Seorang hakim federal Amerika Serikat minggu ini menolak permohonan Huawei Technologies untuk membatalkan sebagian besar dakwaan yang menuding raksasa telekomunikasi China itu berupaya mencuri rahasia teknologi pesaing dan menyesatkan bank-bank di Negeri Paman Sam terkait operasi bisnisnya di Iran.
Dalam putusan sepanjang 52 halaman yang disampaikan oleh Hakim Distrik AS Ann Donnelly di Brooklyn, Mahkamah menegaskan bahwa tuduhan dalam dakwaan 16 pasal telah dipaparkan dengan cukup bukti, mulai dari dugaan pemerasan guna memperluas pangsa pasar, hingga pelanggaran rahasia dagang milik enam perusahaan AS, serta penipuan perbankan senilai lebih dari 100 juta dolar.
Dikutip dari Reuters, Kamis (3/7/2025), memasuki inti perkara, hakim Donnelly menyoroti peran Skycom, sebuah entitas berbasis Hong Kong yang menurut jaksa bertindak layaknya anak perusahaan Huawei di Iran.
Meski Beijing membantah keterkaitan langsung, dokumen pengadilan menyatakan Skycom memperoleh keuntungan tidak langsung dari aliran dana bernilai puluhan juta dolar melalui sistem keuangan Amerika, sehingga menggugah tuduhan pelanggaran sanksi dan penipuan bank.
Gagalnya Huawei dalam membuktikan bahwa Skycom beroperasi secara independen menjadi salah satu poin krusial yang menentang upaya perusahaan untuk menghapus 13 dari 16 dakwaan.
Huawei, yang berkantor pusat di Shenzhen dan mempekerjakan lebih dari 200.000 orang di lebih dari 170 negara, tetap bersikeras tidak bersalah. Perusahaan menuduh jaksa AS mengejar proses hukum dengan bias, bahkan menyebut dakwaan ini sebagai “target penuntutan politik.”
Namun, upaya mereka belum membuahkan hasil. Sidang pembuktian materiil dijadwalkan bergulir pada 4 Mei 2026, dan diperkirakan akan menyita waktu berbulan-bulan karena kompleksitas bukti dan saksi yang akan dihadirkan.
Kasus pidana ini sejatinya bermula pada 2018, di bawah Inisiatif China yang diluncurkan Departemen Kehakiman AS saat pemerintahan Presiden Donald Trump. Kerangka kerja ini dirancang untuk menindak dugaan pelanggaran hak kekayaan intelektual oleh perusahaan-perusahaan berkaitan dengan Beijing.
Salah satu bab paling dramatis dalam saga Huawei tercermin dari kisah penahanan Meng Wanzhou, Chief Financial Officer Huawei dan putri pendiri perusahaan, di Kanada selama hampir tiga tahun sebelum dakwaannya dibatalkan pada 2022.
Putusan tersebut menjadi preseden bagi Huawei untuk meyakinkan publik kredibilitasnya, meski trauma hukum ternyata belum berakhir.
Tidak hanya terjebak dalam tuntutan perdata, Huawei juga menghadapi serangkaian larangan akses teknologi Amerika Serikat sejak 2019 sebuah langkah yang diklaim pemerintah AS sebagai upaya mitigasi risiko keamanan nasional, namun dibantah keras oleh Huawei.
Sementara pemerintahan Presiden Joe Biden telah mengakhiri Inisiatif China pada 2022 menyusul kritik soal diskriminasi rasial dan hambatan riset ilmiah, pergulatan hukum terhadap Huawei berlanjut seiring ketegangan geopolitik antara Washington dan Beijing yang kian memuncak.
Keputusan Hakim Donnelly baru-baru ini menandai babak lanjutan dalam pertempuran hukum dan politik seputar Huawei. Bagi Huawei, vonis ini bukan sekadar ujian kredibilitas di mata dunia, melainkan juga ujian daya tahan model bisnisnya yang selama ini menjadi poros utama perkembangan jaringan 5G dan infrastruktur digital global.
Sementara itu, AS terus memantau setiap langkah perusahaan teknologi China, memastikan regulasi dan penegakan hukum berjalan sejalan dengan kebijakan nasional untuk menjaga keamanan dan keadilan pasar.