Menjaga kesehatan telah menjadi komitmen banyak orang di era modern ini. Namun, di balik semangat hidup sehat, ada tantangan lain yang tak kalah penting: memilah informasi. Di tengah derasnya arus digital, kita tidak hanya perlu menjaga tubuh, tetapi juga menjaga pikiran dari paparan informasi keliru yang berpotensi menyesatkan.
Baru-baru ini, publik kembali dihebohkan dengan pesan berantai yang menyebarkan daftar panjang produk minuman yang dituduh berbahaya hanya karena mengandung aspartam sebuah pemanis buatan yang telah lama digunakan secara global.
Dalam pesan tersebut, diklaim bahwa aspartam bisa memicu kanker otak, pengerasan sumsum tulang, hingga diabetes, lengkap dengan narasi dramatis yang mencatut nama-nama merek terkenal dan tokoh medis.
Bagi pembaca awam, tentu saja isi pesan semacam ini terdengar mencemaskan, bahkan menakutkan. Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya: benarkah semua itu? Apakah ada dasar ilmiahnya?
Faktanya, pesan tersebut adalah hoaks lama yang kembali di daur ulang. Informasi yang disebarkan tidak berdasar, tidak diverifikasi oleh lembaga resmi, dan sudah berulang kali dibantah oleh para ahli kesehatan.
Aspartam sendiri merupakan pemanis rendah kalori yang telah digunakan selama lebih dari empat dekade. Rasa manisnya 200 kali lebih kuat dari gula biasa, sehingga penggunaannya dalam jumlah kecil pun sudah memberikan efek rasa yang cukup.
Produk-produk seperti minuman ringan bebas gula, suplemen diet, obat-obatan, dan minuman energi sering menggunakan aspartam sebagai alternatif pemanis. Ini sangat bermanfaat bagi mereka yang ingin menekan konsumsi gula, baik karena alasan gaya hidup, kebutuhan medis seperti diabetes, maupun program diet yang bertujuan menjaga berat badan.
Menurut dr. Gia Pratama seorang praktisi medis yang juga aktif dalam edukasi publik penggunaan aspartam sangat umum dalam industri makanan dan minuman rendah kalori.
“Pemanis ini dapat menjadi jembatan transisi yang efektif bagi individu yang ingin mengurangi konsumsi gula tanpa perlu kehilangan kenikmatan rasa manis. Dalam banyak kasus, strategi seperti ini sangat membantu dalam membentuk pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan,” jelasnya.
Tak hanya itu, sejumlah lembaga kredibel dunia juga telah lama melakukan penelitian terhadap aspartam. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM), Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat, European Food Safety Authority (EFSA), hingga World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa aspartam aman untuk dikonsumsi selama penggunaannya sesuai batas yang direkomendasikan.
Pesan hoaks yang berisi tuduhan bahwa aspartam menyebabkan kanker dan berbagai gangguan kesehatan lainnya telah dibantah secara resmi oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Bahkan, IDI menegaskan bahwa tidak pernah mengeluarkan rilis apapun terkait daftar produk yang mengandung aspartam sebagai pemicu kanker. Nama dokter yang dicatut dalam pesan itu pun tidak terdaftar sebagai anggota IDI.
Informasi yang kredibel hanya dikeluarkan melalui kanal resmi, dilengkapi kop surat dan tanda tangan yang dapat diverifikasi. Menyebarkan informasi palsu seperti ini tidak hanya berisiko menciptakan kepanikan, tetapi juga bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap produk yang sebenarnya aman dan telah lolos uji.
Parahnya lagi, masyarakat bisa menjadi takut mengonsumsi produk rendah gula yang justru lebih sehat hanya karena termakan isu yang tidak berdasar. Perlu diingat, menyebarkan berita bohong juga memiliki konsekuensi hukum.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 28 ayat 1 menyatakan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menyebarkan informasi palsu yang menyesatkan publik, bisa dijatuhi hukuman penjara hingga 6 tahun atau denda sebesar 1 miliar rupiah.
Ragu terhadap informasi? Jangan cari jawaban di grup WhatsApp. Rujuklah ke sumber yang terpercaya, seperti BPOM, WHO, atau konsultasikan langsung dengan tenaga medis profesional.