Sejak laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa dipublikasikan pada awal Juli 2025, nama-nama raksasa korporasi global seperti Microsoft, Hyundai, dan Volvo mendadak menjadi sorotan tajam publik internasional.
Dalam dokumen berjudul From Economy of Occupation to Economy of Genocide, UN Special Rapporteur Francesca Albanese mengungkap keterlibatan 48 entitas perusahaan yang diduga “menanamkan diri” dalam sistem pendudukan Israel atas Palestina.
Berikut adalah sejumlah perusahaan yang memfasilitasi Israel dalam menjajah Palestina:
- Microsoft
- Alphabet Inc. (Google)
- Amazon Web Services
- IBM
- Palantir Technologies
- Caterpillar Inc.
- Hyundai Heavy Industries (HD Hyundai)
- Volvo Group
- Leonardo S.p.A.
- FANUC Corporation
- Elbit Systems Ltd.
- Lockheed Martin Corporation
Dikutip dari Aljazeera, Senin (7/7/2025), Microsoft tercatat menyediakan akses teknologi cloud dan kecerdasan buatan untuk memproses data biometrik warga Palestina, sementara Hyundai dan Volvo Group masuk dalam daftar penyedia alat berat bagi kegiatan pembangunan permukiman ilegal dan demolisi rumah di Tepi Barat.
Laporan UN ini menekankan bahwa pendudukan yang berkepanjangan bukan hanya soal kontrol militer, tetapi juga ekosistem ekonomi di mana perusahaan asing ikut mengambil untung dari industri senjata, infrastruktur pengawasan, hingga proyek konstruksi kontroversial.
Microsoft, misalnya, disebut menghadirkan layanan cloud berskala pemerintahan bagi otoritas Israel, mempercepat pemrosesan dokumen izin masuk dan keluar warga Palestina, sekaligus mendukung sistem pelacakan digital yang kerap dikritik melanggar hak asasi dan kebebasan bergerak penduduk setempat.
Sementara itu, Hyundai Heavy Industries dan Volvo Group masuk dalam kategori penyedia mesin penggali, bulldozer, dan alat berat lain yang digunakan dalam pembangunan pemukiman baru di wilayah pendudukan serta pembongkaran rumah warga Palestina.
Aktivitas ini tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik pada lingkungan, tetapi juga memicu perpindahan paksa keluarga Palestina dari tanah kelahiran mereka.
Data PBB menyebut keduanya berkontribusi langsung terhadap proyek-proyek yang dikecam sebagai pelanggaran hukum internasional karena membangun permukiman di wilayah yang diakui sebagai teritori Palestina oleh komunitas global.
Keterlibatan perusahaan-perusahaan internasional dalam konflik ini memunculkan perdebatan etis yang mendalam. Di satu sisi, korporasi menegaskan bahwa mereka hanya menyediakan produk dan layanan tanpa kecenderungan politik namun laporan UN menunjukkan betapa teknologi dan mesin yang disuplai justru memperkuat sistem pendudukan yang berdampak pada hak asasi manusia.
Fenomena ini memicu seruan agar investor, lembaga keuangan, hingga pemerintah negara asal perusahaan menerapkan mekanisme due diligence yang lebih ketat sebelum menjalin kontrak besar dengan entitas yang terlibat dalam tindakan militer atau kolonial.
Gerakan global untuk boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) pun kembali bergema di kalangan aktivis hak asasi manusia dan mahasiswa. Nama-nama besar seperti Microsoft, Hyundai, dan Volvo disorot bukan semata karena skala bisnis mereka, tetapi juga potensi mereka menghentikan dukungan tak langsung terhadap pendudukan.
Beberapa universitas dan lembaga riset di Amerika Serikat serta Eropa bahkan mulai mengevaluasi kerjasama riset dan kemitraan teknologi dengan Microsoft, sementara jaringan distribusi otomotif turut menimbang kembali pasokan suku cadang alat berat dari pabrikan Korea Selatan dan Swedia.
Dengan sorotan media internasional yang kian intensif, tekanan publik terhadap Microsoft, Hyundai, dan Volvo dapat menjadi titik balik bagi korporasi global dalam mengambil sikap berlandaskan prinsip hak asasi manusia.
Laporan UN menegaskan bahwa konflik Israel–Palestina bukan sekadar krisis politik semata, melainkan ujian bagi tanggung jawab sosial perusahaan di era globalisasi. Dampak jangka panjang dari eksposur ini dapat memaksa mereka membentuk kebijakan etis yang lebih tegas, atau menghadapi risiko penurunan reputasi dan kerugian finansial akibat boikot konsumen dan investor.
Kini, publik dunia menantikan langkah konkret dari para pemimpin perusahaan tersebut. Apakah mereka akan merevisi perjanjian kontrak, menghentikan pasokan alat berat yang dipakai untuk demolisi, atau memastikan solusi teknologi yang lebih manusiawi?
Sementara itu, isu dukungan korporasi dalam pendudukan Israel atas Palestina tetap menjadi katalis bagi diskusi global mengenai batas antara bisnis dan keadilan.