Ibadah haji sebagai rukun Islam yang hampir semua muslim bercita-cita tunaikan sekali seumur hidup, merupakan ritual fisik dan spiritual sekaligus, yang menyaratkan kemampuan material dan non-material- termasuk pengelolaan dan perlindungan sekiar 221.000 jamaah Indonesia dari 2 juta lebih manusia berbagai negara tahun ini.
Di Barat, spiritualitas humanis tidak memerlukan Tuhan atau ritual agama. Manusia bisa memiliki spiritualitas tanpa agama dan tanpa Tuhan. Spiritualitas humanis berangkat dari akal dan etika, dan merayakan misteri dan ketakjuban alami. Namun, Islam, dengan ritual hajinya menawarkan spiritualitas yang menyatu dengan ritual-ritual khusus pada tempat dan waktu yang khusus, dengan syarat-syarat sah-tidaknya yang juga khusus.
Dengan haji, juga umrah yang disebut haji kecil itu, seorang Muslim memaknai setiap ritual yang ia lakukan dengan nilai-nilai spiritualitas atau ruhani. Umumnya, sisi spiritualitas didekatkan dengan individualitas – seperti kesalihan individual. Namun, individualisme tidak berkembang terpisah dari komunalitas – kebersamaan dan kerumunan, seperti dalam ibadah haji ini.
Sisi lain, nilai-nilai kemanusiaan atau humanitas sering kali terpinggirkan karena fokus pada dimensi ketuhanan. Haji mengajarkan dan mendidikkan penggabungan yang seimbang antara ketuhanan dan kemanusiaan itu.
Seorang Muslim yang memiliki kemampuan fisik, dana, dan kemampuan melaksanakan rangkaian ibadah dalam kondisi terik matahari sekitar 42-48 derajat celcius. Meskipun diam, tinggal dan beribadah di dalam tenda-tenda dan Kasur-kasur kecil, dengan pendingin udara, jama’ah dituntut kuat dan sehat, sambil berzikir dan beribadah membaca menghapal atau menggunakan bahasa lisan dan tubuh mereka.
Sosiolog asal Iran Dr. Ali Syariati menulis, haji merupakan ungkapan penciptaan manusia, sejarah, persatuan, dan gagasan yang memajukan umat Islam yang berketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid sebagai inti ajaran Islam, sekaligus memengaruhi peradaban dunia.
Dengan haji setiap tahun sejak zaman Nabi Muhammad, fenomena yang paling tampak dan material di mata dunia adalah pakaian ihram – laki-laki memakai kain putih tanpa jahitan dan perempuan memakai kain yang bersahaja. Sehari-hari pakaian khas manusia menandai status dan identitas sosial dan sering memperkuat pemisahan dan bahkan diskriminasi. Pakaian ihram mengajarkan kesadaran akan kesucian manusia apa adanya dan kesetaraan manusia.
Sisi humanisme lain tampak pada jama’ah lansia, resiko tinggi, dan disabilitas yang mendapatkan perlakuan khusus, seperti kursi roda, pendampingan, melewati tempat tertentu demi kemudahan, dan keringanan menjalani ritual haji sesuai kondisi mereka. Kesahan haji mereka tetap terjadi. Spiritualisme mereka tidak jadi lemah. Sisi kemanusiaan mereka dilindungi.
Larangan dalam ihram seperti tidak berkata buruk, tidak membunuh hewan atau serangga kecuali yang membahayakan, menebang tanaman, berburu binatang, menikah, tidak memakai harum-haruman, dan larangan lain, menjadi latihan pengendalian diri dari perbuatan-perbuatan dilarang, dan sebagiannya tidak pada waktu biasa, semua demi fokus pada Tuhan dan kesadaran spiritualitas yang dalam.
Pada saat yang sama, bangunan material ka’bah, bangunan kubus yang sederhana itu, bukanlah bentuk materialisme, karena adalah Tuhan, bukan Ka’bah, yang disembah. Kota Mekkah yang diberkahi dan menjadi pusat agama dan peradaban bagi manusia yang merelakan diri mereka mengabdi kepada-Nya dan mengunjungi berbagai layanan kebutuhan jutaan manusia. Ka’bah sebagai arah sembahyang Muslim dimanapun, tapi Ka’bah bukan tempat Tuhan satu-satunya, karena Tuhan ada di mana-mana, kemanapun arah seorang hamba mengabdi dan meminta kepada-Nya.
Ibrahim, yang diyakini membangun Ka’bah, bersama putranya, menjadi bapak monoteis penganut agama-agama yang kemudian dikenal khususnya Yahudi, Nasrani, dan Islam. Peristiwa haji menghubungkan Islam kepada figur Ibrahim dan figur-figur spiritual agama-agama dan bangsa-bangsa Semit terdahulu. Agama-agama Abrahamik -Yahudi, Kristen dan Islam – disatukan dalam kebersinambungan sejarah, ajaran-ajaran pokok dengan syariat hukum yang sama dan berbeda satu sama lain.
Tak kalah menarik dan penting adalah peran Siti Hajar. Diyakini budak yang diperistrikan Ibrahim, Hajar mendapatkan posisi terhormat. Sebagai istri dan ibu, ia bersusah payah mencari air untuk putranya. Peristiwa yang dilestarikan menjadi ritual Sa’i: lari-lari kecil dari Safa dan Marwah, hingga ditemukan air yang disebut zam-zam, di sekitar Ka’bah itu. Humanisme sa’i kita saksikan dan rasakan.
