Setiap musim haji tiba, ribuan wajah haru dan penuh harap terlihat di berbagai bandara Indonesia. Ada yang meneteskan air mata karena bahagia, ada yang memeluk erat anak-anak dan cucu sebelum berangkat, ada pula yang terdiam penuh doa di dalam hati. Tahun ini, lebih dari 200.000 jemaah dari Indonesia diberangkatkan menuju Tanah Suci. Sebuah angka besar, mencerminkan betapa tingginya antusiasme umat Islam di tanah air untuk memenuhi panggilan Ilahi.
Namun, di balik semangat itu, ada fakta yang tidak bisa diabaikan. Mayoritas dari mereka adalah warga dari pedesaan, orang-orang baik yang sederhana, yang mungkin belum pernah sekalipun keluar negeri, apalagi ke Arab Saudi dengan iklim gurun yang kering, panas, dan penuh debu. Kondisi geografis dan cuaca di sana jelas jauh berbeda dengan tanah air yang hijau dan lembap. Apalagi, sekitar 30 persen dari jemaah haji Indonesia adalah lansia, berusia di atas 65 tahun.
Dengan usia dan kondisi tubuh yang tak sebugar waktu muda, perjalanan ibadah haji yang panjang dan melelahkan tentu bukan hal mudah. Ibadah haji bukan sekadar perjalanan spiritual, tapi juga ujian fisik yang berat, berjalan jauh, antre panjang, berdesakan, di bawah terik matahari yang bisa mencapai 45 derajat Celsius lebih. Di sinilah pentingnya fikih taysir, atau fikih yang memudahkan.
Fikih Taysir, Pilihan Bijak
Fikih taysir (fikih yang memberi kemudahan) bukan berarti mengurangi makna ibadah. Ia justru hadir sebagai solusi dari Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang memahami kemampuan dan keterbatasan umatnya. Alquran menyebutnya dalam surat At-Taghabun:16: “Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupanmu”. Dalam konteks haji, fikih taysir menjadi pilihan yang tepat dan bijak, terutama agar ibadah tetap sah, tetapi bisa dilakukan dengan nyaman, aman, sehat, dan bugar.
Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Qarafi, seorang ulama fikih terkemuka dari Mazhab Maliki: “Tujuan utama Syariat adalah menjaga kemaslahatan manusia. Ketika ada kesulitan, maka Syariat memberikan kemudahan.”
(al-Furuq, Juz 2).
Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Agama, sudah sejak lama menganjurkan pendekatan ini. Beberapa bentuk ibadah bisa dipiluh secara mudah diantaranya:
Pertama, pelaksanaan lontar jumrah, jemaah dihimbau agar tidak memaksakan diri melontar di waktu afdhal (antara tergelincir matahari hingga sebelum maghrib) karena biasanya kondisi terlalu padat dan berisiko. Sebagai gantinya, jemaah bisa memilih waktu yang lebih longgar dan aman, seperti setelah tengah malam atau pagi hari.
Lontar jumrah juga bisa dengan cara ewakilkan (taukil) lontar jumrah kepada orang lain yang lebih muda dan kuat juga dibolehkan dalam kondisi tertentu. Ini bukan kelonggaran tanpa dasar, tetapi berdasar pada pendapat ulama yang berpegang pada prinsip menghindari mudarat. Dalam fikih, menghindari bahaya lebih diutamakan daripada mengejar kesempurnaan.
Bahkan, pada musim haji tahun 2025 ini pemerintah memberikan panduan kemudahan lontar jumrah karena alasan cuaca panas ekstrem dengan dibolehkan menjama’ ta’khir untuk menjaga keselamatan diri (hifz an-nafs), serta sejalan dengan pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali diimbau agar pelaksanaan lontar jumrah hari Tasyriq dilakukan dengan jama’ ta’khir. Bagi jemaah nafar awal mengakhirkan lontaran tanggal 11 pada tanggal 12 Zulhijah, sedangkan bagi jemaah nafar tsani mengakhirkan lontaran tanggal 11 dan 12, pada tanggal 13 Zulhijah.
Sedangkan cara jama’ ta’khir lontar jumrah: bagi jemaah nafar awal melontar pada masing-masing jumroh ula, wustha dan aqabah sebanyak 14 kali (7 kali lontaran diniatkan untuk tanggal 11 dan 7 kali lontaran untuk tanggal 12). Sedangkan bagi jemaah nafar tsani melontar pada masing-masing jumrah ula, wustha dan aqabah sebanyak 21 kali (7 kali lontaran diniatkan untuk tanggal 11, dan 7 kali untuk tanggal 12 serta 7 kali untuk tanggal 13).
Kedua, pelaksanaan skema Murur bagi jemaah lansia dan disabilitas. Murur merupakan prosesi mobilisasi rombongan jemaah melintasi Muzdalifah menuju Mina yang dinilai sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya keterlambatan sekaligus menjadi upaya menjaga kesehatan jemaah dan mencegah risiko buruk lainnya (hifz al-nafs), tanpa mengurangi keparipurnaan dari rukun haji.
Murur merupakan salah satu dari lima skema puncak haji (empat skema lainnya adalah skema normal, safari wukuf non-mandiri, safari wukuf KKHI, dan badal haji), dimana jemaah haji yang selesai wukuf di Arafah akan diangkut menggunakan bus melintas secara pelan melewati Muzdalifah dengan berdiam di dalamnya, tidak turun.
