbedaan.” tutur Azhari.