Mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam akun Facebook-nya menuliskan, “Tetap Jangan Lelah Mencintai Indonesia. Sementara itu pengguna media sosial lainnya menggunakan ungkapan berbeda: “Jangan putus asa mencintai Indonesia”.
Kedua ungkapan yang bermunculan di berbagai platform media sosial ini berbeda, tapi saling melengkapi dalam menyikapi situasi dan kondisi Indonesia, akhir-akhir ini.
Mencintai Indonesia hari ini tampaknya bukan perkara mudah. Demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini kerap dirasakan hanya sebagai ritual prosedural.
Pemilu sering direduksi menjadi perebutan kekuasaan, bukan perebutan gagasan. Politik uang masih berkuasa, nepotisme menjalar, dan praktik korupsi terus menggerogoti tubuh bangsa.
Sementara itu, keadilan hukum terasa masih timpang, kesenjangan sosial-ekonomi kian melebar. Dalam situasi seperti ini, wajar bila banyak orang merasa lelah, bahkan putus asa.
Namun, di tengah kelelahan dan keputusasaan itu, dua ungkapan yang diungkapkan tokoh-tokoh publik dan masyarakat bisa menjadi pegangan moral kita: “Jangan lelah mencintai Indonesia” dan “Jangan putus asa mencintai Indonesia.” Meski mirip, keduanya memiliki makna yang berbeda dan saling melengkapi.
“Jangan lelah” adalah seruan agar kita tetap tekun dalam tindakan sehari-hari. Cinta pada tanah air bukan sekadar kata-kata, melainkan kerja nyata yang sering kali melelahkan.
Guru yang tetap mengajar meski gaji pas-pasan, tenaga kesehatan yang melayani masyarakat di pelosok, warga kampung yang gotong royong menjaga kebersihan lingkungan—itulah wujud cinta yang tak boleh berhenti.
Filsuf politik Hannah Arendt pernah menekankan bahwa manusia sungguh hadir di dunia melalui tindakan (vita activa). Politik, dalam makna sejati, bukan hanya urusan parlemen atau istana, melainkan ruang tindakan bersama, ruang publik tempat warga hadir sebagai pelaku, bukan sekadar penonton.
Karena itu, jangan lelah berarti jangan berhenti bertindak. Sebab, ketika warga berhenti, ruang publik menjadi kosong. Dan kosongnya ruang publik berarti kematian demokrasi.
Merawat Api Harapan
Ada yang lebih berat dari sekadar lelah, yakni putus asa. Lelah bisa diatasi dengan istirahat, tetapi putus asa berarti kehilangan harapan. Di titik inilah orang berhenti percaya bahwa Indonesia bisa berubah dan dapat diperbaiki.
Zygmunt Bauman, seorang sosiolog, menggambarkan dunia modern sebagai “cair”—serba cepat, rapuh, dan sulit memberi pegangan. Dalam dunia cair itu, banyak orang merasa percuma mencintai bangsa yang tidak kunjung beres. Mudah sekali kita tergelincir dalam sinisme, merasa semua sia-sia.
Tetapi, di sinilah relevan gagasan Ernst Bloch dalam The Principle of Hope. Baginya, manusia hanya bisa bertahan dan bergerak maju karena harapan. Harapan bukan sekadar angan-angan kosong, melainkan tenaga sejarah: dorongan batin untuk melampaui keadaan sekarang menuju kemungkinan yang lebih baik.
“Jangan putus asa” berarti menjaga tenaga sejarah itu. Tanpa harapan, cinta tanah air berubah menjadi beban. Dengan harapan, cinta menemukan makna sekaligus arah.
Cinta yang Kritis
Kedua ungkapan ini sekaligus mengingatkan bahwa mencintai Indonesia bukan berarti menutup mata pada keburukan. Justru sebaliknya, cinta sejati adalah cinta yang kritis. Paulo Freire menulis, cinta yang otentik adalah tindakan revolusioner: ia menuntut keberanian untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.
Karena itu, mencintai Indonesia berarti berani berkata “tidak” pada praktik korupsi, manipulasi hukum, dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia berarti bersuara ketika demokrasi diselewengkan, bertindak ketika rakyat dipinggirkan, dan menjaga solidaritas ketika masyarakat dipecah-belah oleh kepentingan politik.
Cinta tanah air bukan sekadar menyanjung negeri ini dengan kata-kata manis. Ia adalah keberanian untuk merawat yang baik, memperbaiki yang rusak, dan melawan yang busuk.
Jalan Panjang
Indonesia tidak pernah sederhana. Bangsa ini lahir dari keberagaman yang luas, penuh perbedaan bahasa, suku, agama, dan tradisi. Dari awal, mencintai Indonesia selalu menuntut energi besar. Karena itu, kita boleh saja merasa lelah, tetapi jangan berhenti. Kita boleh kecewa, tetapi jangan menyerah.
“Jangan lelah” adalah panggilan menjaga energi dalam tindakan. “Jangan putus asa” adalah panggilan menjaga api harapan agar tidak padam. Tanpa tindakan, cinta hanyalah slogan kosong. Tanpa harapan, cinta hanyalah beban yang menyakitkan.
Di tengah krisis demokrasi, ketidakadilan hukum, merebaknya korupsi, dan ketimpangan sosial, kita justru dipanggil untuk merawat keduanya sekaligus: energi dan harapan. Energi agar tetap hadir dalam tindakan, harapan agar tetap percaya pada masa depan.
Maka, mencintai Indonesia adalah perjalanan panjang, bukan perasaan sesaat. Ia menuntut ketekunan Arendtian dalam bertindak, kejernihan Baumanian dalam membaca zaman yang cair, serta harapan Blochian sebagai tenaga sejarah.
Dengan itu, kita bisa tetap berkata: meski letih, meski kecewa, Indonesia tetap layak dicintai. Karena mencintai Indonesia adalah satu-satunya cara untuk memastikan negeri ini terus hidup—bukan sekadar ada, melainkan benar-benar menjadi rumah bagi semua anak bangsa.
Pormadi Simbolon, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Banten.
Tulisan ini sudah tayang terlebih dahulu di laman Antaranews.com pada Rabu, 10 September 2025 dengan judul yang sama.