Google kembali menghadirkan inovasi baru dengan melakukan uji coba model kecerdasan buatan (AI) terbaru untuk memprediksi siklon tropis.
Dalam langkah strategis, perusahaan teknologi raksasa ini menggandeng US National Hurricane Center (NHC) untuk menguji model tersebut, sekaligus meluncurkan website interaktif baru bernama Weather Lab.
Model ini dirancang untuk menghasilkan hingga 50 skenario berbeda terkait jalur, ukuran, dan intensitas badai, jauh lebih fleksibel dibanding pendekatan tradisional.
Baca juga: Kepala Divisi Robot Tesla Mundur, Target Produksi 5.000 Optimus Terancam?
Menariknya, Google mengklaim bahwa prediksi lima harinya 87 km lebih akurat dibanding model dari European Center for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) selama musim badai 2023–2024 di Atlantik Utara dan Pasifik Timur.
Model AI untuk Badai: Kolaborasi dan Transparansi
Model AI prediksi badai ini dikembangkan oleh tim gabungan Google DeepMind dan Google Research, dan dilatih menggunakan data dari arsip ERA5 milik Eropa yang menggabungkan jutaan observasi cuaca global dengan hasil dari model cuaca berbasis fisika tradisional.
Model ini bukan yang pertama dari Google, sebelumnya mereka juga merilis GenCast, yang menurut studi di Nature berhasil mengungguli model ECMWF dalam 97,2% kasus.
Namun demikian, Google tetap menekankan bahwa Weather Lab bukan alat yang bisa diandalkan publik untuk prakiraan cuaca harian, melainkan alat riset yang bertujuan membandingkan kinerja model AI dengan pendekatan konvensional.
AI Tidak Gantikan Model Fisika
Meskipun teknologi AI berkembang pesat, model ini belum dimaksudkan untuk menggantikan model prediksi cuaca tradisional. Google sendiri menyatakan bahwa observasi dunia nyata dan model lama masih penting untuk membangun sistem prakiraan yang akurat.
Menurut Google, kerja sama dengan lembaga riset seperti Cooperative Institute for Research in the Atmosphere di Colorado State University, serta para ilmuwan dari Inggris dan Jepang, menjadi langkah penting untuk menyempurnakan pendekatan AI mereka.
Hal ini juga menjadi respons atas tantangan perubahan iklim yang membuat pola cuaca menjadi makin ekstrem dan sulit diprediksi.
Krisis Kapasitas Lembaga Cuaca AS
Peluncuran model ini terjadi di tengah kekhawatiran terhadap penurunan kapasitas lembaga cuaca federal AS, termasuk NOAA dan National Weather Service (NWS).
Pemangkasan anggaran dan staf selama pemerintahan Trump menyebabkan pengurangan frekuensi peluncuran balon cuaca dan ketergantungan yang meningkat pada data dari pihak swasta.
Bahkan, program Project 2025 menyerukan pembubaran NOAA dan privatisasi layanan cuaca, yang mengundang kecemasan dari berbagai pihak.
Baca juga: iOS 26 Ada Fitur Tonton Video di CarPlay Saat Mobil Diparkir
Mereka khawatir bahwa prakiraan cuaca yang selama ini menjadi layanan publik bisa berubah menjadi layanan berbayar, membatasi akses bagi masyarakat umum.
Peter Battaglia, ilmuwan riset di Google DeepMind, menegaskan bahwa pihaknya ingin berkontribusi terhadap kemanfaatan publik, bukan menggantikannya.
“Cuaca telah lama dianggap sebagai barang publik, dan kami ingin bermitra dengan sektor publik untuk menjaganya tetap seperti itu,” ujarnya dalam konferensi pers.
Menariknya, dalam peluncuran kali ini Google tidak menyebutkan perubahan iklim secara eksplisit, berbeda dari saat merilis GenCast pada Desember lalu.
Meski begitu, latar belakang meningkatnya cuaca ekstrem tetap menjadi alasan kuat mengapa model prakiraan yang akurat dan dapat dipercaya sangat dibutuhkan saat ini.
Dengan prediksi lebih awal dan akurat, model ini diharapkan bisa membantu menyelamatkan lebih banyak nyawa dan meminimalkan dampak ekonomi akibat badai tropis.
Apalagi, musim badai Atlantik berlangsung hingga November, dan model ini berpotensi menjadi alat penting dalam mengantisipasi bencana yang semakin tidak menentu akibat perubahan iklim.