M. Ishom el-Saha (Guru Besar UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten)
Menunaikan ibadah Haji secara be-rombongan merupakan kebiasaan yang telah berlangsung lama. Umat Islam dari penjuru dunia terbiasa melaksanakan ibadah haji secara berkelompok dan terorganisasi dengan dukungan satuan-satuan militer. Hal ini dimaksudkan untuk mengamankan jamaah dari kesulitan dan situasi keamanan di Jazirah Arab.
Karavan atau rombongan Haji sebelum ada transportasi modern yang paling terkenal ada dua: Rombongan pertama ialah rombongan haji Maroko yang terdiri dari peziarah asal Maroko dan Afrika Barat. Mereka melakukan perjalanan bersama-sama atau sendiri-sendiri melalui darat dari Afrika Utara hingga mencapai Kairo, atau melalui laut dari Maroko ke Alexandria dan dari sana ke Kairo melalui Sungai Nil.
Rombongan kedua, yang paling penting dan terbesar sepanjang era Islam, adalah kelompok haji Mesir, yang lebih terorganisasi dan penting. Karena sebagian besar tugasnya adalah membawa Kiswah Kakbah dari Mesir ke Mekkah melalui rute yang dikenal sepanjang sejarah sebagai “Jalur Peziarah Mesir.”
Rombongan pertama yakni jemaah haji asal Maroko dan Afrika Barat biasanya sesudah memasuki wilayah Mesir akan bergabung dengan rombongan kedua sehingga jumlah rombongan menjadi bertambah banyak.
Ada kisah menarik dalam konteks perjalanan rombongan pertama sebelum bergabung dengan rombongan kedua. Kisah yang disebutkan di dalam “Al-Hujjaj fi at-Tawashuli” ini berlatarkan salah satu jemaah asal Maroko bernama Najmuddin yang dalam perjalanan gajinya terpisah dari rombongan.
Najmuddin dikenal oleh sesama jemaah haji dalam rombongannya sebagai lelaki yang saleh karena ketakwaan dan kezuhudannya, serta kerinduannya yang dalam untuk mengunjungi Baitullah yang suci.
Dalam setiap tahap perjalanan, ia senantiasa memperbanyak doa dan zikir, hingga namanya dikenal sebagai teladan dalam ketulusan dan ketaatan.
Suatu senja, saat kafilah berhenti di sebuah lembah sunyi untuk beristirahat, Najmuddin menyendiri sejenak untuk merenung dan salat malam. Ia menjauh dari rombongan dalam diam dan ketenangan. Namun saat kembali ke tempat perkemahan, ia mendapati bahwa kafilah telah berangkat dan meninggalkannya sendirian di tengah padang pasir yang sunyi dan luas, tanpa teman selain Allah.
Najmuddin bingung, menoleh ke kanan dan kiri, namun yang tampak hanyalah pasir dan fatamorgana. Airnya hampir habis, bekalnya dimakan oleh lapar, dan ia tidak tahu arah jalan.
Meski begitu, Najmuddin tidak panik. Ia duduk di atas batu dan berkata, “Ya Rabb, jika mereka berjalan bersama penunjuk jalan, maka Engkau adalah penunjuk jalanku. Jika mereka tersesat, maka jalan-Mu takkan pernah hilang. Jika mereka bersama rombongan, maka aku bersama-Mu, wahai Tuhanku.”
Lalu ia mengangkat tangan ke langit, dan berdoa kepada Tuhannya: “Wahai Dzat yang tak pernah menyia-nyiakan titipan, wahai Penunjuk orang-orang yang tersesat, tunjukkan aku jalan-Mu dan jauhkan aku dari kebinasaan.”
Belum lama ia selesai berdoa, tampaklah dari kejauhan sosok seorang penunggang unta putih, seolah muncul dari balik fatamorgana. Saat mendekat, orang itu menyapanya: “Assalamu ‘alaika, wahai Najmuddin. Apa yang membawamu ke sini?”
Najmuddin pun menceritakan kejadiannya, lalu orang itu tersenyum dan berkata: “Barang siapa yang Allah menjadi penunjuk jalannya, maka ia takkan tersesat. Mari, kita kejar kembali kafilah, insya Allah.”
Najmuddin pun menunggang unta bersama lelaki itu, melewati jalan-jalan yang belum pernah ia kenali sebelumnya, hingga akhirnya mereka menyusul kafilah setelah dua malam. Ketika ia tiba, para jemaah pun terkejut dan berkata: “Engkau datang dari arah yang berbeda!”
Najmuddin pun menjawab, dengan mata berkaca-kaca: “Jalan manusia satu hal, jalan Allah adalah hal lain. Aku tersesat di bumi, namun kutemukan diriku di sisi Allah.”
Sejak saat itu, Najmuddin dikenal di negerinya sebagai “Najm at-Tawakkul” (Bintang Ketawakalan), dan ia biasa berkata kepada siapa pun yang bertanya: “Barang siapa tersesat dari kafilah, namun tidak tersesat dari Allah, maka ia berada di jalan yang benar.”
Demikian sepenggal kisah seorang bernama Najmuddin yang diangkat menjadi wali, sesudah ia terpisah dari rombongannya. Dengan kisah ini, kita belajar bahwa kekuatan niat dan tawakkal dalam menunaikan ibadah haji akan meningkatkan spiritualitas dan memudahkan untuk mendapatkan pertolongan dari Allah SWT, Dzat yang telah mengundang jemaah haji untuk datang ke Tanah Suci. Amiin Ya Rabbal ‘Alamin
M. Ishom el-Saha (Guru Besar UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten)