Ni Wayan Pujiastuti (Analis Kebijakan Ahli Madya)
Konflik kepentingan bukan isu baru dalam birokrasi, tetapi ia terus berkembang dalam berbagai bentuk yang lebih halus dan kompleks. Ketika pejabat publik mengaburkan batas antara kepentingan pribadi dan tanggung jawab jabatan, maka yang dirugikan bukan hanya institusi, tetapi juga kepercayaan publik. Dalam konteks inilah, hadirnya Peraturan Menteri PANRB Nomor 17 Tahun 2024 menjadi sangat relevan.
PermenPANRB ini menetapkan kerangka pengelolaan konflik kepentingan, baik yang bersifat aktual maupun potensial, dengan sumber yang mencakup kepentingan bisnis, relasi keluarga, rangkap jabatan, hingga penggunaan pengaruh dari jabatan sebelumnya. Namun, seketat apa pun regulasi disusun, ia akan tetap menjadi dokumen administratif jika tidak disertai oleh kesadaran moral dari setiap pemangku kepentingan birokrasi.
Di titik inilah teori landasan moral (moral foundations theory) dari Jonathan Haidt memberikan lensa kritis. Haidt menyatakan bahwa perilaku etis manusia bertumpu pada enam fondasi moral: keadilan, kepedulian, otoritas, loyalitas, kesucian, dan kebebasan.
Dalam praktik birokrasi, pengabaian terhadap fondasi-fondasi ini menjelaskan mengapa konflik kepentingan kerap terjadi, meskipun sudah ada regulasi yang mengaturnya. PermenPANRB No. 17 Tahun 2024 misalnya, mendorong pencatatan rutin daftar afiliasi dan deklarasi konflik kepentingan. Ini merupakan bentuk penguatan integritas birokrasi dari sisi prosedur. Namun, tanpa nilai keadilan (fairness) dan kepedulian terhadap publik (care), proses ini bisa menjadi sekadar formalitas. Demikian juga dengan aturan masa tunggu (cooling-off period) bagi pejabat yang berpindah ke sektor swasta—sebuah bentuk penghormatan terhadap prinsip otoritas yang kerap dianggap sekadar hambatan karier.
Lebih lanjut, dalam konteks Kementerian Agama, isu konflik kepentingan bersentuhan langsung dengan arah kebijakan strategis dan ruh utama dari visi Agama Berdampak. Agama bukan hanya sumber spiritualitas, tetapi juga sumber moralitas publik yang hidup.
Dalam kerangka teori moral foundations dari Jonathan Haidt, agama berperan penting dalam membentuk dan memperkuat pilar-pilar moral seperti fairness (keadilan), authority (penghormatan terhadap otoritas yang sah), dan care (kepedulian terhadap sesama). Ketika nilai-nilai agama benar-benar meresap ke dalam perilaku birokrasi, maka keputusankeputusan publik tidak lagi bersandar pada afiliasi pribadi, tetapi pada tanggung jawab etis terhadap masyarakat.
PermenPANRB No. 17 Tahun 2024 memang menyediakan kerangka hukum yang kokoh untuk mengelola konflik kepentingan. Namun, regulasi ini harus diiringi dengan transformasi budaya kerja yang menempatkan agama bukan sekadar simbol, tetapi sebagai kekuatan etis yang menjaga moral jabatan publik. Sebab, keberhasilan birokrasi tidak diukur dari banyaknya aturan yang dibuat, melainkan dari dampak nyata yang dirasakan masyarakat. Dan dampak itu hanya muncul bila jabatan dijalankan sebagai amanah yang luhur, bukan sebagai privilese yang bisa dinegosiasikan.
PermenPANRB No. 17 Tahun 2024 dapat menjadi alat penguat dalam mencegah deviasi kepentingan, namun ia harus dilengkapi dengan transformasi budaya kerja dan moralitas. Karena pada akhirnya, keberhasilan birokrasi bukan diukur dari jumlah regulasi yang dimiliki, melainkan dari dampak nyata yang dirasakan oleh publik. Dan, dampak itu hanya muncul bila jabatan dijalankan sebagai amanah, bukan privilege.
Ni Wayan Pujiastuti (Analis Kebijakan Ahli Madya)