Kita baru saja memasuki tahun baru Islam 1 Muharram 1447 H, angka yang menunjukkan perjalanan waktu umat Islam sejak peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah dengan segala perjuangan dan dinamikanya. Penetapan awal kalender hijriyyah ini tentunya bukanlah perkara kebetulan namun didasarkan pada peristiwa kemanusiaan dan risalah Islam yang sangat monumental.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sekitar 17 tahun setelah hijrah, umat Islam menetapkan peristiwa ini sebagai titik awal penanggalan dalam Islam, yang juga bertepatan dengan terusirnya bangsa penjajah Romawi dari bumi Palestina. Maka sedari awal, peristiwa penetapan hijrah sebagai acuan perjalanan perjuangan dan peristiwa hijrah itu sendiri memiliki semangat membebaskan dan merajut ikatan persaudaraan umat manusia yang sangat kuat.
Bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam penanggalan hijriyyah pun bukan bulan biasa. Dalam bahasa Arab, Muharram memiliki arti sesuatu yang dimuliakan. Disebut demikian karena seluruh suku Arab di masa Jahiliyyah telah sepakat untuk memuliakannya dengan tidak berperang pada bulan ini. Inilah bulan yang dijaga Marwah dan damainya, bulan yang disakralkan oleh kearifan budaya Arab dan kemudian diteguhkan oleh ajaran Islam. Muharram bukan sekedar menjadi satu dari empat bulan yang diagungkan dalam Islam namun ia juga mengandung spirit merawat persaudaraan dan kemanusiaan yang kokoh atau yg lebih kita kenal dengan ukhuwwah.
Salah satu nikmat terbesar dalam beragama dan berkemanusiaan adalah terajutnya persaudaraan, baik persaudaraan dalam aqidah (ukhuwah islamiyah), persaudaraan dalam tanah air (ukhuwah wathaniyyah) maupun persaudaraan sebagai sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Imam Ali bin Abi Thalib menyatakan:
“الناس صنفان: إما أخ لك في الدين، أو نظير لك في الخلق”
“Manusia itu ada dua komunitas, jika dia bukan saudaramu dalam seagama, maka dia adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”
Sebagaimana dimaklum, Rasulullah ﷺ adalah figur yang sangat menjaga dan membangun persaudaraan di antara umatnya. Ketika beliau tiba di Madinah saat hijrah, hal pertama yang dilakukan bukanlah membangun istana, bukan pula merancang kekuasaan. Melainkan beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, para pendatang dari Makkah dan penduduk asli Madinah. Dalam catatan sejarah, kaum Anshar bukan hanya memberi rumah, uang, dan pakaian kepada para Muhajirin, bahkan mereka menawarkan pekerjaan, menyiapkan berbagai bantuan hingga mencarikan pasangan hidup demi kebaikannya. Persaudaraan yang tidak hanya berhenti di slogan, melainkan persaudaraan yang melampaui sekat suku, status sosial, dan kepentingan personal. Maka semangat tahun baru Islam—yang ditandai dengan hijrah—harus pula ditandai dengan hijrah nilai dan prilaku, dari egoisme menuju empati, dari konflik menuju koeksistensi, dari perpecahan menuju persatuan, dari peperangan menuju perdamaian yang bermartabat.
Hari ini, kita menyaksikan luka kemanusiaan menganga di berbagai penjuru dunia. Penjajahan Israil kepada bangsa Palistina, peperangan Rusia dan Ukraina, pertarungan Iran dan Israel, dan kebiadaban Israil yang tak kunjung berhenti di tanah Gaza Palestina, adalah tamparan berat bagi nurani kemanusiaan kita. Apa yang dilakukan Israel di Jalur Gaza, Yerusalem Timur adalah kejahatan besar dan pelanggaran kemanusiaan yang nyata dan memilukan. Ribuan jiwa tak berdosa meregang nyawa, anak-anak menjadi yatim piatu, rumah ibadah hancur porak poranda, rumah sakit dan permukiman penduduk berubah menjadi puing-puing dan rata dengan tanah. Sebuah tragedi kemanusiaan yang menyayat hati kita semua. Dalam situasi seperti ini, sikap diam dan abai adalah pengkhianatan terhadap nilai dan spirit hijrah. Bukankah Rasulullah pernah bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطعْ فَبِقَلبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيْمَانِ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ(
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan; jika tidak mampu, maka dengan lisan; jika tidak mampu, maka dengan hati, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Imam Muslim).
Merayakan tahun baru dengan menyalakan semangat hijrah berarti menolak diam terhadap kezaliman. Berarti berpihak pada perdamaian dan keadilan. Berarti menjadi saudara bagi siapa pun yang dizalimi, tanpa harus memandang persamaan satu agama, satu negara, atau satu warna kulit. Dalam konteks bangsa Indonesia, semangat persaudaraan ini haruslah memperkuat ukhuwah wathaniyyah. Di negeri yang multikultural ini, agama tak boleh menjadi bahan bakar konflik, tetapi justru menjadi penyambung kasih dan harmoni. Islam tidak datang untuk menghapus keberagaman, tetapi mendidik kita untuk bersikap adil dan kasih kepada siapa pun. Sebagaimana firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍۢ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang identitas, tapi juga mendorong etika pergaulan: saling mengenal, saling merawat eksistensi kemanusiaan bukan saling menyerang, apalagi saling meniadakan. Maka, pada momen tahun baru Islam ini, mari kita warisi dan nyalakan semangat hijrah dengan memperkuat persaudaraan, menolak kezaliman, memperjuangkan kemanusiaan, dan menjadi umat yang berpihak pada damai dan keadilan.
Mensyiarkan momentum tahun baru hijriyyah bukan sekadar seremonial ritual yang kering makna, tetapi panggilan untuk menghidupkan semangat persaudaraan dan perdamaian yang diajarkan oleh peristiwa hijrah. Jika Rasulullah SAW. memulai hijrah dengan mempersatukan hati, maka kita pun harus memulai lembaran baru dengan menjalin kasih sayang, memperjuangkan keadilan, dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Rasulullah SAW menegaskan dalam sabdanya:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ “
”Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin merasa selamat dari kejahatan lisan dan tangannya dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara-perkara yang Allāh larang.” (Hadīts riwayat Imām Bukhāri dan Muslim).
Semoga momentum peringatan tahun baru hijriah 1447 mampu membeningkan hati nurani kita menjadi manusia yang semakin peduli dan empati, membebaskan yang lemah dari segala penindasan dan kezaliman, merajut ikatan ukhuwwah dan menegakkan keadilan di tengan ancaman krisis kemanusiaan yang semakin menganga dan situasi dunia yang sedang tidak baik-baik saja. Wallāhu al-musta‘ān.
Khoirul Huda Basyir (Ketua Tim Kerjasama Luar Negeri Kementerian Agama RI dan Pengasuh PPTQ. Al Kaukab Bogor)