Memutari Ka’bah tujuh kali atau tawaf’, dan berdesak-desakkannya laki-laki dan perempuan dari berbagai ras, bangsa, dan karakter, menunjukkan kerumunan manusia, tapi memperkuat sisi kemanusiaan mereka. Egosentrisme, hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, dilatih dikendalikan bahkan dikikis melebur dalam samudra kemanusiaan.
Sisi lain kemanusiaan haji kita pelajari dari tidak jadinya sang ayah Ibrahim menyembelih putranya. Bukti kepatuhan Ibrahim mengikuti perintah Tuhan-Nya melalui mimpi untuk menyembelih putranya, yang juga rela, tapi Tuhan segera menggantinya dengan seekor domba.
Namun ritual penyembelihan hewan itu bukan pada darah dan dagingnya, tapi pada kepatuhan takwa manusia yang melaksanakan perintah Tuhan itu. Taqwa ada dalam hati dan spiritualitas manusia.Sisi spiritual dan material menyatu. Dimensi ketuhanan dan kemanusiaan tidak terpisahkan.
Inti ritual haji terletak di Arafah, padang pasir yang membentang yang kini penuh tenda-tenda itu. Letak pentingnya Arafah bukan pada banyaknya dan rumitnya ritual, tapi pada diamnya, tinggalnya, dan merenungnya setiap diri hamba kepada Tuhan.
Ritual haji penuh dengan gerak dan pergerakan manusia dan alat transportasi. Gerak dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan berbondong-bondong, berkilo-kilo meter dalam beberapa hari. Hanya alas kaki sederhana. Tapi manusia butuh diam. Manusia perlu merenung. Masa lalunya. Kesalahan sengaja maupun tidak sengaja, sebagai manusia. Manusia yang serba terbatas.
Di Arafah, manusia menangis tersedu-sedu, atau diam seribu bahasa, tanpa harus menyebut ayat atau do’a apapun. Ketika berdo’apun, dan mendengar khutbah, fokusnya pada dirinya yang penuh dosa dan kesalahan.
Arafah juga dimaknai pengetahuan. Setelah pengetahuan, kesadaran. Setelah kesadaran, cinta. Di Mina lah, cinta itu disemai dan dipupuk. Jika Dante dalam Divine Comedy-nya. hanya ada dua tahapan: pengetahuan dan cinta, Ali Syariati menjelaskan tiga tahapan: pengetahuan, kesadaran, dan cinta. Di Mina bersemi harapan, kehendak, cita-cita dan cinta.
Di Mina, ada melempar batu ke arah tiang yang dimaknai sebagai setan, musuh Tuhan, sebagai simbol musuh manusia beriman. Bagi Ali Shariati, setan-setan itu berbagai kekuatan ideologi yang merayu dan mengganggu manusia. Materialisme misalnya. Begitu juga penindasan. Kekayaan terkonsentrasi yang menghalau manusia dari keadilan dan kesadaran akan empati dan kemurahhatian. Begitu juga kemunafikan. Eksploitasi manusia oleh manusia lainnya demi kerakusan dan hawa nafsu lahiriyah.
Ketika jamaah tidak dapat memenuhi salah satu ritual tertentu, penggantinya dengan membayar dam seharga seekor kambing. Dengan asas kebaikan umat dan bangsa di tanah air, mengikuti pandangan hukum Islam yang membolehkan penyembelihan dan pembagian daging di tanah air, selain juga di tanah suci.
Banyak manfaat haji bagi manusia dan kemanusiaan. Penulis Abdurrazaq Abdul Muhsin al-Badr, dalam Kitab “Maqasid al-Hajj” (Tujuan-tujuan Haji), ada manfaat persaudaraan iman. Ada juga pendidikan moral utama. Haji mendidik sopan santun sehari-hari. Juga bersikap moderat (tawassuth) dalam ibadah dan pergaulan sehari-hati.
Ada perayaan atau Id, hari raya Kurban, Adha, atau penyembelihan hewan. Tapi hari raya ini spesial bukan hanya karena berbarengan dengan peristiwa haji di Mekah itu tapi karena makna spiritualitasnya dirasakan manusia-manusia yang bersungguh-sungguh mendekat kepada Tuhan dengan cara berbagi sesuatu kepada sesama manusia. Spiritualitas dan kemanusiaan sekali lagi menyatu.
Idul Adha menjadi perayaan pengorbanan, sejarah nabi dan tokoh spiritual ayah, ibu, anak – manusia yang terus mencari kebenaran dan menyebarkan Kebajikan. Bukan hanya hubungan darah, kebangsaan, iman, tapi hubungan kemanusiaan – sesama keturuhan Adam.
Manusia adalah manusia, bukan Tuhan, tetaplah tidak mutlak, tidak sempurna. Tapi siapa yang menunaikan haji dengan benar dan tulus, ia menjadi manusia sebagaimana waktu lahir sebagai bayi. Tidak ada lagi orang pintar yang membodoh-bodohi orang lain. Tidak ada orang kaya yang menghina kaum miskin. Tidak ada penguasa yang menyalahgunakan kuasanya untuk kepentingan diri sendiri.
Haji memberikan pengalaman spiritual luar biasa, mengajarkan sejarah dan masa kini dan di sini, kekuatan fisik dan cinta, arsitektur dan keindahan, pengabdian dan kasih sayang. Nilai-nilai spiritualitas dan nilai-nilai kemanusiaan haji menjadi lentera hati dan pikiran, yang sejatinya menerangi seluruh relung kehidupan Muslim dalam ranah pribadi dan publiknya, sepanjang hidupnya. Wallahu a’lam.
Muhamad Ali (Associate Professor, University of California, Riverside, & Petugas Haji Indonesia, 2025)