Papua (ItjenNews) – Di tengah lanskap alam Papua yang memesona dan kaya akan keberagaman budaya, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag) hadir dengan semangat pengawasan. Itjen Kemenag terus menunjukkan komitmennya sebagai garda terdepan dalam pengawasan internal.
Di tanah yang dijuluki Mutiara Hitam ini, komitmen tersebut diwujudkan melalui pengawalan terhadap program Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Katolik. Fokus utamanya adalah penyaluran bantuan pembangunan rumah ibadah di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), termasuk Papua dan Papua Pegunungan.
Melalui kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) langsung di lapangan, Itjen memastikan tidak hanya kesesuaian anggaran dan progres fisik pembangunan. Lebih dari itu, Itjen menjamin bahwa bantuan yang diberikan berperan nyata dalam memperkuat harmoni sosial, mengokohkan moderasi beragama, dan menumbuhkan semangat toleransi antarumat.
Kehadiran rumah ibadah yang layak menjadi penanda kuat kehadiran negara dalam kehidupan beragama masyarakat. Di wilayah yang pernah menghadapi tantangan kerukunan seperti Papua Pegunungan, pembangunan gereja memiliki makna yang mendalam. Ini merupakan wujud komitmen pemerintah dalam merawat keharmonisan, mendorong keberagamaan yang inklusif, serta membangun kepercayaan lintas komunitas.
Bagi umat Katolik di Papua Pegunungan, gereja adalah tempat yang memeluk harapan tempat berlindung dari cuaca, kesendirian, dan keterbatasan. Ia menjadi simbol perhatian negara, bahwa di balik segala tantangan, masih ada suara doa yang lebih kuat dari keraguan.
Doa dan Palu di Tengah Keteguhan
Di hamparan hijau Distrik Skanto, nyanyian doa berpadu dengan suara palu dan mesin molen. Sebuah bangunan gereja tengah dibangun untuk umat Katolik Paroki Sang Penabur Skanto, yang sejak 2018 telah menjadikan tanah ini sebagai tempat ibadah. Berkat bantuan dari Ditjen Bimas Katolik, rumah ibadah itu kini makin mendekati bentuk idealnya.
Angin sejuk menyusuri lembah-lembah Pegunungan Jayawijaya, membawa kabut dan keheningan khas pegunungan. Namun di desa Muliama, bunyi palu dari bangunan gereja yang sedang dibangun terdengar bak doa yang bekerja dalam senyap tekun dan penuh harapan. Dalam suasana yang penuh keteguhan, umat Katolik terus melangkah membangun, tidak hanya bangunan fisik, tapi juga ruang damai dan martabat.
Meski beberapa waktu lalu Wamena menghadapi situasi penuh tantangan akibat dinamika lokal, Kementerian Agama melalui Ditjen Bimas Katolik tetap menyalurkan bantuan pembangunan rumah ibadah di empat titik: Skanto, Muliama, Kobakma, dan Wita Waya. Bantuan ini menunjukkan bahwa negara tidak abai terhadap kebutuhan spiritual masyarakat. Ini juga menjadi cermin kepedulian pemerintah untuk terus menghadirkan keteduhan dan semangat moderasi beragama.
“Di tanah yang membutuhkan kehadiran damai, rumah ibadah harus menjadi pelindung tempat umat membangun kembali kepercayaan kepada Tuhan, sesama, dan bangsa,” ujar Ade, satu anggota tim monitoring Itjen Kemenag.
Konsep moderasi beragama yang menekankan toleransi, keadilan, dan penolakan terhadap kekerasan menjadi sangat relevan di Papua Pegunungan. Gereja hadir tak hanya sebagai pusat spiritual, namun juga simpul sosial yang memperkuat persaudaraan lintas etnis dan budaya.
Menelusuri Progres dan Mengurai Tantangan
Medan Papua Pegunungan menghadirkan tantangan tersendiri. Untuk menuju lokasi pembangunan di Distrik Kobakma, tim Itjen menempuh lebih dari tiga jam perjalanan melalui jalan berbatu dan belum beraspal. Tanjakan curam hingga 45° menjadi ujian tersendiri. Kabut tebal, suhu rendah, dan rintik hujan menyambut sepanjang perjalanan. Kendaraan beberapa kali tergelincir, namun semangat tim tetap tinggi untuk tiba di tujuan.