Ketiga, tanazul atau memisah diri dari Mina yang memungkinkan jemaah yang tinggal di kawasan dekat Jamarat —seperti Syisyah dan Nawariyah— untuk kembali ke hotel masing-masing setelah melempar jumrah. Mereka tak lagi menempati tenda di Mina. Jemaah tinggalnya di hotel karena lebih dekat ke tempat pelemparan daripada kemahnya sendiri. Dengan skema tanazul ini akan memberi efek posirir karena area tenda di Mina yang biasanya padat bisa lebih lapang.
Keempat, fikih haji yang membolehkan badal (pengganti) thawaf, sai, dan tahallul bagi jemaah haji yang memiliki kendala fisik, seperti lansia yang sulit untuk berjalan, mereka yang sakit, atau kendala syar’i lainnya. Semua alasan tersebut telah didasarkan pafa kaidah fikih yang menyebutkan: “Ad-dhararu yuzâlu”, bahwa bahaya harus dihilangkan.
Jangan Paksakan yang Sunnah
Banyak jemaah yang ingin mendekat ke Ka’bah, mencium Hajar Aswad, berdoa di Multazam, salat di Hijir Ismail, atau masuk Raudhah di Madinah. Semua itu memang tempat-tempat yang penuh keutamaan. Tapi bila harus berdesakan, mengantre berjam-jam, dan memaksakan diri, maka lebih baik ditinggalkan demi menjaga kesehatan. Fakta membuktikan bahwa banyaj jemaah haji yang ingin menjalankan ibadah sunnah tapi dilakukan dengan cara kurang baik, seperti mendorong atau menginjak orang lain yang seharusnya jauh dari perilaku saat haji.
Syekh Yusuf Al-Qaradawi, ulama kontemporer terkemuka, menekankan dalam bukunya Fiqh al-Taysir: “Memudahkan umat dalam menjalankan syariat adalah bagian dari Maqashid Syariah. Allah tidak menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya, dan Islam tidak dibangun di atas penderitaan.”
Demikian pula dengan thawaf ifadhah— salah satu rukun haji yang wajib dilakukan. Jemaah tidak perlu buru-buru melakukannya di tengah kepadatan atau panas terik. Waktu pelaksanaannya cukup panjang, bahkan bisa dilakukan hingga sebelum meninggalkan Makkah, selama belum melakukan hubungan suami istri (karena belum tahallul tsani). Jadi, pilihlah waktu yang lebih nyaman dan aman.
Mabit di Mina? Ada Pendapat yang Meringankan. Satu lagi yang sering jadi pertanyaan jemaah, apakah harus bermalam di Mina selama hari-hari tasyriq? Jawabannya tergantung pada kondisi. Dalam pendapat sebagian ulama, mabit di Mina adalah sunnah.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menyebutkan: “Jika seseorang memiliki uzur seperti sakit atau kesulitan yang nyata, maka gugur kewajiban mabit, dan tidak ada fidyah atasnya.” (Al-Mughni, Juz 3).
Tujuan mabit di Mina adalah agar jemaah bisa lebih mudah melakukan lontar jumrah. Maka, bila jemaah tinggal di hotel yang tidak jauh dari jamarat, dan kesulitan masuk ke tenda Mina yang krodit dan panas, mereka bisa beristirahat di hotel dan tetap menjalankan lontar dengan aman.
Menjaga Spirit, Menjaga Daya Tahan
Spirit ibadah haji adalah kesungguhan dan pengorbanan, tapi Islam tak pernah memerintahkan umatnya untuk menyakiti diri sendiri. Fikih taysir menjadi nafas segar bagi jemaah, terutama mereka yang lansia atau memiliki keterbatasan fisik. Ini bukan kemunduran spiritual, melainkan bentuk kecerdasan beragama, memilih yang mudah tapi sahih, agar bisa menyelesaikan ibadah hingga akhir.
Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda: “Sesungguhnya agama ini mudah. Tidaklah seseorang memaksakan diri dalam beragama, kecuali ia akan dikalahkan olehnya.”
(HR. Bukhari).
Kita bisa membayangkan, kelelahan atau tergeletak di RS, jemaah bisa tetap segar, bisa salat berjamaah, bisa berdoa dengan khusyuk, bisa menikmati suasana Tanah Suci dengan tenang. Bukankah itu juga bagian dari kemabruran?
Jadi, haji bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga perjalanan ilmu dan kebijaksanaan. Jemaah perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang opsi-opsi fikih yang memudahkan, agar tidak terjebak dalam pemahaman sempit bahwa semua harus dilakukan “yang afdhal”, walau membahayakan diri. Sebagaimana kaidah fikih besar menyatakan: “Al-masyaqqatu tajlibu at-taysir”, kesulitan itu mendatangkan kemudahan.
Terakhir, mari beribadah dengan tenang, dengan sadar, dan dengan pilihan yang paling sesuai dengan kemampuan masing-masing. Karena pada akhirnya, Allah tidak menilai seberapa berat kita menderita dalam ibadah, tapi seberapa ikhlas dan cerdas kita dalam menjalankannya. Fikih taysir bukan keringanan biasa, ia adalah pilihan cerdas di tengah tantangan besar ibadah haji.[]