Ketika kita berbicara tentang mimpi Indonesia menjadi negara maju, salah satu kunci yang sering diangkat adalah jumlah wirausahawan atau entrepreneur. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah wirausaha di Indonesia masih sekitar 3,5% dari total populasi. Angka ini memang terus meningkat, tetapi masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat yang mencapai lebih dari 10% atau bahkan Singapura yang mencapai 8,7%.
Mengapa angka wirausaha begitu penting? Karena entrepreneur bukan hanya soal mendirikan usaha, tetapi juga menciptakan lapangan kerja, menghadirkan inovasi, dan menggerakkan ekonomi bangsa. Tanpa wirausaha yang kuat, pertumbuhan ekonomi akan rapuh, dan cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 akan sulit tercapai.
Dalam konteks inilah, perguruan tinggi, khususnya Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) seperti UIN, IAIN, maupun STAIN di bawah Kementerian Agama, memiliki peran strategis. Fakultas tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga calon wirausahawan yang berjiwa mandiri, inovatif, dan berlandaskan nilai-nilai Islam.
Pertanyaan mendasar kemudian adalah: bagaimana mencetak entrepreneur? Apakah cukup melalui kuliah teori, diskusi di kelas, atau ujian akhir semester? Jawabannya jelas tidak. Bisnis adalah keterampilan praktis yang hanya bisa dikuasai jika mahasiswa terjun langsung merasakan denyutnya.
Seperti belajar berenang, kita tidak bisa hanya membaca buku renang. Harus ada kolam sebagai laboratorium tempat praktik. Begitu juga dengan bisnis. Mahasiswa butuh ruang belajar yang konkret: dari proses membeli bahan dasar, mengelola keuangan, menyusun strategi pemasaran, hingga melayani konsumen.
Di sinilah konsep inkubator bisnis hadir. Inkubator menjadi wadah yang mempertemukan teori dengan praktik, membekali mahasiswa dengan pengalaman riil agar mereka siap menjadi wirausahawan setelah lulus. Inkubator bisnis di perguruan tinggi ibarat jembatan antara ruang kuliah dengan dunia nyata.
Bagi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, bentuk inkubator bisnis yang paling relevan adalah Koperasi Syariah Mahasiswa atau yang dikenal dengan Kopsyarma. Mengapa koperasi syariah? Karena koperasi mencerminkan semangat kebersamaan, gotong royong, sekaligus prinsip keadilan yang sejalan dengan nilai-nilai syariah.
Salah satu contoh nyata adalah Koperasi Syariah Mahasiswa Al Iqthishod FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya. Koperasi ini bukan sekadar unit usaha, tetapi juga laboratorium pembelajaran bisnis syariah. Di dalamnya, mahasiswa diajak memahami bagaimana mengelola usaha secara transparan, bagaimana melayani anggota dan konsumen, hingga bagaimana mematuhi regulasi hukum koperasi.
Kopsyarma Al Iqthishod bahkan telah memiliki pengesahan badan hukum, artinya operasionalnya diawasi oleh pemerintah. Dengan status ini, koperasi tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga berfungsi sebagai inkubator bisnis resmi yang membekali mahasiswa dengan tata kelola profesional.
Lebih dari itu, Kopsyarma membangun awareness bisnis pada anggotanya. Mahasiswa yang terlibat merasakan langsung bagaimana rasanya menjadi pengurus, penyedia layanan, sekaligus bagian dari manajemen keuangan. Pengalaman ini tidak bisa diperoleh dari buku teks, tetapi hanya dari praktik langsung di lapangan.
Jika kita menengok ke negara-negara maju, hampir semua memiliki ekosistem kewirausahaan yang kuat, mulai dari inkubator, start-up center, hingga venture capital. Di Indonesia, langkah ini juga mulai diambil, namun sering kali masih terpusat di perguruan tinggi umum. Padahal, perguruan tinggi Islam seperti UIN, IAIN, atau STAIN punya potensi besar karena mereka tidak hanya mendidik soal bisnis, tetapi juga menanamkan nilai moral dan etika syariah.
FEBI di lingkungan PTKIN, melalui Kopsyarma, bisa tampil sebagai pionir. Dengan memadukan ilmu ekonomi modern, prinsip syariah, dan pengalaman praktis koperasi, mahasiswa tidak hanya belajar menjadi pebisnis, tetapi juga pemimpin yang berintegritas.
Bayangkan jika setiap UIN/IAIN/STAIN memiliki Kopsyarma yang aktif. Maka ratusan ribu mahasiswa akan terbiasa mengelola usaha sejak dini. Ketika lulus, mereka tidak lagi bingung mencari pekerjaan, tetapi justru siap menciptakan lapangan pekerjaan.
Menariknya, upaya ini selaras dengan program pemerintah dalam mengembangkan Koperasi Merah Putih. Program ini bertujuan memperkuat koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional dengan skala besar dan berdaya saing.
Di titik ini, Kopsyarma memiliki peluang emas. Pertama, sebagai mitra pendampingan. Mahasiswa bisa dilatih oleh koperasi besar dalam hal manajemen, pemasaran, dan digitalisasi. Kedua, sebagai mitra usaha. Produk-produk yang dihasilkan oleh Kopsyarma bisa bermitra dengan jaringan Koperasi Merah Putih, sehingga ada value chain yang saling menguatkan.
Dengan prinsip syariah, Kopsyarma dapat memberi warna tersendiri pada gerakan koperasi nasional. Nilai keadilan, transparansi, dan keberkahan yang ditanamkan dalam koperasi syariah bisa menjadi role model bagi penguatan koperasi di Indonesia.
Kopsyarma pada akhirnya bukan sekadar koperasi, tetapi gerakan menyiapkan entrepreneur muda syariah. Mahasiswa yang aktif di Kopsyarma belajar disiplin keuangan, melatih kepemimpinan, mengasah keterampilan komunikasi, hingga merasakan langsung dinamika pasar. Semua pengalaman ini akan menjadi bekal berharga saat mereka terjun ke masyarakat.
Lebih jauh lagi, Kopsyarma adalah bentuk nyata kontribusi perguruan tinggi Islam dalam mencetak entrepreneurship ecosystem. Ketika ekosistem ini tumbuh, cita-cita besar Indonesia untuk menjadi negara maju akan lebih mudah diwujudkan.
Jika Kopsyarma bisa diperkuat dan direplikasi di seluruh perguruan tinggi Islam di Indonesia, maka kita tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga melahirkan entrepreneur muda syariah yang berintegritas. Dengan sinergi bersama program pemerintah seperti Koperasi Merah Putih, Kopsyarma dapat menjadi mitra strategis dalam menguatkan ekonomi nasional.
Pada akhirnya, inkubator bisnis itu memang ada di hadapan kita: ia bernama Koperasi Syariah Mahasiswa. Dari sinilah, mimpi Indonesia menuju negara maju, mandiri, dan bermartabat dapat dipupuk maka hal ini bisa dimulai dari kampus, demi Indonesia Emas 2045.
Achmad Room Fitrianto, PhD (Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama FEBI UIN Sunan Ampel, Alumnus School of Government and Management, Murdoch University Australian dan School of Geografi and Regional Planning Curtin University Australia)