Masyarakat setempat menjuluki tanjakan ekstrem itu dengan sebutan “adu mama”. Ungkapan khas yang menggambarkan kondisi yang menegangkan namun tetap disikapi dengan cara unik khas Papua.
Uniknya, dalam perjalanan, tim mengenal istilah lokal “menyiram bunga” sebutan santun untuk buang air kecil. Sebuah cerminan kehalusan budaya Papua yang tetap terjaga, bahkan dalam aktivitas paling sederhana.
Semua kelelahan pun terasa terbayar saat tiba di lokasi. Pemandangan padang rumput dan bukit-bukit yang tenang menyambut. Di bulan Mei, padang rumput ini berubah ungu dan dikenal sebagai “Rumput Mei” fenomena yang dinanti warga Wamena setiap tahun. Di awal Juni, nuansa ungu mulai memudar, namun tetap meninggalkan keindahan yang menyapa hangat kedatangan tim.
Di balik segala rintangan, pembangunan rumah ibadah terus berlangsung. Di setiap batu yang disusun dan tiang yang ditegakkan, tertanam harapan dan semangat umat untuk hidup berdampingan dalam damai. Rumah-rumah ibadah ini menjadi simbol ikhtiar membangun ruang bersama tempat perjumpaan langit dan bumi, umat dan negara.
Empat titik pembangunan gereja ini menjadi wujud nyata hadirnya negara bagi seluruh warga, termasuk yang berdoa di lereng Jayawijaya. Tahap pertama penyaluran bantuan telah memberi dorongan besar terhadap progres di lapangan.
“Tiang-tiang kolom sudah berdiri. Hati umat ikut tegak bersamanya,” ucap seorang pengurus pembangunan Paroki Sang Penabur Skanto. Progresnya bahkan melampaui target: 22,59% dengan deviasi positif 0,45%. Ini menjadi penyemangat tersendiri bagi umat yang selama ini beribadah di bangunan sederhana hasil swadaya.
Pembangunan gereja di wilayah ini sangat mendesak. Banyak kampung masih menggunakan bangunan semi permanen yang rawan rusak. Bantuan pemerintah menjadi tali penghubung spiritual dan sosial, menjangkau daerah-daerah yang selama ini belum tersentuh layanan publik secara optimal.
Mencermati Temuan dan Membangun Akuntabilitas
Gereja-gereja ini adalah cerminan kehadiran negara yang konsisten hadir tidak hanya saat perayaan, tetapi juga dalam proses panjang pembangunan kehidupan bersama. Di tengah kondisi yang menantang, rumah ibadah menjadi simbol ketekunan dan harapan akan masa depan yang damai.
Namun, proses pembangunan tentu tak lepas dari catatan penting. Di Muliama, Kobakma, dan Wita Waya, tim menemukan adanya dominasi satu pengusaha lokal yang memegang peran dari perencanaan hingga pemasokan material. Hal ini menjadi perhatian agar ke depan sistem pembangunan lebih transparan dan partisipatif.
Selain itu, catatan administratif juga menjadi sorotan. Penguatan dalam pelaporan dan pengelolaan keuangan diperlukan agar setiap bantuan benar-benar menghasilkan bangunan yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Meski demikian, capaian positif tetap terlihat. Di Paroki Kristus Terang Dunia Yiwika, dari lahan kosong kini telah tampak bentuk gereja yang menjanjikan. Di Stasi Paulus Eragama, progres bahkan mencapai 28,34% dalam sembilan minggu. Ini menjadi harapan baru, meskipun penataan dokumentasi tetap perlu diperbaiki.
Untuk memastikan dana tersalurkan secara efektif dan efisien, Itjen Kemenag memberikan sejumlah rekomendasi. Mulai dari survei harga material secara independen, pelaporan mingguan progres fisik, hingga pengawasan pencairan tahap kedua agar seluruh proses berjalan sesuai prosedur. Rekomendasi ini diharapkan mampu memperkuat transparansi dan keberlanjutan pembangunan rumah ibadah di Tanah Papua.